Aku bertanya-tanya apakah aku dan Mark terlibat pertengkaran sebelum kecelakan itu? Apakah mungkin itu penyebab jika Mark bunuh diri, karena merasa bersalah—suatu hal yang masih belum aku ketahui alasannya.
Apa mungkin benar, gambaran Mark memukul-mukul kaca mobilku dengan tatapan frustrasi itu adalah sebuah kenyataan?
Jika itu benar adalah kenyatan, apa yang sebenarnya sedang terjadi kepada kami? Kenapa aku menangis saat itu?
Apa kami mempunyai sebuah hubungan melebihi seorang kakak beradik? Apa aku berpacaran dengannya? Tapi bukankah itu disangkal oleh kenyataan bahwa Mark tidak mempunyai pacar. Bahkan sahabatnya tidak mengetahui kalau dia mempunyai pacar. Apa Mark menyembunyikan hubungan kami dari semua orang?
Aku belum membuka amplop surat selanjutnya. Aku masih terlalu takut menemukan kenyataan selanjutnya. Bahkan aku belum menemukan wajah Mark dalam ingatan masa laluku—tentu saja aku masih penasaran. Namun sebelum rasa penasaran itu membuncah, aku lebih baik menunggu ayah pulang.
Ayah, pulang tepat pukul tujuh. Saat itu aku sedang makan dua bungkus mi instan porsi besar.
Melihat aku sedang menikmati mie instanku sambil menonton televisi, ayah menjadi kesal.
“Ayahmu koki loh, makan kok mi instan.” Dia tidak terima dengan apa yang sedang dilihatnnya dan ingin mengambil alih piringku yang masih tersisa banyak mi.
“Mau dibuang?! Ayah sendiri yang bilang gak boleh buang-buang makanan, kan?” Akhirnya dia menyerah lalu melepaskan tangannya dari piringku. “Ayah bersih-bersih lah dulu, ada yang ingin aku bicarakan.”
“Bicarakan sekarang saja,” katanya sambil menarik kursi salah satu meja makan lalu duduk.
“Tidak, aku tidak mau membicarakannya sekarang— aku tidak mau berbicara dengan orang yang belum mandi—ah, anak sama bapak sama saja.”
Dia membelalakkan matanya. “Setidaknya aku masih harum dari kakakmu ya,” dia membela diri, mengerti siapa yang kumaksudkan.