“Aku minta maaf, Anata.”
“Tidak ada yang perlu disesali, Naomi-chan. Tenanglah. Tidak ada yang salah.” Ottmar lembut menggenggam tangan Naomi. Sore hari di depan rumah.
“Tapi..”
“Sudahlah. Lagi pula kau sudah berulang kali meminta maaf, bukan?”
Naomi ragu mengangguk, menyeka air matanya.
Pagi tadi, tepatnya menjelang subuh, untuk pertama kalinya Ahmed membuka mata. Hanya sebentar memang, berkedip-kedip, tapi sudah cukup untuk menjelaskan semuanya. Mata anak itu normal. Ottmar yang kebetulan sedang bersama Naomi saat itu hanya bisa diam, tidak berkomentar apapun. Walau sebenarnya ia sangat terpukul karena ketidak mungkinan harapannya sudah jelas, tapi ada hati yang lebih penting untuk dijaga. Naomi. Ya, istrinya itu tahu bahwa ia menginginkan seorang anak yang mewarisi mata biru. Tapi, apalah arti sebuah keinginan? Baginya, keinginan hanyalah sekedar keinginan. Tidak ada yang perlu disalahkan bila setelah itu kenyataannya tidak terwujud. Maka, ia lebih memilih diam dan meyakinkan pada Naomi bahwa semua bukan salahnya. Hanya Naomi saja yang masih terlalu terbawa perasaan.
“Tapi Anata benar tidak marah, kan?” Naomi bertanya lagi, memastikan. Ottmar tertawa kecil, mencubit hidung istrinya.
“Tidak, Naomi ku. Harapan hanyalah sebuah harapan. Apa yang perlu disesali setelahnya bila harapan itu sirna? Jelas banyak sekali orang yang berharap di dunia ini, dan tidak semua dari mereka yang mendapatkannya. Itu berarti, ada yang mengatur semua harapan di dunia ini. Yaitu Tuhanmu. Tinggal bagaimana kamu menyikapinya. Bila kau menerimanya dengan lapang dada, boleh jadi esok lusa harapan itu akan kembali, atau minimalnya kita mendapat kebaikan karena telah berprasangka baik kepada-Nya. Tapi bila kau marah, putus asa, kebaikan apa yang kita dapatkan? Yang ada malah akan menambah susah. Lebih baik kita bersyukur, kembali menyusun harapan, sambil terus meminta yang terbaik kepada-Nya.” Terang Ottmar sambil tersenyum. Naomi mengangguk-angguk, ikut tersenyum.
“Sudahlah, lupakan. Intinya sekarang kita tinggal bersyukur karena Ahmed lahir dalam keadaan sehat. Omong-omong, Anata mau tambahkan nama apa?”
Naomi memandangi kelopak-kelopak bunga iris berwarna ungu di dekat kakinya sejenak. Ibu merawat bunga-bunga itu dengan baik. Semua kelopak terlihat segar dan indah. Naomi Berpikir sebentar.
“Yuichi, mungkin.”
“Yuichi?”
Naomi mengangguk, “Yuichi itu nama untuk anak pertama. Artinya melimpah, kaya, dan berani. Kalau digabung dengan Ahmed, Ahmed Yuichi. Berarti anak pertama yang terpuji, kaya, dan pemberani. Bagus bukan?”
Ottmar tersenyum, mengangguk. “Bagus sekali.” Katanya lantas menoleh ke belakang. Ada yang datang. Aysel terlihat menunggu di ambang pintu.
“Ada apa, Aysel?” Ottmar yang bertanya, tertawa kecil melihat tangan Aysel yang masih memegang centong sayur.
“Naomi-chan.” Aysel menghela nafas, “Ahmed menangis di dalam.” Katanya dengan wajah terlipat. Naomi membulatkan mata, tertawa sambil bergegas meninggalkan Ottmar yang menepuk dahi di belakangnya.
***
Iran.
Sebuah mobil merek Mazda keluaran terbaru melesat cepat meninggalkan arah timur. Beberapa kendaraan yang melintas di kanan dan kiri berkelebatan, juga barisan pohon-pohon palm. Mobil berwarna hitam metalik itu belum berhenti sejak perbatasan negara Turkmenistan-Iran tadi, terus melesat mengejar waktu, membelah jalur Siahkalrood-Mazandaran.
“Sejak tadi malam kita hanya saling diam, kawan. Boleh kutahu namamu?” Abraham bertanya dari kursi kemudi, masik fokus menyetir.
“Yaz.” Jawab pria yang terikat di kursi belakang. Singkat.
“Oh, Yaz.” Abraham mengangguk-angguk. Melirik dari cermin tengah. Pria berjambang tipis itu masih menatap keluar.
“Kau mau minum?” tanya Abraham lagi. Tangannya cepat mengambil dua kaleng minuman dari dashboard mobil. Menyerahkan satu kepada Yaz.
“Kau tidak mau?” katanya setelah beberapa saat Yaz hanya diam. Melirik lagi lewat cermin. “Oh, ya. Kau terikat. Aku lupa.” Lanjutnya sambil terkekeh. Yaz menghela nafas, menerima kaleng minuman yang Abraham dekatkan ke tangannya.
“Minumlah. Itu tidak beracun, masih asli. Kalau sekedar mendekatkan tangan ke mulut kau bisa, bukan?” tanya Abraham lantas menenggak minumannya. Yaz mengangguk kecil, membuka kaleng minuman.
“Sebenarnya Aku malas sekali bepergian jauh begini. Lelah, tidak bisa bergantian menyetir, mana jarak perjalanan hampir satu hari lagi. Bagaimana nanti kalau aku mengantuk, atau tanganku tiba-tiba mati rasa?” Abraham bersungut-sungut sendiri di depan, mengada-ada, memukul kemudi. Tanpa sengaja mengenai klakson, membuat dua mobil di depan segera menyingkir mengira mobil itu hendak mendahului. Yaz tidak terlalu menanggapi di belakang, meneguk lagi minumannya.
“Kau bisa bergantian menyetir tidak, Yaz?” Abraham menoleh lagi ke belakang. Yaz membalas tatapannya.
“Kau tidak usah melihat ke belakang terus, Abraham. Kita bisa tabrakan.” Ujar Yaz santai. Tahu kalau itu hanya lelucon. Abraham menyengir, kembali fokus ke depan.
“Asal kau tahu, Yaz. Sejak dulu aku menjadi sopir pribadi Tuan Jenderal..” Abraham kembali bercerita, mengisahkan masa lalunya. Tapi Yaz sudah tidak mendengarkan, pandangannya jauh menatap pohon-pohon palm yang berkelebatan di luar. Terbayang wajah Ottmar, juga bapak Iskander. Sedikit menyesal akan pilihan menuruti kemauan Jenderal itu, tapi hanya itulah harapan satu-satunya agar bapak Iskander tetap hidup. Dan, kalau sudah mendapatkan Ottmar nanti, apa pertanggungjawabannya? Apakah seseorang yang melibatkan sahabatnya ke dalam masalah demi menyelamatkan orang lain masih dianggap sahabat? Apakah begitu balas budi untuk semua kebaikan yang ia dapatkan?
Yaz menghela nafas gelisah.
***
Pukul 23.30.
Aysel berjalan gontai ke kamar kecil. Lima menit. Ia kembali setelah mencuci muka, beranjak ke ruang makan, mengambil air putih. Menyempatkan untuk berkaca sebentar. Tak sengaja melihat seseorang melintas dari pantulan cermin.
“Kak?” Aysel menoleh, menatap aneh kakaknya yang menenteng bungkusan kain panjang di tangannya. “Itu isinya apa?”