Kemarin: The Man In The Moon

tavisha
Chapter #10

#10

Aku menatap pintu bagian depan bus yang selalu saja terbuka mengarahku. Namun aku tidak menemukan satu orang pun yang merasa kutunggu. Jam sudah hampir jam tiga sore, sudah hampir dua jam aku menunggu—aku bahkan makan siang di halte dari pedagang keliling yang untungnya lewat.

 

Aku berjam-jam duduk di halte, tanpa tahu siapa sebenarnya aku tunggu. Aku tahu, tapi aku tidak tahu yang mana orangnya. Sudah lama sekali aku tidak melihat orangnya, dia sudah pasti banyak mengalami perubahan. Mungkin saja menjadi sangat tinggi, lebih putih, atau membuat rambutnya pirang. Gayanya juga mungkin lebih bergaya-gaya ala Amerika, jelas saja. Dia sudah lama tinggal di Los Angeles. Kurasa kehidupannya juga sudah sangat berubah, terutama wajah dan suaranya.

 

Aku mengetuk-ngetuk ujung sepatuku dengan rasa penasaran, dan resah.

 

Aku gugup, tapi tidak mengerti kenapa aku gugup. Sepertinya ini sudah bus ke sepuluh yang singgah di halte ini. Sungguh, aku sudah sangat tidak sabar dan bosan. Kenapa aku menunggu selama ini?

 

Bus itu berhenti, tiba-tiba saja mataku menangkap seorang remaja laki-laki sedang memandangku dengan tatapan ceria, dia tersenyum lebar sekali di balik jendela, tempat yang dia duduki.

 

Dadaku berdebar keras sekali.

 

Dia buru-buru beranjak dari tempat duduknya dan tidak sabaran menunggu pintu bus yang terbuka—bus juga belum sepenuhnya berhenti, dia sudah siap di samping sopir, tepat di depan pintu otomatis itu nantinya akan terbuka.

 

Seorang remaja laki-laki yang tidak kukenal wajahnya—bahkan aku tidak mengingat kalau aku pernah bertemu dengannya di bandara dua minggu lalu.

 

Pintu itu terbuka.

 

Dadaku semakin berdebar.

 

Mataku tak mampu berkedip.

 

Seorang remaja laki-laki yang jauh dari ekspektasiku.

 

Dia tinggi, mungkin masih masuk dari ekspektasiku. Wajahnya berbeda, itu juga termasuk, suaranya saat dia berkata “Hai” berbeda, itu juga termasuk. Namun lainnya itu semua di luar dari ekspektasiku.

 

Dia berada tepat di depanku. Tapi aku masih menatapnya tidak percaya.

Seorang remaja laki-laki, dia tentu saja sudah SMA, kelas dua. Menggunakan kemeja dengan rompi rajut berwarna biru gelap. Dia terlihat sangat sopan, dan ....

 

“Maaf, membuatmu menunggu ya?” katanya membuyarkan imajinasiku. “Kupikir naik bus dari tempatku cuma dua jam ternyata lima jam lebih.” Dia tertawa malu.

 

Aku masih terkesiap di tempatku.

 

“Oh.” Aku bingung harus berbicara apa. Dia bukan seperti anak bergaya Amerika yang kubayangkan—lebih ke arah anak yang sederhana, kutu buku namun tidak berkacamata, yang canggung.

 

Mimik wajahnya yang tadi cerita berubah saat aku berkata “oh,” mungkin pikirnya aku tidak senang bertemu dengannya.

 

“Kau marah ya, karena menunggu lama?” Dia terlihat serba salah.

 

“Tidak masalah, cuma dua jam—aku pernah menunggu yang lebih lama.” Dia menatapku penasaran.

 

“Oh, dua jam? Kau pasti belum makan siang. Akan kutraktir kau makan. Ayo ... ayo ...,” katanya antusias.

 

“Aku sudah makan, tenang saja. Kurasa kau yang belum makan siang.”


Dia tertawa malu. “Iya, itu memang benar. Aku lapar sekali.”

 

Kami singgah ke sebuah kedai makanan tidak jauh dari halte. Dia juga tidak mempermasalahkan di mana kami akan makan. Kupikir dia adalah orang yang pilih-pilih tempat karena gengsi, tapi sebaliknya—Dia juga berpikir aku seperti itu.

 

Pesanan kami belum datang. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, sebuah kotak yang sudah jelas aku tahu apa isinya. Itu kukis kesuakaanku. Kukis almon.

 

“Bagaimana bisa kau begitu percaya kalau itu aku, bahkan tadi kau tidak menanyakan terlebih dahulu apakah aku orang yang kau cari.”

 

Lihat selengkapnya