Burung tidak meninggalkan jejak kakinya di langit.
Bukan karena langit tak suka, Sayang.
Karena kita tidak bisa melihatnya?
-Sapardi Djoko Damono, Kolam-
***
“Tolong ...!” Aku berteriak nyaring sekali, namun suaraku sama sekali tidak terdengar orang di sekelilingku. Aku membuka mataku lebar—jendela di segala sisi tertutup—pintu terkunci mati, tidak bisa terbuka. Saat kaca di sampingku mulai retak karena tekanan air, aku semakin panik.
Dadaku seakan terhimpit beton di kedua sisi, belakang dan depan. Air perlahan membenam tubuhku. Mataku terasa perih seperti terbakar. Gendang telingaku sepertinya akan pecah sebentar lagi.
Oksigen semakin menipis.
Aku memukul dengan keras kaca di sebelahku dengan segenap kekuatan yang masih kupunya—
Lampu di depan sana menyala terang sekali— sepertinya bukan hanya aku yang sedang terperangkap di dalam mobil, jatuh ke dalam sungai yang menelanku saat ini. Aku melihat ada mobil lainnya di depan sana, seperti mobil sedan, menukik tajam ke arah dasar. Aku melihat seseorang
yang dengan pasrah menutup matanya di balik kemudi mobil tanpa panik sedikit pun—seakan dia sudah sangat yakin bahwa dia tidak akan selamat. Aku yakin mobil di depan sana baru saja tercebur. Dalam mobil itu masih penuh udara, masih belum ada air yang masuk. Kaca mobilnya masih belum retak karena tekanan.
Badan mobilku menyentuh dasar sungai ....
Walau badan mobilku jatuh berdebam pelan, namun keras sekali kurasa. Mungkin ini karena udara yang semakin menipis—mata orang yang ada di dalam mobil, di depanku, terbuka pelahan menatapku, sebelum lampu mobilnya meredup mati—melihat matanya menatapku dengan tenang, aku—
“Adelia!” Seorang yang berada di sampingku memanggil.