“Kerja bagus, Isakov.” Jenderal menganguk-angguk setelah melihat berkas di tangannya. Isakov tersenyum, ikut mengangguk takzim.
“Mana pria yang kau bawa itu?”
Isakov menoleh ke belakang, menjentikkan jari. Pintu otomatis terbuka. Tampak seorang pria dengan perawakan kotor di giring oleh dua orang, Burcov dan Mosacov. Wajahnya babak belur. Nampaknya mereka memukuli pria itu lagi.
Sejenak Jenderal hanya memperhatikan. Raut wajahnya berubah.
“Sepertinya aku pernah melihatmu, pemuda.”
“Sepertinya aku juga pernah mendengar tentangmu, pak tua.” Yaz mendesis. Burcov memukulnya dengan popor senjata dari belakang. “Jangan bicara kalau Jenderal tidak memintamu.” Hardiknya.
Jenderal mengangguk-angguk, tersenyum.
“Berarti dugaanku tidak salah lagi.” Orang tua itu berjalan mendekat, mencekal pipi Yaz. “Siapa yang menceritakanku?”
“Bukan urusanmu.”
PLAK!
Jenderal melayangkan tangannya. Pria itu tidak mengaduh, bahkan tetap menatap tajam orang tua itu. Jenderal kembali mengencangkan cekalannya.
“Tak apa kalau kau tidak mau menjawabnya, anak muda. Lagi pula aku juga sudah menduga kalau kau akan menutup-nutupinya.” Jenderal melepaskan tangannya, menyeringai.
“Tapi jangan harap orang tua itu akan selamat. Ia akan kujadikan pertunjukan menarik dihadapanmu.” Jenderal itu tertawa di akhir kalimatnya. Berlalu. Pria itu kembali digiring keluar ruangan. Kembali ke ruang penyiksaannya.
***
Azerbaijan.
Ottmar menatap langit-langit kamarnya. Mengubah posisi. Menatap Naomi dan anaknya yang tertidur pulas. Sejak tadi, sibuk membereskan kamar, bersih-bersih, menenangkan Ahmed yang merengek, akhirnya semua anggota keluarga bisa tidur dengan tenang. Menghabiskan sisa malam.
Ottmar menghela nafas lagi. Tapi hanya ia yang tidak bisa tidur. Kata-kata ayah tujuh tahun lalu terus terngiang, membuatnya tidak bisa memicingkan mata sedikit pun. Jujur, ia berharap, Ahmed memiliki mata yang sama dengannya. Ia ingin anaknya juga memiliki kelebihan itu. Pandangan yang tajam. Naluri yang luar biasa. Ia sungguh takut dan merasa berdosa pada ayah, jika mata warisan itu terpaksa berhenti di generasinya.
“Anata.” Bisik Naomi tiba-tiba. Ottmar tersadar dari lamunannya. Naomi tersenyum, menatap matanya.
“Tidak tidur?”
Ottmar menggeleng, tersenyum lantas mengelus puncak kepala Naomi.
“Kau lelah Naomi-chan, kau saja yang tidur. Biar aku berjaga di sini.” Bisiknya. Tapi jelas itu hanya alasan, sebenarnya memang Ottmar tidak bisa tidur. Naomi tersenyum lagi. Ingin rasanya berbincang sebentar dengan suaminya, tapi ia akan membangunkan Ahmed.
“Terima kasih, Anata.” Naomi berbisik lirih, takut membangunkan bayi kecilnya. Ottmar mengangguk, tersenyum, mengelus kembali kepala istrinya.
“Tidurlah.”
Ottmar kembali menatap langit-langit kamar. Tak sabar menunggu pagi tiba. Mungkin saja, esok pagi Ahmed ingin tahu dengan dunia barunya. Ia pastikan dirinya menjadi orang pertama yang melihat mata Ahmed, pangeran kecilnya.
***
“Hai, anak muda. Kau bisa melihatku?” orang tua di seberang berseru pelan dari balik jeruji. Tersenyum begitu Yaz mulai membuka mata. Posisi mereka berhadap-hadapan dalam kurungan yang berbeda. Tidak ada kasur tipis, bantal keras, ataupun sekedar sehelai kain. Menempel langsung dengan lantai besi yang sebagian besarnya berkarat. Dengan bola besi yang terhubung dengan rantai di kakinya, juga Yaz. Dan sebuah lobang kecil di pojok kurungan untuk buang air. Yaz meringis sebentar, badannya terasa begitu nyeri, tersenyum kecil.
“Aku baik-baik saja pak tua.” Jawabnya lirih. Orang tua itu menghela nafas lega.
“Namaku Iskander, anak muda. Bukan pak tua. Kau bisa memanggilnya Iskan.”
Yaz mengangguk, tidak tertarik dengan lelucon, “baiklah, tuan Iskan. Aku baik-baik saja.”
Bapak Iskander tersenyum lagi, sejenak terus menatap pria itu.
“Namamu siapa, anak muda?”
“Yaz.”
“Oh Yaz. Baiklah, Yaz.” Orang tua itu terdiam sebentar. Menunggu seorang sipir penjara yang melintas, “sebelumnya aku ingin tahu mengapa kau berada di sini?” lanjutnya setelah sipir itu berjalan menjauh. Yaz mengangkat pandangannya.
“Sebaiknya anda tidak usah tahu, tuan Iskander.” Katanya sambil menggeleng. Sejenak merapikan rambutnya yang kusut.
“Kau harus bercerita, anak muda. Orang tua ini tidak tahu apa yang terjadi dengan rumah dan anak gadisnya.” Bapak Iskander menatap Yaz lekat-lekat. Seakan tahu pasti pria itu ada sangkut-paut dengan kejadian di rumahnya.
Yaz diam saja.
“Ayolah Yaz. Kita tidak tahu, bukan? Barangkali esok hari terakhir kita. Biarkan aku mengikhlaskan semua yang Allah titipkan padaku. Setidaknya dengan mendengar kabarnya, sepedih apapun itu, aku bisa pastikan bahwa semuanya telah diambil kembali oleh-Nya. Kehilangan sesuatu tanpa ada kejelasan, itu adalah hal yang sangat buruk.”
Yaz masih diam. Setetes air matanya jatuh.
“Kau tidak apa-apa, anak muda?” bapak Iskander terkejut, merasa bersalah dengan ucapannya. Yaz menggeleng, berusaha tersenyum dengan bibirnya yang terluka berat.
“Maafkan aku, tuan Iskan.”
“Kau tidak perlu meminta maaf, Yaz.”
Yaz mengangkat wajahnya, menatap gurat wajah bapak Iskander.
“Malam itu aku tidak sengaja melihat sebuah mobil yang mencurigakan.” Yaz akhirnya bercerita. “Aku baru saja pulang dari supermarket 24 jam, mencarikan obat bibiku yang sakit. Rumah bibi tidak jauh dari rumah paman, hanya terpaut sepuluh rumah.”
“Tetanggaku? Siapa namanya?”
“Aliye.”
Bapak Iskander menepuk dahi. “Aliye? Oh, aku kenal. Ia orang yang baik hati, Yaz. Tiga tahun yang lalu suaminya meninggal, dan sekarang ia jadi sakit-sakitan.” Orang tua itu mengurut kening, “lalu, bagaimana? Bukankah obat yang kau belikan belum sempat sampai kepadanya?”
Yaz mengangkat bahu, “jelas, tuan. Tapi, entahlah. Akupun tak tahu harus bagaimana lagi. Malam itu aku terlalu penasaran dengan mobil sedan hitam itu. Akupun memilih untuk bersembunyi dan mengamati dari kejauhan. Dan semakin yakin ketika melihat gerak-gerik mencurigakan empat orang berjas hitam dan memakai topeng, mulai memasuki gerbang rumah tuan. Lalu, sesaat kemudian, empat orang tadi kembali dengan menggotong tuan. Akupun segera mendekati lokasi dengan mengendap-endap, dan berhasil menahan mereka persis di depan gerbang rumah tuan. Dua orang berhasil kukalahkan. Tapi,” Yaz tidak bisa meneruskan. Air matanya kembali mengalir.
“Tapi apa?”
“Tapi mereka menyandera anak tuan.” Yaz menarik nafas panjang, hampir bersamaan dengan raut wajah bapak Iskander yang berubah.
“Sungguh maafkan aku, tuan Iskan. Aku memilih untuk menyerahkan diri demi anak tuan terselamatkan. Tapi, para bajingan itu berkhianat. Demi Allah, maafkan aku, tuan. Aku tidak tahu hendak berbuat apa lagi malam itu.” Yaz menundukkan wajah. Tidak tahan menatap wajah bapak Iskander di hadapannya. Lihatlah, ujian apa yang menimpa orang tua itu. Hingga di usia senja seperti ini, ia harus terkurung, sekaligus kehilangan harta terbaiknya.
“Me.. reka mengkhianati janji, Yaz?” suara bapak Iskander tercekat.
Yaz tidak sanggup menjawab.
“Me... reka, apa yang mereka lakukan pada anakku?”
Yaz menggeleng, masih tidak tidak sanggup menjawab.
“Demi Allah, Yaz, beri tahukan padaku. Demi Allah...” orang tua itu memohon, mengatupkan kedua tangan di depan dadanya. Yaz menatap bapak Iskander nanar. Kalau saja orang tua itu tidak meminta atas nama Allah, kalau saja..
“Mereka menembak putrimu, tuan.” Jawab Yaz lirih sekali, terpaksa. Tapi heningnya penjara cukup menyampaikan kabar buruk itu.
“Innalillahi wa inna ilaihi rooji’un..” air mata bapak Iskander mengalir. Hangat. Walau jiwanya kini membeku. Siapa lagi yang ia punya? Siapa? Laila adalah anak semata wayangnya. Sedangkan istri tercinta, meninggal saat melahirkan Laila, sembilan belas tahun silam. Sosok yang telah memberikannya putri cantik itu, membuatnya tak ingin lagi memiliki hati selain dia. Memilih hidup sendiri, berjuang membesarkan buah hati yang dititipkan padanya. Baginya, tidak masalah kehilangan harta dan kekayaan. Tapi jangan Lail. Ia adalah bukti pengorbanan cinta mereka.