Keesokan paginya, aku mengambil tiket keberangkatan kereta paling pagi, kembali ke asrama kampusku.
Aku hanya berpamitan dengan ayahku, kakakku dengan berat hati tidak bisa mengantarku karena sedang bertugas. Jadi hanya ayah yang mengantarku ke stasiun hari ini.
Perlu keberanian yang besar untuk membuat keputusan kembali ke asrama hari ini. Itu keputusan yang sangat sulit. Entahlah, masa lalu yang membuatku begitu penasaran. Aku ingin mencari Mark dan mengembalikannya ke tempat seharusnya. Aku sudah sangat lelah terbayang-bayang dengan kehadiran Mark yang membuatku ketakutan sendiri. Aku tidak tahu kenapa dia selalu hadir, apa tujuannya mengingatkanku dengan cara seperti ini. Kuharap dengan cara ini, aku bisa membuatnya berhenti menerorku dan istirahat dengan tenang.
Sepanjang perjalanan aku mengumpulkan informasi tentang kecelakaan setahun lalu dari berbagai sumber secara online—aku tidak bisa mengandalkan keluargaku. Tentu saja mereka tidak mau membahas peristiwa itu lagi.
Dari berita satu ke satu berita, banyak sekali ayahku tersorot media karena popularitasnya, dan namun tidak sedikit juga yang menyorot keluarga Mark—ayah Mark merupakan pembisnis yang sangat terkenal dibidang Real Estate, itu yang membuatnya seimbang dengan pemberitaan yang menyangkutpautkan kasus bunuh diri anaknya dan juga bisnisnya.
Hampir semua berita menyajikan permasalahan yang sama—namun hanya ada satu media berita yang membuatku tertarik, di mana hanya satu berita ini yang menyajikan berita yang berbeda dari kebanyakan berita yang kubaca. Media ini menjelaskan bahwa informasi dari yang didapatkan dari TKP benar-benar simpang siur dan terdapat banyak keganjilan karena di tutupi oleh dua keluarga dan juga kepolisian. Media ini juga menjelaskan memang benar bahwa ada kasus bunuh diri dalam kasus ini—mobil yang dipajang di halaman di dekat asrama kampusku setelah dicari tahu pemiliknya bukan berasal dari keluarga Mark ataupun atas kepemilikan Mark sendiri. Tapi mengarah pada ....
Seluruh tubuhku bergetar hebat saat membaca setengah bagian dari berita itu.
Kepemilikan itu setelah di cari tahu justru berasal dari kepemilikkan atas ... namaku! Aku tersentak kaget membaca bagian kalimat itu—jadi kasus bunuh diri itu sebenarnya mengarah pada aku sendiri, bukan Mark—namun anehnya, yang membuat alibi itu kuat mengarah ke Mark adalah pesan yang diterima sahabat Mark beberapa saat sebelum Mark di temukan jatuh di sungai itu. Yang semakin aneh adalah, bahwa kasus itu di tutup begitu cepat tidak lebih dari tiga bulan, tepat di mana aku masih dalam masa kma.
Bukankah kasus ini aneh—tentu saja, itu yang membuat banyak pihak bertanya-tanya.
Sebenarnya siapa duluan yang jatuh ke sungai itu? Apa benar mulanya adalah kecelakaan alami? Terlebih lagi setelah dicari tahu bahwa kepemilikan mobil yang menjadi monumen di dekat asrama itu adalah milikku—aku tidak pernah ingat kapan aku mempunyai mobil pribadi. Jelas-jelas menjadi ini sangat aneh—aku tidak sanggup memikirkan lebih panjang lagi. Ini benar-benar sangat memberatkan bagi aku yang baru menyadari kasus ini—aku hilang ingatan. Ini benar-benar menyesakkan dadaku. Membuat kepalaku sakit terlebih saat aku mendapati sebuah foto di berita itu, di mana memperlihatkan Ibuku di antara kurumunan orang—apa dia benar-benar menjengukku?
***
Alasanku kembali ke kota ini adalah karena surat bernomor “03”.
Surat itu hanya bersisi pesan singkat. Mark hanya menuliskan bahwa dia akan menjemputku di stasiun dan dalam surat itu terdapat bekas tiket kereta api dan sebuah tiket konser yang belum terpakai.
Aku bertanya-tanya kenapa aku tidak pergi ke konser itu tapi tetap melakukan perjalanan itu?
Konser itu berada di kota yang sama di daerah tempatku berkuliah. Aku tidak pernah tahu informasi nama band bahkan lagu dari band itu, yang akan aku tonton pada tanggal yang tertera pada tiket ini.
Aku baru mengetahui band itu saat membaca surat dan menemukan tiket konser yang membawaku menelurusi kenangan itu kembali. Band itu bergenre rock—aku tidak pernah tahu siapa di antara kami berdua yang menyukai band ini sebenarnya. Jika itu aku, itu aneh sekali. Mulai kapan aku menyukai band beraliran rock seperti itu—aku tidak punya alasan kenapa aku mennyukai band itu. Dari lagu yang mana aku menyukainya? Lagunya kupikir tidak buruk-buruk juga kalau dengar-dengar. Walau aku sangat terkejut saat mendengar lagu itu benar-benar band rock yang kurasa tidak pernah kusuka sama sekali.
Jika itu band yang disukai Mark—bukankah itu sedikit membingungkan setelah aku mendapati masa laluku dia memutarkan lagu untukku yang beraliran mellow?
Atau mungkin tiket itu hanya sekadar dibeli untuk mengisi waktu akhir pekan kami?
Aku tidak tahu mana jawaban yang benar—yang jelas kurasa hubungan pertemanan kami saat itu berjalan cukup lama dan sudah banyak mulai berkomunikasi menggunakan ponsel. Surat bernomor “03” itu berjarak cukup lama dari surat sebelumnya, perbedaan tahunnya yang cukup signifikan— bukan lagi perbedaan minggu melainkan tahun. Jadi sejauh mana sudah hubungan kami?
Aku menyusuri tempat konser yang pernah berlangsung beberapa tahun lalu—band itu baru konser untuk pertama kalinya di Indonesia, dan tidak pernah lagi melakukan pertunjukan selain konser tahun itu. Apa itu alasannya kenapa tiket itu terbeli, karena konsernya yang langkah?
Setibanya di tempat yang pernah menjadi tempat konser itu, aku tidak menemukan tanda-tanda ingatanku terpanggil kembali meskipun aku sudah berkeliling-keliling tempat itu dan bertahan berjam-jam. Mungkin benar bahwa aku tidak pernah datang ke konser itu. Lalu apa alasannya aku tidak datang ke konser itu? Apa aku benar-benar menikmati akhir pekanku dengan Mark? Ke mana kami pada waktu itu, bukankah sangat disanyangkan kalau kami melewatkan konser itu?
Tidak ada hasilnya.
Tidak ada gambaran seperti sebelumnya yang berhubungan dengan surat nomor “03”. Apa mungkin kuteruskan saja untuk membaca surat nomor “04”? Surat terakhir.
Aku memutuskan berjalan kaki sembari mencari ingatan itu kembali. Ke mana ingatan itu bersembunyi? Surat nomor “03” ini lebih membuatku sangat penasaran dari surat-surat sebelumnya.
Apa aku perlu tertidur dulu agar dengan mudah mendapatkan kenangan itu kembali? Percuma saja, kan? Meskipun aku mendapatkan gambaran-gambaran itu, aku benar-benar merasa tidak pernah memilikinya.
Aku memutar alunan instrumen piano berjudul Reminiscent sambil berjalan kaki, menuju sebuah tempat yang tidak kutahu. Aku hanya berjalan, kuserahkan saja semua pada kakiku, ke mana dia akan membawaku kali ini.
Sepasang mata itu menatapku dari jauh, tatapan kami bertemu. Orang itu mengenakan pakaian harian dari petugas pemadam kebakaran—jika dilihat dari wajahnya dia masih terbilang muda, mungkin masih sekitar dua puluhan ke atas. Dia sangat tinggi untuk kebanyakan laki-laki yang biasanya kutemui. Dia ragu sejenak saat aku melewatinya, sesaat dia memegang handle pintu kafe yang akan dia masuki.
Dia melepas topi hitamnya.
Aku melewatinya begitu saja, lagi pula aku juga tidak mengenalnya.
Belum jauh aku darinya, aku mendengar dia memanggil namaku—volume lagu tidak begitu nyaring, jadi aku masih bisa mendengar dia memanggilku.
Aku berhenti sejenak. Dia berlari menghampiriku.
Dia memegang topinya dengan kedua tangan, wajahnya menjelaskan kalau dia terlihat sangat gugup, dan canggung.
“Adelia.” Dia tersenyum menatapku dengan rasa beryukur. “Apa kabar?” tanyanya ragu-ragu.
“Sepertinya aku tidak mengenalmu—maaf,” kataku to the poin, aku tidak ingin berlama-lama dengan orang asing— tapi kenapa dia tahu namaku?