“Mari kita tidak saling jatuh cinta ....” Itu kataku, dalam sebuah mimpi.
Aku terbangun pada pukul sembilan malam.
Kamar asrama yang sepi, kurasa teman-temanku belum pulang dari kegiatannya.
Aku terbangun dengan keadaan kamar yang gelap, lampu belum dinyalakan sebab ketika aku tidur sore tadi, keadaan langit masih terang. Kini cahaya hanya bersumber dari lampu di halaman luar.
Aku duduk di ujung tempat tidurku, mencoba mengingat-ingatnya kembali mimpi yang baru saja kualami.
“Mari kita tidak saling jatuh cinta ....” Entah mengapa aku mengatakannya, terdengar begitu riang sekali.
Di dalam mimpi itu, aku sedang berjalan-jalan di sebuah taman, aku masih bisa merasakan angin yang berhembus dan daun-daun yang berguguran karenanya.
Saat itu aku melihat punggungnya. Dia tepat berada di depanku—dia berbalik menghadapku, lalu tersenyum.
Hanya itu. Aku tidak mengingat kembali apa yang terjadi, setelah dia membalikan punggungnya, menatapku dengan tatapan hangat, dan senyuman tulusnya itu.
Aku bangkit dari duduk dan berjalan menuju tempat duduk meja belajar yang menghadap ke taman, dari meja belajar ini aku bisa melihat dengan jelas sekali mobil yang kini dijadikan akuarium itu berada.
Aku memandanginya ... di sekelilingnya, orang-orang dengan biasa saja berjalan atau duduk di sekitarnya. Seakan-akan rumor tentang angkernya mobil itu hanya sebuah candaan belaka.
Angin bertiup. Desirannya begitu dingin kurasa—dia seperti Mark, meskipun aku tidak melihatnya secara nyata, entahlah hati kupercaya kalau dia ada di sekitarku. Aku merasakan kehadirannya.
Dia muncul terus menerus dalam mimpiku. Sepertinya dia anak yang baik, tapi kenapa aku melupakannya? Ingatanku benar-benar tidak menemukan dia di segala ruang di kepalaku. Kini kemunculannya membuatku menjadi ragu, apa benar aku takut akan kehadirannya atau aku ....
Aku tidak tahu apakah pertanyaan yang selalu muncul dalam kepalaku ditunjukan pada Mark atau diriku sendiri. Matanya yang tajam mengurut sedih setiap kali memandangku, setiap kali aku mencoba memperhatikan matanya, ada rasa dingin yang menusuk dengan rasa tajam, sakit, yang tak kukenal di hatiku.
Aku sebetulnya tidak ingat kenangan tentangnya, namun aku tidak berhenti membayangkannya, hatiku terus ingin mengingatnya. Itu sangat bertolak belakang, dan menyakitiku.
Aku dihantui matanya. Setiap kali matanya muncul dalam mimpiku, sesuatu tekanan dalam dadaku terasa menyesakkan. Sangat menyesakkan, benar-benar menyakitkan.
Bagaimana seharusnya aku, agar bisa menghindari hal menyakitkan itu?
Apakah ada hal yang sangat signifikan berubah antara dulu dan sekarang? Bahkan saat ini, perasaan yang menakutikuku berubah menjadi sesuatu hal yang aneh ... aku ingin menghilangkannya ... tapi aku tidak bisa membohongi perasaan yang bersembunyi ....
Bagaimana bisa kusebut perasaan itu adalah sebuah rindu untuk seseorang yang tidak pernah kuketahui sebelumnya?
Dan kisah itu menjadi seperti ini?
Aku mengikuti kisah yang tertulis dalam surat terakhir, surat nomor “04”.
Surat itu sepertinya ditulis untuk menyambut kedatanganku di kampus ini sebagai mahasiswa baru. Di dalam surat itu juga, Mark menanyakan kenapa aku sulit dihubungi—tidak ada penjelasan tentang hal itu, aku juga tidak bisa menjawab kenapa aku sulit dihubungi saat itu—Mark menyampaikan rasa terima kasihnya karena mau memilih kampus yang sama dengannya, itu di kampus ini.
Aku juga tidak mengerti alasan yang tepat kenapa aku memilih kampus ini. Setelah membaca surat ini, sepertinya aku di masa lalu memilih kampus karena Mark, benar-benar konyol sekali jika itu adalah alasannya. Bagaimana bisa aku membuat keputusan seperti itu?
Dalam surat itu Mark mengajakku bertemu di gedung teater, tidak jauh dari perpustakaan di student center kampus, tempat di mana berkumpulnya ruangan-ruangan UKM.
Aku tidak tahu apa yang terjadi pada saat itu. Apakah aku datang memenuhi undangannya sesuai waktu yang ditentukannya atau aku hanya mengabaikannya. Bukankah kami lost contact untuk beberapa waktu sebelum surat ini sampai di tanganku?
Saat ini hampir pukul sepuluh malam. Meskipun begitu gedung student center masih ramai, tidak jauh beda seperti saat siang hari. Berbagai macam aktivitas masih terlihat dari lantai satu sampai lantai empat. Organisasi mahasiswa dari berbagai bidang masih sibuk dengan kegiatan rutin—ada yang masih latihan bermain bandminton, ada yang latihan taekwondo, rapat, kegiatan agama, kegiatan musik dan masih banyak lagi, bahkan ada juga yang hanya santai-santai saja melepas penat mereka setelah belajar seharian.
Ruangan teater tidak jauh dari pintu masuk student center, ruangannya juga paling besar. Aku perlahan masuk ke dalam ruangan itu karena penasaran dengan suara-suara di dalamnya. Saat aku tiba di sana, aku masih melihat beberapa anggota teater yang masih berlatih dan mendekorasi panggung, mungkin akan ada pementasan besok hari.
Aku duduk di kursi penonton yang paling atas, di dekat pintu masuk penonton. Saat itu pemain piano mengambil alih dan mengiringi pemain yang sedang memerankan lakonnya.
“Mari kita tidak saling jatuh cinta ...,” kata seorang perempuan berambut pendek sambil membaca script dramanya di atas panggung.