KEMBALI

rizky al-faruqi
Chapter #2

Azerbaycan Devin Dəmir Yolları

POOONG!

Lenguh klakson kereta terdengar membahana. Roda bajanya terus menjejak batangan rel. Di kanan kiri, barisan pohon cemara terlihat berkelebatan bagai berlari. Bertudung salju. Berumpun rapi memenuhi dataran tinggi yang juga tampak memutih. Sepagi ini, butiran salju sudah rapat membungkus pinggiran kota . Musim dingin baru saja datang kemarin malam. Naomi menempelkan telapak tangannya pada kaca kereta. Dingin. Seekor elang melintas gagah di atas sana, terlihat indah diintip dari balik kaca kereta yang berembun.

“Sudah pernah naik kereta, Ott?” Paman Alp bertanya sambil takzim melihat ke langit-langit gerbong. Ottmar yang duduk di sebelahnya menggeleng, dari tadi ia juga memperhatikan banyak hal di sana. Kali ini tatapannya tertuju pada sebuah pendingin kecil yang sengaja dimatikan di langit-langit gerbong.

“Paman sudah?” tanya Ottmar antusias, matanya beralih dari barisan pohon di luar ke arah Paman Alp yang mulai mengangguk.

“Sering malah. Menurut paman, kereta api adalah transportasi paling praktis. Cepat dan tidak banyak mengeluarkan uang.”

Ottmar mengangguk berulang. Benar kata paman. Kalau bis atau mobil, banyak sekali kendala. Dari yang macetlah, lampu merah, jalan yang belok sana, belok sini. Beda cerita dengan pesawat. Cepat memang, no macet, no lampu merah. Non stop. Tapi biaya jangan ditanya. Bisa untuk pulang pergi dua tiga kali naik bis. Yang paling efektif hanya kereta api. Tidak ada macet, tidak ada lampu merah, lurus terus. Masalah biaya? Kereta menang telak. Tidak ada yang bisa mengalahkan murahnya ular besi itu.

Ottmar sesaat memandangi Naomi di sebelahnya, masih asyik dengan pemandangan di luar jendela. Zaman segitu, kursi dalam gerbong kereta sudah berbaris tiga-tiga dari ujung ke ujung. Tidak berhadap-hadapan seperti kebanyakan kereta api di negara lainnya.

“Tapi Paman, setahuku Azerbaijan tidak punya kereta api.”

Paman Alp menoleh. Tersenyum sambil menyandarkan punggungnya, memperbaiki syal cokelat di leher.

“Kereta ini memang terbilang baru di Azerbaijan. Bahkan sangat baru.” Ujar paman Alp. Ottmar sedikit merubah posisi duduknya. Antusias. Memang inilah yang ia tunggu-tunggu. Banyak cerita yang bisa ia dapatkan ketika bersama paman Alp. Sebenarnya orang tua itu duduk bersama istri dan anaknya tadi, di depan. Tapi tiba-tiba bibi Meryem meminta ibu Ottmar agar duduk bersama. Sepertinya ada yang mau dibicarakan. Akhirnya paman yang mengalah, duduk bersama Ottmar dan Naomi dua kursi di belakangnya.

“Sebelumnya kau harus tau dulu nama kereta ini.” Paman Alp seperti tahu apa yang diinginkan Ottmar, mulai bercerita.

“Namanya Azerbaycan Devin Dəmir Yolları, kereta api negara Azerbaijan. Didirikan belum lama, enam tahun lalu. Bersamaan dengan kemerdekaan Azerbaijan. Sebenarnya sekitar tahun 1917, sudah ada kereta api yang beroperasi di Azerbaijan. Hanya saja kereta api itu milik Uni Soviet. Akhirnya, setelah memisahkan diri, Azerbaijan membuat kereta api sendiri. Kau lihat rel itu?” paman Alp menunjuk rel yang baru saja tampak dari kaca di sebelah Naomi. Tanda sebentar lagi ular besi yang membawa mereka akan berbelok ke arah kanan. Ottmar sedikit mengangkat kepala, mengangguk kecil.

“Kira-kira sampai mana rel ini membentang?”

Ottmar menggeleng cepat. Paman Alp menatapnya dengan wajah terlipat, tertawa.

“Aih, jangan langsung menggeleng begitu, Ottmar. Setidaknya tebak saja dulu.”

“Tidak tahu, Paman. Mungkin keliling Azerbaijan?” Ottmar menyengir lebar.

Paman Alp tertawa lagi. “Kau kira komedi putar?”

Ottmar ikut tertawa, menatap lagi keluar. Kereta itu mulai berbelok sedikit. Pegunungan bebatuan mulai tampak. Jika saja tidak tertutup salju, jalur kereta yang melintas di sela-selanya mungkin akan tampak berwarna sama. Hitam ke abu-abuan. Satu dua pohon cemara di celah-celah pegunungan ikut berkelebatan, hilang bersama kabut salju yang semakin menebal.

“Coba kau lihat. Jalur kereta ini, tanpa kau sadari akan membawamu menuju tiga negara.” Paman Alp menunjuk ke luar jendela. “Hebat bukan?” lanjutnya. Ottmar menoleh, alisnya terangkat.

“Lintas negara?”

Paman Alp mengangguk, janggut tipisnya yang mulai banyak beruban bergoyang-goyang.

“Kereta api ini akan terus berjalan menuju Armenia, Georgia dan Turki. Lebih tepatnya, kereta ini akan menuju kota Tbilisi di Georgia, Kars di Turki, dan akan kembali lagi ke tempatnya semula, Ibukota Baku. Oleh karena itu kereta ini sering di sebut sebagai Kereta Api Baku-Tbilisi-Kars.”

“Sebentar paman.” Ottmar menyela pelan, merasa ada yang janggal. “Bukannya di antara Turki dan Azerbaijan ada Armenia?”

Paman Alp menjentikkan jari, “Benar sekali. Tapi tidak ada pemberhentian kereta di sana. Bahkan, kalau tidak salah setelah konflik Nagorno-Karabakh tiga tahun lalu, jalur kereta api Armenia-Azerbaijan di tutup.”

“Berarti saat itu, jalur kereta api Azerbaijan di duduki Armenia?”

Lihat selengkapnya