“Tidak ke dalam, Ott?”
Ottmar menoleh, ternyata Ibu. Ottmar tersenyum lantas menggeleng pelan.
“Nanti saja, Bu.” Jawabnya pendek, lantas kembali memandangi pucuk-pucuk bunga di depan rumah. Walau malam sudah larut, bunga-bunga itu tetap tampak dengan bantuan cahaya lampu teras. Ibu beranjak dari ambang pintu, ikut duduk di sebelah Ottmar, di atas dipan bambu.
Lengang, Ottmar menoleh setelah keheningan menghampiri beberapa saat.
“Ibu sendiri tidak tidur?”
“Setelah Ibu pikir lagi tidak ada salahnya menemani duduk bukan?”
Ottmar tersenyum, menatap wajah Ibu sekilas. Raut wajahnya yang semakin menua tampak teduh malam ini.
“Bu.”
“Iya?”
Ottmar menghela nafas panjang, menyengir, tidak jadi berbicara. Ibu yang sudah tahu apa yang dipikirkan anaknya itu menyentuh pundak Ottmar hangat.
“Ibu tahu kau pasti gelisah, Nak.”
Ottmar tersenyum tipis. Hening kembali. Hanya dipan bambu yang kembali berderit saat Ottmar memperbaiki posisi. Malam itu, lebih tepatnya sepuluh bulan setelah Shigeru-san dan istrinya kembali ke Jepang, Naomi hamil. Tentu saja Ottmar sangat gembira, juga keluarga kecilnya. Lewat telepon umum, Ottmar juga memberi tahu kedua orang tua Naomi. Yang langsung disambut dengan antusias oleh Shigeru-san (yang waktu itu sempat menanyakan perihal yang sama) juga si kecil Ken yang menangis di pangkuan ibunya. Dan sampai beberapa bulan ke depan, walaupun itu pertama kalinya, tidak ada yang perlu dicemaskan oleh Ottmar. Kenyataannya Naomi baik-baik saja.
Hanya saja, ketika umur kehamilan Naomi semakin tua, Ottmar sering kali terlihat gelisah. Ibu yang paling tahu apa yang dirasakan anaknya itu sering kali menyempatkan untuk bertandang ke rumah Ottmar, memberi nasihat. Beliau tahu, semua laki-laki normal pasti ada rasa gelisah saat menjelang kelahiran buah hati pertamanya. Entah itu karena terlalu menanti, atau takut akan hal-hal yang sejatinya masih menjadi rahasia.
Ottmar memandang lekat-lekat lantai rumah. Bukan, yang membuat dirinya gelisah bukan semua yang ibu nasihatkan padanya. Bukan pula apa yang diharapkan tiap Ayah yang menanti anak pertamanya. Ia gelisah, bahkan sangat gelisah. Persoalan ini, mungkin hanya ia yang mencemaskannya. Walau sejatinya banyak yang serupa di negara lain, dibelahan bumi lain, tapi tidak ada yang terlalu menggubrisnya. Semua itu hanya dianggap kebetulan belaka, sekedar hal unik, atau bahkan hal yang sangat biasa. Bagaimana tidak, satu dari seratus orang, kalau penduduk bumi sekarang adalah 1,5 miliar, maka minimal ada 15 juta orang yang memilikinya.
Dan tidak lain hal itu adalah mata heterochromia.
Persoalan ini mungkin terdengar terlalu di lebih-lebihkan. Tapi, ayolah, kalian harus ingat apa yang dikatakan ibu di akhir cerita dulu. Mata ini bukan mata biasa. Ketajaman dan naluri yang dihasilkannya benar-benar di atas rata-rata. Kalau kalian pernah mendengar talenta atau kelebihan unik yang dimiliki seseorang, mungkin mata ini juga bisa kalian anggap salah satunya. Maka itulah yang membuat Ottmar cemas. Sebenarnya persoalan ini simpel saja. Ottmar sama seperti kebanyakan ayah lainnya yang harap-harap cemas menunggu kelahiran anak pertamanya, tapi ia lebih cemas lagi dengan warisan mata birunya.
Ottmar mengangguk. Ibu benar. Ia sangat gelisah.
“Kau mengkhawatirkan mata warisan itu, bukan?”
Ottmar mengangguk lagi. Ibu tersenyum di sebelahnya. Kali ini, untuk yang keberapa kalinya, ibu mulai menyadari hal lain yang membuat Ottmar gelisah. Ia takut, mata warisan itu hanya berhenti sampai dirinya.
“Apakah Ottmar yang terakhir, Bu? Bukankah mata warisan hanya satu setiap generasinya?”
“Maksudnya?”
“Eh, mungkin karena Aysel juga mewarisi mata yang sama, bisa jadi mata warisan akan berhenti di kami. Pertanda mungkin.”
Ibu tersenyum, lebih lebar. Entah apa lagi yang dipikirkan Ottmar, Aysel pun sampai terkena imbasnya.
“Tidak, anakku, tidak ada yang salah dengan kalian berdua. Ternyata kau sendiri belum menyadarinya?”