Kemarin: The Man In The Moon

tavisha
Chapter #16

#16

Aku mulai masuk kuliah hari ini. Untung saja hari ini hanya ada satu mata kuliah di pagi hari, dan aku bisa melanjutkan waktu istirahatku sepulang dari kuliah.

 

Kini berbaring seharian sambil mengotak-atik laptopku, barangkali aku menyimpan sesuatu tentang Mark di sana. Sayangnya, percuma saja, yang ada hanya file-file tentang kuliahku. Tapi itu sangat aneh, harddisk-ku berkata berbeda. Tidak seperti apa yang terlihat. Harddisk-ku hampir penuh, namun file yang tampak sangat sedikit dengan kapasitas kecil.

 

Aku membuka settingan untuk melihat apakah ada file yang tersembunyi. Ah, benar! Pantas saja. Tapi apa yang sedang kusembunyikan. Apakah ini file-file yang dilindungi negara? Konyol sekali.

 

Aku membuka folder yang baru saja muncul karena tersembunyi sebelumnya. Folder foto, foto, dan foto.

 

Mark ... Mark ada di beberapa file foto yang sedang kulihat—sepertinya kami sedang melakukan kegiatan kerelawanan atau apalah itu. Meskipun pakaian kami tampak berbeda di berbagai foto, namun orang-orangnya masih tampak sama. Ada banner yang tertulis bahwa tempat yang menjadi latar belakang itu adalah sebuah panti asuhan—Andri juga tampak ikut di berbagai kegiatan itu.

Aku membuka folder lain—mendadak dadaku merasakan sesuatu yang menyakitkan. Itu hanya fotoku bersama dengan Mark—di pantai, di taman, di museum, atau berbagai foto konyol lainnya—ada juga video pendek— sepertinya aku benar-benar berpacaran dengannya.

 

 

 

Aku menggiling bajuku di mesin pencuci yang disediakan asrama sambil berjongkok menatap penutup mesin cuci yang sedang memperlihatkan tingkahnya memutar-mutar bajuku dalam gilingan air—aku memikirkan hal itu berulang kali. Ah, ini memalukan jika aku mengingat-ingatnya. Dia menciumku di mimpi itu, benarkah itu pernah terjadi di kehidupan nyata?

 

Dia mencium, pipiku! Tapi itu sangat memalukan jika diingat kembali. Aku tahu, itu hanya di pipi—bagaimana pun dia seseorang yang sudah kuanggap sebagai kakakku, tapi kakakku tidak pernah seperti itu. Meskipun kakakku mencium pipiku, kenapa aku tidak merasakan perasaan yang menakutkan seperti itu, menakutkan tepatnya sangat memalukan jika terus-terus kuingat, terlebih kini dia sudah tiada—foto itu, foto-foto yang sudah lama kusembunyikan dan video-video itu, aku tidak bisa mengelak kenyataan. Aku masih belum tahu. Aku harus mengontrol pikiranku. Aku tahu ini tidak bisa dimaafkan, aku mengatakan sesuatu yang kini aku ragu untuk kukatakan lagi ... apa video itu telah direkayasa? Bagaimana bisa aku mengatakan, “Aku mencintamu.” Apa aku sungguh-sungguh saat itu? Ah, kenapa hatiku saat ini seperti menyetujui hal itu.

 

Ping ....

 

Sebuah pesan masuk dari Andri.

 

Aku memang mengirimkan pesan kepadanya, aku mengirim foto yang terdapat aku, Mark dan dia sedang berada di panti asuhan itu—ada cerita apa dengan kami bertiga saat itu?

 

[Mau ke sana?] Andri membalas pesanku.

 

***

 

Aku dan Andri disambut hangat seorang wanita paruh baya setibanya di Panti Asuhan Aulia Bina Kasih, tempat di mana menjadi banyak latar belakangku berkegiatan bersama Mark.

 

Andri sudah menceritakan semuanya sewaktu dalam perjalanan menuju tempat ini. Andri berkata bahwa cerita kami bertiga berlanjut saat tidak sengaja menggagalkan penculikan anak berusia lima bulan yang kami selamatkan sewaktu pulang dari gagal menonton konser beberapa tahun lalu.

 

Waktu itu, Mark memberikan tumpangan untuk mengantar pulang Andri sebagai ucapan terima kasih telah membantu dan menemani kami yang juga gagal menonton konser. Dalam perjalanan pulang, tanpa diduga kami menabrak pengendara motor yang tiba-tiba saja memotong arah jalan hingga berbenturan dengan mobil Mark hingga terjadinya chaos—tanpa disangka-sangka juga ternyata kami malah membantu pihak kepolisian menemukan tersangka penculikan yang sudah buron beberapa hari sebelumnya.

 

Anak yang menjadi korban penculikan itu adalah salah satu anak asuh panti asuhan yang sedang kami kunjungi ini— ternyata dia memang sangat mengenalku. Anak perempuan yang hampir menginjak usia enam tahun itu berlari dengan bahagia saat mendapati kehadiranku saat perempuan yang mengenalkan dirinya sebagai manajer panti menyambut kedatangan kami.

 

“Kenapa tidak pernah ke sini lagi, Adek gak nakal kok. Kakak Mark ke mana, kenapa gak datang?” kata anak perempuan itu dengan polos sambil memeluk kakiku.

Namanya Erin, begitu kata manajer memperkenalkan anak itu—seharusnya aku sudah tahu siapa-siapa isi panti asuhan ini.

 

Dengan terpaksa, ibu manajer itu akhirnya menyuruh si anak untuk menjauh sementara beberapa saat selama pertemuan kami. “Aku benar-benar sedih mendengar berita itu,” kata manajer yang memperkenalkan namanya sebagai Tania.

 

Aku hanya tersenyum, tidak ada kata yang bisa

 

kugambarkan untuk menyiratkan kesedihan dan kebinggunganku menemukan potongan-potongan puzzle masa lalu ini berserakan di masa depanku.

 

“Dia anak baik—bahkan sampai sekarang aku tidak habis pikir dia masih menjadi donatur setelah kepergiannya,” kata Ibu Tania mengenang Mark dengan bangga sembari memandangi anak-anak bermain di halaman melalui jendela besar di depan kami. “Jika bukan kalian, jadi apa panti asuhan ini,” katanya lagi. “Mark benar-benar sangat membantu saat panti asuhan ini hampir terlepas kepemilikkannya karena tunggakan—aku sangat yakin Mark tidak menceritakannya kepada kalian tentang masalah itu.”

Bagaimana bisa anak itu masih begitu menjadi anak baik setelah rumor kematiannya yang seperti itu.

 

Sayangnya, pagi itu aku tidak bisa mendengar ceritanya lebih banyak tentang Mark dari Ibu Tania dan juga kenangan masa lalu kami bersama—selebihnya cerita-cerita bahagia itu dilanjutkan Andri selama perjalanan pulang—Desy keburu meneleponku, mengatakan ada seseorang yang sedang menungguku di asrama, aku tidak tahu siapa orang itu, namun dia menolak untuk datang lagi dan memutuskan menungguku kembali ke asrama.

Lihat selengkapnya