Kemarin: The Man In The Moon

tavisha
Chapter #3

#3

Sudah enam tahun aku hanya tinggal dengan Ayahku. Orang tuaku bercerai saat aku masih SMP. Aku tidak tahu ke mana Ibuku sekarang. Aku juga tidak pernah mencarinya, begitu pun sebaliknya. Bagiku, saat seseorang membalikkan punggungnya, semuanya akan berakhir.

 

Aku juga bukan anak tunggal, aku punya seorang kakak laki-laki yang berkerja di kejaksaan. Dia tidak pernah pulang, dia sudah menjadikan kantor sebagai rumahnya. Kurasa pekerjaannya benar-benar berat, sampai-sampai untuk pulang ke rumah saja dia sulit sekali. Tapi, hari ini dia berjanji akan pulang, walau hanya beberapa jam saja—dia ingin melihatku, itu alasannya. Sayangnya, tempat janjian kami bukan di rumah, melainkan di restoran ayahku—jadi itu tidak termasuk dia pulang ke rumah.

 

Ayahku seorang koki. Awalnya dia merupakan koki terkenal di salah satu hotel bintang lima, dan di sana pulalah dia bertemu dengan ibuku untuk pertama kali. Saat memutuskan untuk menikah dengan ibu, dia keluar dari tempat yang membesarkan namanya dan membuat restorannya sendiri. Benar-benar pilihan yang sangat tepat— tidak untuk menikah dengan ibuku. Restoran ayahku tidak kalah terkenal dengan namanya dahulu, bisnisnya berkembang cukup baik, tidak dengan kehidupan rumah tangganya. Itu yang sangat kusesali—aku tidak tahu apakah aku menyesali bahwa aku terlahir dari ibuku, atau bangga menjadi anak ayahku.

 

Saking terkenalnya ayahku, dia sering sekali diundang untuk tampil di televisi. Dia menjadi seorang selebritis—tentu saja sangat mengganggu, saat hubungannya berakhir dengan ibu dan juga semenjak kecelakaanku. Kehidupan kami menjadi sumber makanan para wartawan. Untung saja aku masih mempunyai nenek, dia yang menyelamatkan hidupku. Ketika aku diperbolehkan keluar dari rumah sakit, ayah meminta izin agar aku tinggal bersama nenek selama masa pemulihan— kupikir aku benar-benar pulih. Kembalinya aku menjalani aktivitasku seperti biasa menjadi mahasiswi, aku kembali sakit. Kasus bunuh diri yang menganggu—hantu laki-laki yang tidak kukenal, mengikutiku—barusan saja aku diteror dengan sebuah foto yang tiba-tiba saja berada di salah satu benda milikku. Kupikir semua beban hidupku akan berakhir semenjak aku pulih, ternyata dugaanku salah.


Beberapa jam lalu hujan baru saja turun, langit terlihat tidak bersemangat. Daun-daun berguguran mengotori halaman depan restoran—aku sudah berulang kali mengatakan kepada ayahku agar pohon itu lebih baik ditebang saja. Aku hanya khawatir bagaimana jika pohon itu tumbang karena angin, dan itu sangat bahaya karena letaknya sangat dekat dengan restoran.

 

Aku menatap dedaunan basah yang berjatuhan ke aspal, menatap bergantian ke pejalan kaki yang melewati depan restoran, menatap beberapa kali bus yang singgah di halte di seberang restoran—pemandangan-pemadangan yang membuatku nostalgia. Aku mencari sesuatu di sana ... aku tidak tahu apa yang sedang kucari. Namun, kakakku yang baru saja turun dari dalam bus dan tersenyum memandang ke arah jendela, tempat aku duduk, menyadarkanku akan suatu hal. Mungkinkah aku mencari seseorang? Senyum kakakku mengingatkanku akan sesuatu, mungkinkah itu Ibu?

 

Dia melambai ke arahku, dia terlihat bergitu ceria, lalu bergegas menyeberang menuju restoran.

 

Dari lantai dua tempatku berada, aku bisa mendengar suaranya yang heboh sekali. Dia menyapa satu per satu karyawan restoran dangan sangat ceria, dan terakhir, “Yah ...

 

Ayah ... anakmu lapar!” Wuah betapa kurang ajarnya sekali dia, datang-datang bukan menanyakan kabar ayah malah merengek minta makan.


Dia berlari menyusuri tangga dan menemukanku di sudut ruangan. “Hei cebol!” serunya lalu dengan cepat merangsek duduk di sampingku—di sofa kecil untuk dua orang.

 

“Duduklah sendiri di sana!” keluhku sambil mendorongnya menjauh.

 

“Kenapa kau jadi jahat begini?” Dia menunjukkan wajah cemberutnya—tidak sesuai dengan umurnya.

 

“Kurasa ada yang berbeda denganmu—kau mandi?” Aku menatapnya curiga.

 

“Kau pikir, aku tidak pernah mandi?!”

 

“Kau tidak pernah mandi kalau bertemu denganku ....”

 

Aku mengendus-endus baju dan badannya. “Mulai kapan kau berubah menjadi normal?”

 

“Wuah ... jaga ucapanmu. Bagaimana bisa kau katakan itu kepada kakakmu!”

 

“Ooooh ....” Aku menatapnya curiga. “Antara dua

 

kemungkinan—pertama, kau tidak ada kerjaan jadi kau bisa mandi, atau kedua, kau sedang naksir seseorang! Yang mana satu!” tuntutku.

 

Dia tersenyum malu, lalu memperbaiki cara duduknya, dengan anggunnya membuka mantelnya dan menempatkan di samping bangku, berlagak seperti pria dewasa yang aneh bagiku yang merupakkan adiknya yang sudah tahu hitamnya dia.

 

“Jangan bertingkah aneh begitu,” kataku geli, lalu begeser merapat ke dekat jendela. Tidak lama kemudian ayahku datang, membawa senampan makanan yang berisi macam-macam menu. “Oh, kenapa Ayah yang mengantar makanan?”

 

“Anakku kelaparan,” jawabnya dengan wajah penuh senyuman. Lalu menaruh nampan penuh itu di depan kami.

 

“Betapa kurang ajarnya kau! Ingat kau sudah tua! Bisa-bisanya kau menyuruh Ayah yang mengantarkan makanan buatmu!” protesku sambil memukul lengannya.

 

“Aku tidak tahu kalau Ayah yang mengantarnya sendiri,” dia membela diri sambil menghindari pukulanku.

Lihat selengkapnya