“Permisi pakk. Assalamualaikum!.” Bapak berteriak membuat aku menoleh memalingkan pandangan kearah bapak yang tengah mengucap salam.
Tak hanya aku yang menoleh, anak anak yang tengah bermain sondah juga ikut menoleh kearah kami berdua. Salah satu dari mereka berlari masuk kedalam tak sempat kami bertanya kepadanya. Dari dalam rumah putih itu keluar anak tadi dengan berlari menuju permainan yang ia tinggalkan.
“Dek, bapaknya ada?” bapak menghampiri anak perempuan yang baru saja masuk tadi.
“Udah tak panggilke.” Ucapnya sambil melanjutkan permainannya
“Terima kasih ya dek.” Bapak hanya mengangguk dan berterima kasih, ajaran dasar sopan santun yang tidak pernah dia lupakan.
Setelah 5 menit menunggu dan bertanya sembari duduk didepan ubin teras tersebut memperhatikan mereka bermain keluarlah seorang pria yang lebih tua dari bapak, sekitar 10 tahun lebih tua dengan uban yang hampir memenuhi kepalanya yang basah, sarung yang dilipatnya dan kaos oblong tangannya membersihkan peci hitamnya yang berdebu.
“Kok reged tenan jan, kudu dikumbah nek ko ngene.” Meski aku tidak paham perkataanya aku mengerti dia mengomeli kenapa pecinya tersebut kotor.
“Ohh, mlebet mas.” Si bapak bapak itu mengisyaratkan tangannya untuk masuk, aku harus mulai terbiasa dengan bahasa tubuh agar bisa berinteraksi. Kami berdua masuk kedalam ruang tamu yang menyambung dengan pintu depan kayu berwarna coklat bercorakkan kayu, didalam rumah terlihat beberapa lukisan pemandangan dan kaligrafi dengan tulisan aneh berbelit ada pula kursi tua khas dari rotan yang sangat cantik diberi busa dibagian tempat duduk.
“enten nopo nggeh?” si bapak bertanya, sembari mempersilahkan kami duduk diatas busa empuk tersebuk
“Jadi begini pak, saya sedang mencari kontrakan, kata ibu warung yang ada didepan, kebetulan bapak warkito ada kontrakan katanya.” Bapak menjelaskan langsung keini tujuan kami datang.
“iya, iya, memang ada, tapi ndak besar cuman adane kamar 2 sama kamar mandi dah itu tok.” Sibapak mengusap kumis yang mulai memutih.
“Tidak apa apa pak, saya malah cari yang ga besarlah, cuman buat kita berdua aja.” Bapak mengusap rambutku yang sedikit dibasahi keringat.
“Ohh, boleh boleh, mari saya liatkan konrakannya.” Si bapak berdiri dan bangkit dari kursi rotan tersebut, terdengar suara tulangnya seperti bertubrukan karena usia dan tubuh yang terbilang kurus.
Kami dibawa lebih dalam lagi kekampung padat penduduk tersebut hingga kami dapat melihat ujung rumah rumah yang berjejer saling berhadapan adalah sebuah sungai yang keluar dari belakang rumah terakhir dan sawah membentang dibagian yang lain, kami yang berhenti dirumah toska dengan cat yang rapuh dan melepuh menggelembung tapi terawatt dengan 2 jendela kaca yang mewakili kisah kami dirumah tersebut, dan pintu triplek yang sudah dimakan usia disebaliknya membawa kami keberbagai cerita dihari hari selanjutnya.
“Ini kontrakannya, memang udah cukup lama ngga terawatt, sekitar 2 tahunanlah, tapi masoh bagus, sering saya bersihkan.” Kunci yang bergemrincing oleh sibapak itu sekedar mencari pasangan yang cocok dengan lubang dibawah gagang.
Kami masuk kedalamnya, telihat lebih bersih dan lebih baik dari dugaan kami, meski beberapa aspek yang cukup mengerikan seperti cat yang penuh coretan, lantai yang berupa semen juga kamar mandi yang dengan jendela yang menghadap jalan menuju sawah membuat siapa saja bisa mengintipn dari sana. Ya, cukup sepadan dengan uang yang bapak berikan, sekarang ada hal lain yang menjadi pertanyaanku, kami berangkat hanya bermodalkan pakaian, kami tidak membawa karpet, piring, gelas apalagi kasur. Tidak mungkin kami membawa kasur mess, lalu dimana kami tidur?
“Bapak, kita tidurnya gimana?” aku kebingungan bertanya kepada bapak yang mulai bercucuran keringat ketika kami kembali ke pabrik bapak.
“Ya merem.” Dengan gurauan bapak bapaknya ia menggendongku dipundaknya yang mulai ringkih terkikis usia.
Sesampainya diujung gang dipinggir jalan raya dimana kami berasal, bapak ternyata tidak membawaku menyebrang menuju pabriknya, bapak malah naik bus kecil entah menuju kemana. Disepanjang jalan aku hanya mampu diam dalam lendetan ditubuh bapak dan mulai menutup mata secara otomatis tak dapatku tahan. Aku tak sanggup menahan kantuk, meski dalam keadaan mata terpejam aku masih bisa mendengar si kernet meneriaki kata ‘Pasar’ dan tubuhku mulai bergoyang melayang dipangkuan bapak, aku tau jika dikatakan tidak sanggup, bapak sudah tidak sanggup membopong badanku ini tapi aku yangterlanjur menutup mata hanya bisa diam.
Tubuhku terdiam, bapak membangunkanku ditengah himpitan beberapa orang dengan bebauan yang aneh disekitar, aku mendapati kondisi ditengah pasar, ternyata bapak tak bisa menggendongku sembari membawa sebuah karpet ditangannya jadi terpaksa dia membangunkanku, kadang aku berjalan sempoyongan masih merasa ngantuk dan pusing.
Kami kembali ke pabrik, aku tidur dan bapak entah pergi kemana dengan karpet tadi. Aku terbangun mendengar suara bising dikamar sebelah yang terus berteriak secara berkala, aku terbangun mendapati kamar kosong tanpa bapak hanya ada aku dansuara para laki laki dikamar sebelah yang sungguh gaduh, aku heran kenapa kamar lain tidak mengeluh atas perbuatan mereka. Mungkin mereka juga ikut meramaikan kegaduhan itu juga, entahlah yang jelas aku sangat ingin keluar melihatnya kala itu. Aku beranjak dari kasur dengan ranjang cukup tinggi seukuranku dan membuka pintu berposter sebuah mobil lalu mengeluarkan kepala sekedar melihat ada orang atau tidak. Setelah kupastikan aman aku mengintip dikamar sebelah yang pintunya terbuka, mereka tampak tertawa dengan kartu ditangan mereka, aku tidak mengerti apa yang mereka lakukan,yang jelas kartu itu berwarna hitam dan merah hingga salah satu orang yang membantu bapak membuka pintu melihatku dari pintu.
“Dek, kamu kebangun ya.” Silaki laki tersebut terlihat seumuran dengan bapak berperawakan sedikit pendek dari bapak dan kulitnya lebih gelap dari bapak, mungkin efek bekerja disana.
“Sini, om kasih minuman.” Salah satu yang berbadan sangat kurus melambai kepadaku untuk menghampirinya.
“Bocah loh! Ojo!” si bapak bapak ramah tadi memukul kepala si kurus dengan tangannya, mengomelinya dan bergumam sembari menghampiriku.
“Bapakmu mana?” logat jawa kentalnya sama seperti orang orang jawa ketika bericara menggunakan bahasa Indonesia.
“ga tau.” Aku yang juga tak tahu kemana perginya bapak hanya bisa menggelangkan kepala.
Si bapak itu kemudian menggendongku dan membawaku keluar mess, disana kami berpapasan dengan bapak yang menjinjing keresek bening didalamnya terlihat plastik lain berwarna biru dengan beberapa butir seperti kancing kecil didalamnya.
“Ohh, kamu udah bangun, maaf mas jadi ngerepotin.” Bapak segera menghampiri kami dan si bapak tersebut juga menurunkanku ketika melihat bapak.
“gapapa, ini salah saya sama yang lainnya tadi berisik, jadinya si adek kebangun ya.” Si baak menjelaskan apa yang terjadi tadi.
“Mase habis dari mana?” kami bertiga kembali masuk, si bapak tadi bertanya sembari mengayunkan tangan mungkin pegal karena menggendongku.
“Saya..” bapak sempat menghentikan perkataannya kemudian melirikku dan melanjutkan perkataannya.
“Saya tadi beli karpet buat dikontrakan.” Ujar bapak
“Lah itu, kok pulangnya bawa itu.” si bapak tadi menunjuk keresek yang dibawa bapak,
“Oh, ini.. ini obat saya.” Katanya sembari tersenyum.
“Ooo, oh iya nama saya Rudi. Kita udah ketemu tapi belum kenalan yaa.” Si bapak menepuk dadanya ketika kami berhenti didepan kamar kami.
“Saya Andi, ini Adam.” Bapak memegang pundakku yang melihat mereka dengan mendongak
“Saya puji.” Dari dalam kamar sebelah yang tadi aku intip seorang pria berteriak, entah apa maksudnya.
Singkat cerita kami berdua pindah kerumah itu hari itu juga, karena memang sudah mendapat izin dari pak warkito, kami yang belum sempat memasukan baju kedalam lemari langsung pamit setelah berbincang dengan pak Rudi. Didalam perjalanan kami menggandeng tas biru kami yang berisikan pakaian menuju rumah itu. ditengah perjalanan melewati warung tadi kami ditegur oleh siibu ibu yang duduk didepan warung.