Heningnya kota menyimpan sesuatu yang tak pernah ingin ditemukan.
Suara sirine memecah keheningan malam. Kabut tipis menggantung di udara, seolah mencoba menyembunyikan bau darah yang masih segar di antara dinding-dinding tua gang sempit itu. Cahaya lampu polisi berkedip-kedip, memberi warna pada genangan air hujan yang belum lama turun. Di tengah lokasi kejadian, tergeletak mayat pria muda yang tampak mengenaskan. Tak ada identitas. Tak ada saksi. Hanya tubuh yang membeku dalam posisi aneh, seolah ingin berbisik tentang penderitaan terakhirnya.
Reyna berdiri mematung di antara garis polisi, wajahnya tidak berekspresi, tapi tatapan matanya cukup tajam untuk menusuk siapa pun yang berani mendekat. Ia bukan orang baru di dunia ini. Detektif senior dengan reputasi dingin dan tidak kenal ampun. Tapi malam itu… sesuatu terasa berbeda.
“Tidak ada tanda kekerasan. Tidak ada luka tusuk atau tembak. Tapi jelas pria ini tidak mati karena alam,” ujar petugas forensik.
Reyna menatap sekeliling. Langkahnya lambat, penuh pertimbangan. Setiap jejak, setiap bayangan diperhatikan. Ada simbol kecil di dinding, tergores samar dengan cat hitam yang nyaris mengering. Bentuknya aneh—seperti mata yang mengintip dari balik kehampaan. “Ini bukan pembunuhan biasa,” gumam Reyna.