Kemarin: The Man In The Moon

tavisha
Chapter #5

#5

Kakakku memutuskan kembali ke kantornya setelah menemaniku di restoran ayah dan berjanji akan pulang ke rumah untuk menemaniku lagi—aku tidak bisa memastikan janjinya, apakah dia akan benar-benar pulang ke rumah? Hanya satu persen kemungkinan dia akan pulang. Dia selalu berkata akan pulang dan beristrahat di rumah, nyatanya tidak pernah terjadi. Bagaimana pun, aku hanya bisa memakluminya.

 

Sedangkan aku, aku memutuskan berjalan-jalan setelah berlama-lama meratapi nasibku di restoran ayah. Kurasa Ayah sangat pengertian, dia juga tidak menuntut banyak tentang keputusanku bolos kuliah, dia tidak menanyakan secara detail kenapa aku menangis di restorannya, meskipun dia terlihat khawatir akan itu.

 

Sekarang aku tidak tahu arah kakiku akan mengajakku ke mana. Pikiranku juga tidak tahu ke mana tempat yang akan kutuju. Pada akhinya aku bermuara di halte.

 

Entahlah apa yang sedang terjadi denganku, aku sudah duduk selama satu jam lebih di halte tanpa naik ke salah satu bus yang berhenti. Aku hanya duduk, tanpa tahu rencana apa yang akan kulakukan selanjutnya—Melihat satu per satu orang naik ke dalam bus dan juga keluar—halte yang sedang kusinggahi ini, terbilang cukup jauh dari restoran Ayah dan juga rumahku. Letaknya tidak begitu jauh dari tempat aku bersekolah di SMP negeri dulu—tentu saja kebanyakan yang berhenti di halte ini adalah anak-anak sekolah, selebihnya adalah penumpang bus antar kota. Aku tidak terganggu akan hal itu. Aku sangat menikmatinya. Meskipun saat ini hanya kehampaan yang menemaniku di tengah kebisingan para calon penumpang bus.

 

Satu bus berhenti lagi tepat di depanku.

 

Aku melihat seorang anak laki-laki—wajahnya terlihat mirip, maksudku, wajahnya ... wajah Mark—wajahnya begitu ceria, dia tersenyum lebar saat menemukan keberadaanku, duduk di halte, Mark duduk tepat di sebelah jendela. Saat mendapatkan kehadiranku dia buru-buru berdiri, sebelum bus berhenti dengan baik, namun ... saat dia berdiri di depan pintu yang baru terbuka ... aku menyadari akan sesuatu, bahwa anak lelaki itu bukanlah Mark .... Apa lagi-lagi dia sedang

 

menghantuiku, atau lagi-lagi aku sedang berhalusinasi tentangnya?

 

Tanganku bergetar. Aku takut—anak itu ternyata remaja SMA, ia keluar dari bus dan menghampiri seorang remaja perempuan yang ternyata dari tadi duduk di ujung kursi panjang yang juga sedang aku duduki.

 

“Sudah kubilang, kau tidak perlu jauh-jauh ke sini!” keluh si remaja perempuan sambil memukul lengan si remaja laki-laki dengan gemas.

 

“Tapi kau menungguku juga, kan?” goda si remaja laki-laki.

 

“Kau pasti akan pulang malam lagi—bagaimana jika kalau kau dimarahi karena jauh-jauh ke sini? Kau tidak lelah apa, sejam di jalanan setelah pulang sekolah, bolak-balik?”

 

Si remaja laki-laki menggeleng. “Demi mu ....”

 

“Ah, kau menjijikkan berkata seperti itu ...,” kata si remaja perempuan sambil tersenyum.

 

Aku hanya memandangi kedua remaja itu, sambil menggenggam tanganku yang dingin dan bergetar.

 

Sekarang Mark berada di mana-mana, menghantuiku dengan wajahnya di setiap orang yang kutemui. Aku semakin bertanya-tanya, alasan dia menghantuiku ... apakah memang benar aku yang menyebabkannya meninggal—aku teringat kembali dengan gambaran, saat aku melihatnya terjebak dalam mobil saat tengelam di sungai, tatapan matanya .... Apa

 

mungkin saat itu aku seharusnya bisa menyelamatkannya, tapi justru membiarkannya terjebak sampai dia kehabisan napas?


Apa itu sebabnya dia menghantuiku, karena aku tidak menyelamatkannya?

 

Aku tidak tahu. Bagaimana bisa aku tahu, sedangkan aku juga tidak tahu kalau aku bisa selamat dari insiden itu dan malah hidup dengan teror seperti ini.

 

Tiba-tiba saja seorang berdiri di depanku.

 

Cukup lama aku baru menyadari bahwa seseorang yang sedang berdiri di depanku, menggunakan style kantoran itu adalah orang yang sangat kukenal.

 

Petra sedang berdiri di depanku—Saat aku duduk di kelas satu SMA, dia adalah seniorku di kelas tiga. Dia sangat baik, meskipun hubungan kami tidak berakhir seperti yang diharapkannya, dia tetap mempunyai sikap yang baik dan lembut, sayangnya aku selalu menghindarinya semenjak dia menyatakan perasaannya kalau dia menyukaiku. Sekarang setelah sekian lama tidak bertemu dengannya, aku bertemu lagi dengannya di halte ini.

 

“Kupikir orang yang kulihat di stasiun beberapa hari lalu, hanya halusinasiku karena sedang memikirkanmu— ternyata memang kamu,” katanya masih berdiri di depanku.

Aku mendongak menatapnya, lalu tersenyum. “Ya, aku pulang beberapa hari lalu—aku juga tidak tahu kalau kau juga di stasiun saat itu.”

 

Dia tersenyum. “Sibuk?” Aku menggeleng. “Mau mengobrol? Di sekitar sini ada kafe baru buka, mau ke sana?”

Lihat selengkapnya