KEMBALI

rizky al-faruqi
Chapter #1

Agdam dan Hari Besar

Distrik Shirvan, Azerbaijan. 1996 M.

Angin pagi bersemilir lembut. Menyapa dedaunan dan pucuk-pucuk pohon maple beludru. Rombongan burung merpati bukit baru saja pergi dari sarangnya. Riang saling berkicau di antara reranting pohon. Tidak jauh di selatan pepohonan, terpisah sepuluh langkah, sebuah sungai kecil mengalir deras dari arah barat. Airnya yang jernih berlomba meninggalkan peraduannya, menuju hilir sungai yang seakan tak berujung. Ikan-ikan kecil asyik melawan arus di antara celah-celah bebatuan besar. Sesekali berlompatan seakan ikut menikmati sejuknya udara pagi hari ini.

Tidak jauh di utara barisan pohon maple, hanya sepelemparan batu, sebuah rumah berdiri tegak dengan pekarangan luas, menghadap ke timur. Jika diperhatikan, tampaknya si pemilik rumah sengaja menghadapkannya ke arah sana. Menyaksikan matahari terbit, sambil menghirup udara sejuk tiap pagi hari adalah hal yang terlalu sayang untuk dilewatkan.

Angin lembut kembali berhembus, menggugurkan satu-dua daun maple dewasa. Membawanya hinggap di pucuk-pucuk dedaunan taman di pekarangan rumah, jatuh terapung di permukaan kolam ikan, sebagian terbawa lebih jauh.

Dan sehelai daun paling merah pagi itu hinggap di telapak seorang yang sengaja membuka tangannya. Ottmar. Laki-laki itu menarik nafas sejenak, tersenyum, menimang-nimang helai daun di tangannya. Membuangnya perlahan sambil menatap matahari pagi yang baru saja keluar dari peraduannya. Sesekali merapikan ujung-ujung rambut yang beterbangan dimainkan angin. Rumah ini, seperti yang diharapkannya, berdiri kokoh bersama lanskap pemandangan alam yang sama dengan desa kelahirannya. Membuatnya tersenyum sendiri ketika terbayang banyak kejadian beberapa tahun silam.

Sekilas, terlintas dalam hatinya rasa syukur yang tak terkira, karena hampir semua kesusahan yang ia alami mulai berganti satu-persatu dengan kenikmatan tiada tara. Memang benar, di balik setiap kesusahan pasti terdapat banyak kemudahan. Karena Allah tidak akan mengecewakan hamba-hamba-Nya yang mau bersabar.

Anata[1].”

Suara lembut dari belakang membuyarkan lamunannya. Ottmar menoleh, kembali tersenyum melihat Naomi datang dengan membawa nampan berisi satu teko teh hangat dan secangkir gelas. Sejenak pria tampan berwajah Azeri tulen itu menatap istrinya aneh. Kenapa di atas nampan hanya ada satu gelas?

“Naomi-chan.. kenapa hanya satu gelas? Di dapur banyak, kan?” Ottmar membantu menurunkan gelas dan teko kecil, meletakkannya di atas karpet berbulu tebal. Naomi hanya tersenyum simpul, tidak langsung menjawab. Ottmar geleng-geleng kepala, beranjak duduk di atas karpet tebal.

“Gelas-gelas lainnya hilang? Apa pecah?” Ottmar bertanya lagi, ingin tertawa pertanyaannya dari tadi tidak di jawab. Naomi seperti sengaja, malah beranjak mengambil cangkir dan perlahan menuangkan teh ke dalamnya. Tidak menjawab. Ottmar menghela nafas saja, menyerah dengan senyuman Naomi yang memberikan cangkir teh itu kepadanya.

“Bagaimana, Anata?”

Ottmar mengecap pelan seruputan pertamanya, mengangguk-angguk kemudian.

“Alhamdulillah... sempurna. Memang tidak ada yang bisa mengalahkan teh sencha[2]. Apalagi yang buat orang Jepang sendiri.” Jawab Ottmar sambil tersenyum, yang langsung sukses membuat pipi Naomi bersemu kemerahan. Sambil mengulum senyum ia hanya meraih kembali cangkir teh yang diletakkan suaminya. Sejenak Ottmar memperhatikan. Naomi meliriknya lagi sebelum memutar posisi pegangannya.

Subhanallah..” Ottmar mengelus dadanya berulang. Tanpa terasa memuji Allah lirih. Ia baru tahu apa kehendak istrinya. Perempuan itu pasti ingin mencontoh romantisnya Rasulullah yang minum dari bekas bibir kekasihnya, Sayyidah Aisyah. Ottmar terus menatap istrinya hampir tak berkedip, senyumnya kembali merekah. Naomi malu-malu meletakkan kembali cangkir di tangannya. Tersipu begitu tahu suaminya menyadari apa yang ia lakukan. 

“Pagi-pagi sudah menang satu kosong yaa..” sindir Ottmar sambil berusaha mengambil cangkir itu dari tempatnya. Naomi tertawa, pura-pura menahan cangkir agar Ottmar tak bisa ganti minum dari bekas bibirnya.

“Baiklah.. baiklah.” Ottmar menyerah, tertawa membiarkan dua tangan mungil Naomi mengamankan cangkir di depannya. Naomi ikut tertawa sambil mengangkat dua tangan tinggi-tinggi. Tanda kemenangannya pagi itu.

Memang, walau sudah berjalan hampir dua tahun usia pernikahan mereka, Ottmar yang baru saja menginjak usia dua puluh empat dan Naomi yang hanya berjarak dua tahun di bawahnya tetap seperti sepasang muda-mudi seusia mereka. Sama sekali tidak terlihat seperti suami-istri. Belum lagi dengan buah hati yang sampai sekarang belum juga hadir di antara mereka, semakin menambah salah sangka orang-orang yang melihat mereka berdua.

“Oh ya, Naomi-chan..” Ottmar menepuk kening pelan, teringat sesuatu. “Bukankah orang tuamu akan datang dekat-dekat ini?”

Naomi mengambil teko kecil, “Anata lupa? Kemarin kan sudah kita rencanakan akan menyambutnya di rumah Ibu.” Naomi perlahan menuangkan teh dan meletakkannya di hadapan suaminya. Ottmar hanya mangut-mangut menyadari ia sendiri yang lupa dengan rencananya.

“Baiklah. Oh ya, sekalian belajar membuat dolma. Sudah dua tahun belum bisa membuat dolma seenak Ibu, kan?” Ottmar menyeruput teh hijaunya nikmat. Naomi membulatkan mata, menyengir.

“Lihat saja nanti, Anata akan tergila-gila dengan dolma buatan Naomi.” Ujar Naomi sambil kembali berjalan ke dapur, meninggalkan Ottmar yang tertawa lepas.

***

Pagi-pagi Ottmar dan Naomi sudah berangkat ke rumah Ibu. Esok hari, Ayah dan Ibu Naomi akan datang bersama. Mengingat Naomi anak satu-satunya, dan pula Shigeru-san sudah berjanji akan datang, akhirnya beliau pun rela terbang jauh-jauh dari Jepang ke Azerbaijan tahun ini.

Esok hari besar. Sebenarnya bukan orang tua Naomi saja yang datang, melainkan anak satu-satunya Paman Alp, Khan, juga akan datang berkunjung melihat rumah baru mereka. Alhasil, pagi ini di rumah ibu akan sangat ramai. Karena paman Alp beserta istrinya ikut membantu acara esok hari.

Tapi tanpa ada yang tahu, sebenarnya hal yang membuat Ibu membuat acara besar esok hari bukanlah karena kedatangan Shigeru-san selaku kepala keluarga baru mereka, atau Khan anak semata wayang Paman Alp yang sudah lama tak datang. Melainkan satu hal penting. Terpenting malah. Bahkan sedemikian pentingnya ibu sampai bolak-balik memastikan acara benar-benar tidak meleset dari esok hari walau setengah haripun. Satu hal itu, bahkan Ottmar baru tahu nanti setelah tiga keluarga berkumpul.

Sesampainya di sana, Naomi langsung bergabung dengan ibu, bibi Meryem dan Aysel di dalam rumah. Mempersiapkan segala sesuatu untuk acara dan memasak lepas dzuhur nanti. Sedangkan Ottmar, bagiannya membantu Paman Alp menyembelih domba dan mengurusnya sampai siap di masak. Jadi ia lebih memilih beralih menuju belakang rumah dulu, melihat-lihat beberapa ekor domba yang sedang asyik memamah rerumputan hijau sambil menunggu paman Alp datang. Sekilas, terlintas gambaran rumah paman Alp zaman dahulu. Entah orang tua itu sampai saat ini masih suka memelihara domba-domba atau tidak.

“Sedang melamunkan apa, Ott?” Ottmar hampir terperanjat. Seseorang menyentuh pundaknya dari belakang. Ottmar tersenyum begitu menyadari Paman Alp sudah berada di sisinya dengan membawa sebilah parang.

“Eh, tidak ada, Paman. Hanya teringat domba-domba paman yang dulu.” Ottmar kembali melihat kumpulan domba-domba yang tidak jauh dari dapur rumah ibu itu. Bulu-bulu putihnya bergerak-gerak menggemaskan. Paman Alp tersenyum, menghela nafas perlahan.

“O iya, kau belum mendengar ceritanya kan, Ott?”

“Cerita apa, Paman?”

“Perjuangan ibumu.”

Ottmar menoleh, membulatkan mata. Tertarik.

“Baiklah, mungkin ini akan menjadi cerita terakhir paman. Karena setelah ini, tidak akan ada lagi cerita Agdam yang dulu. Semuanya hilang bersama puluhan tahun kenangan paman, yang bahkan lahir dan tumbuh di sana.” Paman Alp melangkah menuju domba-domba itu, Ottmar yang belum sempat bertanya memilih mengikuti.

“Cerita terakhir, Paman?” tanya Ottmar setelah sempurna duduk di samping Paman Alp, di atas gelondong kayu yang dibiarkan begitu saja, tak jauh dari domba-domba itu.

Lihat selengkapnya