KEMBALI

rizky al-faruqi
Chapter #4

Berkas Penting

Sementara itu, dibelahan bumi lainnya.

Seorang laki-laki tambun terlihat duduk di kursi kantornya. Mengetuk-ngetuk ujung meja dengan pena. Ruangan luasnya masih lengang. Tampak laki-laki itu sedang menunggu seseorang. Benar saja, tidak lama kemudian pintu otomatisnya terbuka. Seorang dengan jas dan masker hitam melangkah cepat ke dalam. Langkah sepatu pantofelnya memantul-mantul di dinding ruangan.

“Bagaimana, Isakov?” tanya laki-laki tambun begitu pria serba hitam itu berdiri di hadapannya.

“Kami masih berusaha terus mengikutinya, tuan.” Jawab pria bermasker. Laki-laki tambun itu menghela nafas, raut wajahnya berubah seketika.

“Waktu kita tidak lama, Isakov. Kau harus segera menyelesaikan tugasmu.”

“Kami sedikit kesulitan, tuan. Nampaknya rencana kita tidak semulus itu. Tuan Iskander bukan tipe orang yang mudah di ajak bernegoisasi.” Jawab pria itu dengan tanpa mengurangi rasa hormatnya. Laki-laki tambun kembali menatap Isakov. Pandangan matanya terlihat begitu licik.

“Kalau begitu lakukan rencana B.”

“Siap, tuan.” Isakov merapikan maskernya sebentar sebelum kembali melangkah keluar ruangan. Laki-laki tambun itu kembali mengetuk-ngetuk ujung mejanya dengan pena. Menyeringai.

***

Karaj, Iran.

Seorang laki-laki paruh baya terlihat sibuk memeriksa beberapa kertas yang berserakan di mejanya. Sesekali membetulkan kaca mata. Menyeruput kopi sebentar. Memeriksa lagi. Matanya lincah melihat-lihat seluruh bagian kertas yang ia pegang, menyisihkannya begitu merasa tidak perlu. Beberapa hari yang lalu, dua orang tidak dikenal mendatanginya di kantor. Dan tiba-tiba saja mereka membahas proyek saham gabungan kereta api Azerbaijan. Menawarkan bantuan. Jelas ia tidak langsung menerima. Selain karena pemegang saham tertinggi bukan ia sendiri, hal seperti itu harus melalui rapat terlebih dahulu. Tidak bisa langsung diputuskan.

Ia semakin curiga ketika dua orang tidak dikenal itu datang kembali secara berkala beberapa hari kemudian. Bahkan mulai menawarkan uang dalam jumlah besar. Ia yang bukan tipe mudah disogok seperti itu langsung menghardik marah. Menolak mentah-mentah sekantung uang yang sudah mereka letakkan di atas meja. Sambil kembali menegaskan bahwa proyek saham gabungan harus melalui musyawarah bila perlu tambahan donatur. Dua orang itu pulang dengan tangan hampa. Tapi sebelum angkat kaki, salah satu dari mereka meninggalkan secarik kertas. Yang ia tahu setelah membacanya, bahwa mereka akan tetap masuk dalam proyek saham gabungan kereta api Azerbaijan bagaimanapun itu.

Orang tua itu kembali meneguk kopi hitamnya. Menarik nafas dalam-dalam. Kalau begitu persoalannya mengerucut. Ada yang tidak beres dengan dua orang yang datang kemarin. Jelas mereka suruhan. Tidak ada tanda bahwa mereka yang menawarkan diri untuk ikut menjadi pemegang saham. Berarti, bos mereka. Orang tua itu meletakkan kertas cepat. Lupa bertanya lebih dahulu asal mereka. Esok ia akan mengumumkan rapat mendadak. Memberi tahu pemegang saham lain. Hal seperti ini harus segera diantisipasi, kalau sampai saja orang itu lolos, mungkin ia akan merusak keuangan proyek dari dalam. Tapi kalau tanpa informasi yang jelas, ajuannya mungkin akan kurang dipercaya.

“Ayah.” Orang tua itu menoleh. Anak semata wayangnya melongok di belakang, dari lantai dua. Wajahnya tampak baru saja bangun dari tidur.

“Ada apa, lail?”

“Laila tadi lupa mengunci gerbang. Bisa ayah kuncikan nanti? Laila sudah mengantuk.” Ujar anaknya sambil menguap. Orang tua itu hanya bisa geleng-geleng kepala. Tersenyum, mengangguk.

“Ya, kau tidur saja. Nanti ayah kunci gerbangnya.”

“Terima kasih yah.” Jawab Laila tersenyum, lantas kembali masuk ke dalam kamar. Orang tua itu menghela nafas lagi, kembali larut dengan berkas-berkasnya.

Pukul 12.00. Orang tua itu meletakkan kacamata. Menguap sebentar. Rupanya secangkir kopi kental belum juga mampu menahan matanya terjaga. Orang tua itu langsung merapikan kertas-kertas di atas mejanya, hendak melangkah kembali ke kamar. Tapi langkah kakinya terhenti ketika ingat pesan anaknya. Laki-laki itu meletakkan lagi kertas-kertasnya, beralih membuka pintu. Dan persis saat pintu terbuka, sekelebat bayangan muncul tiba-tiba, membekapkan sesuatu. Membuat orang tua itu terkulai lemas seketika.

***

“Cepat masuk, Mosacov.” Salah seorang yang baru saja membekap orang tua itu berbisik, memerintah satu temannya yang bersembunyi di balik tembok. Yang di perintah segera mengangguk. Bergegas menyelinap masuk ke dalam rumah. Dua orang lainnya cepat membantu membopong orang tua itu melewati halaman rumah, terus menuju mobil mereka yang terparkir tidak jauh dari sana.

“Jenderal menyuruhmu membawanya?” salah satu dari mereka berbisik. Orang yang membekapkan sapu tangan bius tadi mengangguk. Menyuruh kedua temannya bergegas.

Selesai mengikat dan memasukkan orang tua itu ke dalam bagasi mobil, kawanan bertopeng itu segera kembali menuju ke rumah. Mereka sudah memastikan sejak tadi kalau berkas-berkas itu tetap berada di tempatnya.

Tapi langkah mereka terpaksa harus terhenti di gerbang rumah. Seseorang sudah menunggu mereka di sana.

“Minggir.” Salah satu kawanan itu menghardik dari jauh, terus melangkah. Sosok di gerbang itu hanya menarik lebih dalam tudung jaketnya. Bergeming. Membiarkan tiga kawanan itu terus berjalan mendekatinya.

“Kau siapa?” hardiknya lagi. Sosok berjaket itu hanya mengangkat pandangan. Wajahnya masih terlihat samar. Orang yang menghardik itu sudah tidak sabaran lagi, melangkah maju siap menggunakan cara paksa. Melancarkan tendangan depan.

SET!

Tanpa di sangka tendangan itu hanya menyerang angin. Dan sepersekian detik kemudian sosok berjaket itu sudah berada di bawah. Teknik sapuan.

BRUK!

Pemuda bertopeng itu meringis. Memegangi lengannya yang terbentur dalam posisi tidak siap. Ia hendak bangkit kembali. Tapi sosok berjaket itu sudah lebih dulu menginjak lehernya. Kuat sekali. Nampak dari posisi semudah itu si pemuda bertopeng tetap tidak bisa bergerak dari posisinya.

“Hentikan, Burcov.” Salah satu pemuda bertopeng melangkah maju. Membuka topengnya. Ia yang membekap orang tua itu tadi. Pria berjaket itu hanya menatap dingin. Pandangan mereka bertemu.

“Kau hebat sekali. Boleh tahu siapa namamu?”

Pria berjaket itu tetap bergeming.

“Hoho, baiklah. Tidak sopan bertanya begitu. Aku yang akan memperkenalkan diri dulu. Aku Isakov.” Pemuda bertopeng itu mengulurkan tangan, tersenyum. Pria berjaket itu tidak menjawab, hanya melepaskan kakinya dari leher pemuda bertopeng yang baru saja ia kalahkan.

Isakov mengangkat alis, tertawa lagi. Menurunkan tangan.

Lihat selengkapnya