“Ale sekarang jadi pergi?” tanya wanita paruh baya berumur 40 tahunan. Wanita tersebut bernama Amira, ibu yang sangat disayangi Alessa. Sosok ibu terbaik yang tak pernah bisa tergantikan.
“Iya Buk. Nanti rekan kerja Ale jemput ke rumah.”
“Kamu gak apa-apa pergi keluar sama dia?” tanya Amira khawatir, ia mengetahui bahwa putrinya tersebut mempunyai masa lalu yang sangat kelam dan selama beberapa tahun belakangan ini tak pernah pergi keluar rumah jika tidak diantar oleh kakaknya. Tapi hari ini, ia melihat putrinya terlihat sangat kuat dan berani karena akan keluar rumah tanpa didampingi kakaknya. Namun tetap saja, naluri seorang ibu yang sangat menyayangi anaknya, membuatnya merasa khawatir.
Alessa menatap lekat-lekat ibunya sembari tersenyum, “Buk, Ale udah besar. Ale pasti bisa jaga diri selama disana, lagian Ale kesana gak sendirian, ya sekitar enam oranglah,” ucapnya yang mengetahui kekhawatiran sedang melanda ibunya tersebut.
Keluarganya sangat protektif dalam hal apapun, ia juga tak mengetahui alasan keluarganya bersikap seperti itu. Tapi semuanya bermula ketika ia bangun dari komanya sekitar dua tahun yang lalu. Ia tak dapat mengingat beberapa kejadian sebelumnya. Karena hal tersebut, ia selalu berusaha untuk mencari tahu penyebab kekhwatiran keluarganya tanpa sepengetahuan mereka. Namun, sampai saat ini ia belum menemukan titik terang dari pencariannya tersebut, karena mereka selalu ada di setiap inci waktunya.
Bi Susi, asisten rumah tangga, tiba-tiba menghampiri. “Buk, di depan ada tamu mau ke Mbak Alessa.”
Alessa yang sudah mengetahui bahwa tamu tersebut adalah rekan kerjanya langsung berjalan menuju ruang tamu.
“Sekarang Rick?”
Erick mengangguk.
“Eh yang lain mana?”
“Mereka nunggu di mobil.”
“Buk, Ale berangkat dulu ya,” pamitnya sembari memeluk ibunya.
Ibunya tersenyum hangat, “kalo ada apa-apa langsung kabarin kakak ya Le?”
“Siap buk.”
“Nak Erick, ibu titip Alessa ya,” ucap Amira kepada Erick yang baru saja dikenalnya beberapa menit yang lalu.
“Iya tante.”
Alessa dan Erick pun masuk ke dalam mobil dan melambaikan tangan pertanda mobilnya melaju meninggalkan kediaman Alessa.
Di dalam mobil, Erick mengenalkan rekan-rekan kerja lainnya yang ikut bergabung dengan mereka untuk observasi.
“Sa, kenalin orang yang duduk di jok kedua itu ada Rina, Sisi dan Lesti. Dan orang yang duduk di jok yang paling belakang ada Adri, Indra dan Bagas. Mereka juga ditugaskan bekerja di luar ruangan tetapi beda lokasi.”
Alessa mengangguk dan memberikan sapaannya lewat senyuman. Setelah selesai memberikan sapaannya dan melihat satu per satu wajah rekan-rekannya tersebut. Ia merasa pernah mengenal dan melihat sosok lelaki putih berambut ikal yang bernama Bagas. Tetapi sayangnya, semakin ia memikirkan dan mencari-cari keberadaan data Bagas dalam ingatannya, semakin ia tak menemukan apapun dari ruang data ingatannya, samar.
“Mungkin Cuma perasaanku aja,” pikirnya berusaha tak memperdulikan perasaan anehnya tersebut.
Lelaki berkulit putih berambut ikal tersebut juga terdiam sejenak ketika mata Alessa menatapnya dengan tatapan orang asing. “Apa Alessa lupa sama gue?” batinnya memekik bertanya.
Perjalanan menuju tempat observasi cukup lama sekitar 8 jam karena tempatnya berada di pedesaan yang jauh dari perkotaan. Ada yang sudah tertidur di dalam mobil, mungkin kelelahan, tetapi Alessa dan Erick sama sekali tidak mengantuk. Erick yang fokus menyetir, sedangkan Alessa sibuk membaca-baca berkas proyeknya dan Bagas berusaha membuka obrolan dengan Alessa karena rasa penasaran yang berkecamuk menganggu pikirannya.
“Alessa,” panggil Bagas dari jok belakang.
Alessa menoleh dan menggeser duduknya sedikit ke sebelah Erick mendengar panggilan dari Bagas, “iya, ada apa?”
“Lo lulusan mana?” tanyanya basa-basi sekaligus memastikan bahwa Alessa yang ada di mobil tersebut adalah teman seangkatannya dulu sewaktu kuliah.
“Universitas Nusa Bangsa.”
“Angkatan?”
“2014.”
“Jurusan?”
“Managemen Bisnis.”
Bagas bertepuk tangan sembari tersenyum seakan ia berhasil mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang berkecamuk di hatinya. Teman-teman lain pun terbangun dari tidurnya.
“Gas, lo kayak wartawan aja, ada apa sih?” tanya Indra menguap.
“Sa, lo gak kenal sama gue?” tanya Bagas spontan sontak membuat teman-temannya menatapnya curiga.
“Gue Bagas temen sekelas lo selama kuliah,” lanjutnya antusias mengingatkan Alessa tentang dirinya.
“Lo mimpi kali Gas bisa sekelas sama Alessa, pegawai yang sering menyabet penghargaan,” sindir Adri yang juga sudah bangun dari tidurnya beberapa menit yang lalu.
Alessa yang sedang dibicarakan dan diperdebatkan oleh rekan-rekannya hanya terdiam beberapa saat, ia berusaha mengingat sosok Bagas dan mencarinya dalam ruang data ingatannya. Ia menemukan Bagas di ruang data ingatannya. Ia mengingat Bagas dan semua hal yang berkaitannya.
“Bukannya dulu kamu pake kaca mata dan rambutnya gondrong karena gak mau dicukur,” ucapnya berusaha menjelaskan sosok Bagas yang diingatnya.
“Iya bener. Tuh lo inget juga. Gue kira lo lupa,” sindirnya jail yang membuat Adri dan Indra menepuk jidat masing-masing.
Alessa tersenyum, “gimana gak inget kerjaanmu kan gangguin aku terus kalo di kelas,” sindirnya yang membuat orang-orang yang ada di mobil tertawa.