Kemarin: The Man In The Moon

tavisha
Chapter #12

#12

Pertama kalinya aku melihat perpustakaan ini. Jelas-jelas ini pertama kali aku ke sini. Entah kenapa aku sama sekali tidak merasa asing. Meskipun aku dibesarkan di kota ini. Aku tidak pernah datang ke sini sebelumnya.

 

Perasaan itu, seperti pernah kualami, namun ingatanku sangat bertolak belakang. Mungkin itu juga karena amnesiaku.

 

Aku menutup payungku lalu mengibasnya, kemudian masuk ke dalam perpustakaan.

 

Hari ini masih hari kerja dan dalam jam kerja, perpustakaan yang tidak terlalu ramai, tapi memang seperti inilah biasanya kutemui. Jarang sekali aku melihat perpustakaan ramai.

 

Bangunan ini masih mempertahankan bentuk aslinya, bangunan tua dari peninggalan masa penjajahan Belanda. Nuansa klasik, dan sedikit suram.

 

Di dalam perpustakaan, aku melihat hanya empat orang yang sedang menikmati kesendiriannya masing-masing— Penjaga perpustakaan menikmati bahan bacaannya di bangku keramatnya, dua orang perempuan yang sedang duduk berhadapan dan seorang bapak-bapak terlihat mencari bahan bacaan di sudut ruangan—aku hanya memandang semuanya dari depan rak pertama yang tidak jauh dari pintu masuk.


Alasan aku datang ke perpustakaan ini adalah pentunjuk dari surat nomor “02” yang kubaca.

 

Aku masih belum mengerti kenapa aku di masa lalu mendapat surat, sedangkan di masa itu ponsel sedang canggih-canggihnya.

 

Di surat itu, Mark menuliskan sebuah pesan singkat bahwa hari yang sudah ditentukannya, tepat hari libur seminggu setelah pertemuan pertama kami, dia menuliskan sebuah koordinat, tempat dia akan bertemu denganku. Setelah aku mencari tahu, sekarang aku mendapatkan bahwa alamat itu menunjukkan sebuah perpustakaan tua—aku tidak tahu apakah aku mendatangi tempat yang benar atau berbeda dengan tempat yang pernah kudatangi di masa lalu.

 

Ini benar-benar menjengkelkan, lagi-lagi aku seperti dipermainkan dalam sebuah teka-teki yang tidak mempunyai jawaban.

 

Aku menyusuri rak demi rak, mencari bahan bacaan sembari mencoba mengingat apa yang pernah terjadi di tempat ini terkait dengan surat itu, tentunya dengan Mark.

 

Aku tidak menemukan satupun titik ingatan itu. Apa aku salah tempat—Oh! Buku ini ... meskipun terlihat sangat usang, buku ini masih membuatku penasaran. Buku ini, buku yang ingin kubaca di kafe kemarin.

 

***

 

“Kaimu ...” seseorang berbicara di balik punggungku saat aku menyentuh salah satu buku di rak di tengah-tengah, bagian ujung di dekat jendela.

 

“Kenapa denganku?” Aku berbalik mengarah kearahnya yang berjalan ke sampingku, lalu menyenderkan punggungnya ke jendela.

 

“Bukunya,” dia menunjuk ke arah buku yang baru saja kutarik dari kawanannya. Dia melepaskan headphone-nya lalu mengantungkan ke leher. “Judulnya ada dua, Kaimu ... dalam bahasa Jepang berarti ketiadaan, sekilas juga terdengar seperti kamu dalan bahasa Indonesia—aku sudah membacanya. Bukunya bagus, aku merekomendasikannya,” katanya.

 

“Oh ...,” kataku sambil membuka halaman pertama. “Bercerita tentang apa?”

 

“Oooh .... Aku tidak mau spoiler ...,” dia mengelak,

bercanda.

 

“Bukan begitu, jelaskan secara singkat, kenapa aku harus tertarik dengan cerita ini.”

Dia mengangguk-angguk lalu berjalan ke arah meja tidak jauh di depan kami. Ternyata dia sudah mengambil buku bacaannya dan menaruhnya di sana.

 

Aku mengikuti dan duduk di sampingnya. “Bukunya bercerita tentang renungan kehidupan si tokoh utama, yang sedang sedang melewati masa-masa sulitnya. Dia juga bercerita, di mana orang-orang lebih sering diam dan saling cuek satu sama lain, rasanya aneh dan gak bisa dimengerti kenapa, semua terasa jauh satu sama lain, hari-hari rasanya jadi sepi, ibaratnya seperti hidup di dunia boneka yang gak punya hati dan perasaan—di satu sisi saat dia mengalami masa sulit itu dia bertemu dengan orang yang membuatnya berjuang bangkit dari masa sulitnya, namun saat dia hampir bangkit dari keterpurukan itu, orang yang percaya sama dia, pergi.

 

“Padahal ‘seseorang’ itu muncul membawakannya sebuah cinta, dan membuat merasakan sentuhan di hatinya. Akhirnya ia menyadari tentang kenyataan dari sebuah kehidupan. Dan dia menyadari, ia hidup sebagai manusia yang mempunyai perasaan. Menjawab atas keraguan tentang kehidupannya yang dulunya dia abaikan—perginya ‘seseorang itu’ gak dijelaskan secara detil, entah itu benar-benar menghilang atau sudah meninggal—ceritanya bagus kok, penuh sarat akan makna kehidupan, di mana kita harus menjalani hidup ini dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai kita menyesal ketika udah gak ada waktu lagi yang tersisa,” dia mengakhiri penjelasannya lalu membuka buku pilihannya.

Lihat selengkapnya