Angin malam berhembus dingin, menerbangkan dedaunan kering.
Ottmar melangkah kembali, menarik tudung jaketnya. Melintas keluar dari area pemakaman martyr lanes Adgam, saat sebuah bayangan melintas cepat di belakang. Ottmar sedikitpun tidak menyadarinya. Kepalanya sedang dipenuhi banyak hal. Bayangan itu berkelebatan, berpindah-pindah. Hilang dan muncul secara cepat. Seakan tahu yang dihadapinya bukan orang biasa.
Langkah Ottmar terhenti saat sesuatu menusuk tengkuknya. Ia menoleh, tapi pandangannya pudar. Samar-samar ia melihat seseorang berusaha menangkap tubuhnya yang limbung. Lantas semuanya menjadi gelap.
***
“Kau yakin ini orangnya?” Abraham mengambil lentera Ottmar yang terjatuh, menunggu di belakang. Yaz mengangguk, pelan membalikkan badan Ottmar yang hampir jatuh tertelungkup. Kenapa ia di sini? Bukankah kota ini sudah sepenuhnya hancur, menjelma menjadi kota mati? Bukankah pastinya ia sudah tinggal jauh dari sini? Yaz menoleh ke belakang. Pemakaman. Apakah itu makam ayahnya?
Seketika seluruh cerita keluarga Ottmar memenuhi ingatannya. Botol cairan dengan ujung jarum yang sudah terbuka di tangannya terjatuh. Yaz membaringkan Ottmar di atas tanah, memandangi kedua telapak tangannya yang bergetar. Ya Tuhan, ia menyesal. Benar-benar menyesal. Tapi semuanya sudah terjadi. Jarum suntik itu sudah merenggut kesadaran Ottmar. Yaz mencoba berpikir keras. Ia tidak mau melanjutkan, ia tidak mau membawa Ottmar ke Jenderal. Biarlah ia datang dengan tangan kosong, biarlah perjalanannya sejauh ini sia-sia, asalkan Ottmar tidak jatuh ke tangan Jenderal itu. Walau nyawa bapak Iskander menjadi taruhannya, keputusan sudah bulat. Lebih banyak alasan bagi Ottmar untuk tetap hidup. Adapun bapak Iskander, ia sendiri yang akan menanggung nyawa orang tua itu beserta putrinya. Ia pastikan suatu saat nanti.
Yaz berbalik, tidak jadi mengangkat tubuh Ottmar.
“Kau butuh bantuan?” Abraham meletakkan lentera di tangannya. Yaz memberi isyarat dengan tangannya agar Abraham tidak mendekat.
“Kau... pulang saja.” Jawabnya dengan suara bergetar. Alis Abraham berkerut. “Apa?”
“Kau pulang Abraham, biar aku tetap di sini.” Yaz menegaskan. Wajahnya terlihat tegang di atas cahaya lentera. Abraham menggeleng, tersenyum hambar.
“Tidak usah main-main, Yaz. Cepat angkat orang itu dan kita kembali ke mobil—”
“AKU BILANG KAU PULANG, ABRAHAM!”
Abraham tertegun, Yaz berdiri di hadapannya dengan dada naik turun.
“Tenang, Yaz. Kau kenapa? Ada yang salah dengan—”
“Tidak ada yang salah,” tegas Yaz “Aku ingin kau pulang dan tinggalkan aku di sini.”
“Lantas kau tidak jadi membawanya?”
Yaz menggeleng.
“Bagaimana dengan Tuan Iskander?”
“Biarkan orang tua itu menjalani takdirnya.”
Angin dingin kembali berhembus, menerbangkan dedaunan kering. Abraham menatap Yaz bingung. Mereka terdiam untuk beberapa saat.
“Tidak Yaz, kau harus membawa orang itu. Bukankah kau sendiri yang mengorbankan dirimu demi keselamatan orang tua itu?” Abraham mencoba mendekati Yaz, namun pria itu malah mengambil posisi bersiap.
“Jangan coba-coba mendekat,” tudingnya, “kau tidak tahu apa-apa, Abraham. Pulanglah, keadaan sekarang berbeda. Jangan coba memaksaku.”
Abraham menghela nafas, menyerah. Tidak jadi meraih pistol di pinggangnya.
“Baiklah, aku pulang. Tapi ada satu yang ingin kusampaikan padamu.”
“Apa?”
Abraham menatap Ottmar yang terbaring di belakang Yaz. “Kau dibohongi oleh jenderal.”
“Hah?”
Abraham menatap Yaz serius. “Jenderal berbohong, isi suntikan itu bukan sekedar obat bius. Itu stratin dalam dosis tinggi. Efeknya membuat si pemakai agresif, dan yang lebih parah lagi obat itu akan merubah pola pikirnya. Obat itu akan membuatnya menjadi pembunuh.”
Degh!
Mata Yaz membulat. Tangannya gemetar menahan amarah.
“Kau jangan berbohong, Abraham!”
“Terserah kau, Yaz. Aku ini orang dekat jenderal, aku tahu semua rahasianya. Dan aku hanya menyampaikan yang sebenarnya. Urusan kau percaya atau tidak, aku tidak masalah. Aku katakan semua ini semata-mata karena memahamimu. Bahwa orang itu lebih penting bagimu melebihi tuan Iskander.” Abraham tersenyum tipis di akhir kalimatnya, berlalu.
“Tunggu!”
Abraham menoleh, Yaz menatapnya dengan mata nanar.
“Kau harus bersumpah, Abraham.”
Abraham mendecak, mengusap rambut pendeknya. “Aku bersumpah.”
Yaz meremas jemari, menatap Ottmar dan Abraham bergantian. Pria itu sudah kepalang bingung.
“Obat itu akan bereaksi paling tidak setengah jam setelah masuk ke pembuluh darah, dan dalam setengah jam berikutnya, barulah sifat agresifnya menjadi-jadi. Kau harus segera menemukan penawarnya, Yaz.” Tambah Abraham.
“Lalu aku harus kemana?!” Yaz berseru tertahan. Kali ini emosinya benar-benar meluap. Antara rasa bersalah dan amarah bercampur menjadi satu. Pria itu benar-benar merasa buntu untuk berpikir.