Malam itu, lepas isya. Bulan enggan menampakkan dirinya, bersembunyi di balik arak-arakan awan tebal. Kilat sesekali menyambar, membuat terang beberapa saat, ditingkahi dengan angin yang juga sesekali bertiup kencang. Nampaknya malam itu akan turun hujan.
Dan, benar saja. Tidak lama setelah itu, tetes pertama air hujan turun. Terus menyusul milyaran bahkan trilyunan tetes berikutnya. Deras membasuh bumi. Memaksa siapa saja untuk tetap berada di rumahnya. Sebagian memilih tidur nyenyak, melepas lelah setelah seharian beraktifitas. Begitu juga paman Alp. Orang tua itu bahkan sudah tertidur sejak tetes pertama hujan belum turun.
Petir kembali menyambar, membuat terang beberapa saat.
Dan saat itulah paman Alp terbangun. Orang tua itu mengusap wajah. Melihat jam dinding. Pukul 23.00. Di luar hujan masih belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda, bahkan semakin deras. Paman Alp berjalan gontai menuju kamar belakang, jadwal berjaganya sudah terlewat dua kali.
Petir kembali menyambar, paman Alp hanya bisa terdiam saat melihat kamar belakangnya sudah kosong tak berpenghuni.
***
Aysel berjalan gontai ke kamar kecil. Lima menit. Kembali setelah mencuci muka, beranjak ke ruang makan, mengambil air putih. Gadis itu kembali ke kamarnya setelah menghabiskan dua gelas air, dan baru saja memejamkan mata saat telepon di rumahnya berdering.
“Halo, ada Ottmar di rumah?” tanya suara di seberang setelah menjawab salam. Aysel mengernyitkan dahi.
“Tidak ada. Ini siapa? Paman Alp?”
Telepon langsung terputus. Aysel meletakkan kembali gagang telepon dengan dahi berkerut. Siapa yang menelepon tidak jelas malam-malam begini?
Aysel kembali merebahkan tubuh di atas kasur, menarik selimut tebalnya dengan kepala yang masih dipenuhi tanda tanya. Urung kembali memejamkan mata saat mendengar suara pintu diketuk. Aysel cepat melompat dari atas kasur, meraih sapu dari balik pintu. Siapa yang iseng mengetuk pintu tengah malam begini?
Aysel perlahan membuka pintu kamarnya. Mengendap-ngendap menuju ruang depan. Mengintip sebentar dari balik tirai jendela. Seseorang terlihat berdiri di luar. Aysel menahan jantungnya yang berdegup kencang, kembali memegang sapu erat-erat. Siapa orang itu? Kenapa hujan-hujan begini datang kemari? Aysel mencoba kembali mengintip. Sosok itu melihat ke arahnya. Aysel cepat-cepat merapatkan tirai. Kak Ottmar?
Aysel segera membukakan pintu. Girang melihat kakaknya yang berdiri di sana. Benar, ia tidak salah lagi. Walau keadaan gelap, mata biru kakaknya masih bisa terlihat dengan jelas.
“Ayo masuk kak, kenapa tidak ada kabar seharian? Datangnya hujan-hujanan pula. Ayo cepat masuk.” Aysel segera meraih tangan Ottmar, tapi tangan itu tidak mau ditarik.
“Mana Naomi, Aysel?” Ottmar bertanya datar, terus menatap kedua matanya.
“Eh, anu, Naomi sudah kembali ke rumah sejak tadi pagi. Ia mau bersih-bersih rumah. Mungkin esok ibu dan Aysel juga ikut ke sana.” Aysel menjawab kaku, sedikit grogi di tatap begitu terus oleh kakaknya.
Ottmar segera pergi setelah mendengar jawaban adiknya, menembus tirai hujan tanpa meninggalkan sepatah katapun.
***
Naomi belum juga bisa memicingkan mata. Bahkan sejak rintik pertama hujan tadi, ingin sekali ia segera tidur. Mengusir pikiran-pikiran buruk yang terus memenuhi kepalanya. Tapi selain Ahmed yang terus menangis, mimpi kemarin malam masih saja terbayang. Naomi tidak henti-hentinya berdzikir. Terus berdoa untuk keselamatan suaminya.
Naomi sedikit terperanjat ketika pintu rumahnya diketuk. Ia segera bergegas, bertanya dari balik pintu.
“Siapa?”
Hening. Tidak ada jawaban. Jantung Naomi mendadak berdebar-debar. Siapa malam-malam begini datang ke rumah?
Sosok di luar kembali mengetuk pintu.
“Anata.”
Naomi terkesiap. Suara itu milik suaminya, dan tidak ada lagi yang tahu panggilan itu kecuali mereka. Tapi hatinya sedikit ragu. Kenapa Ottmar-san tidak seperti biasanya? Naomi menggeleng, memutuskan untuk membuka pintu.
“Anata?” Naomi sedikit terkejut melihat suaminya yang basah kuyup. Tidak. Bukan itu yang membuatnya terkejut. Melainkan pandangan Ottmar yang begitu dingin dan menusuk. Membuat sekujur tubuhnya seperti mati rasa mendadak.
“A.. ayo masuk, kenapa hujan-hujanan begini?” Naomi berusaha setegar mungkin untuk tersenyum dan tidak mengindahkan tatapan dingin suaminya. Mengulurkan kedua tangan, hendak merangkul seperti kebiasaannya menyambut Ottmar di depan pintu.
BRAK!
Ottmar mendorong Naomi yang hendak meraih pundaknya, membuatnya terbanting. Hujan di luar terus menderas. Kilat sambar menyambar. Menerangi wajah Naomi yang menggigil ketakutan sambil terus terseok mundur, menatap nanar wajah suaminya yang dingin.
“Kau kenapa, Anata?!” Naomi berteriak, berusaha mengalahkan suara hujan. Ottmar tidak menjawab, hanya tangan kanannya yang bergerak mengambil katana dari balik jubah panjangnya.
Naomi berusaha terus menjauh dengan terseok. Kedua kakinya bagai tak bertulang, lemah tak berdaya. Naomi terus berteriak meminta tolong. Melempar apa saja yang bisa ia raih.
“Tolonglah, jawab aku, Anata!!” Naomi tergugu, menangis sambil menatap ngeri katana yang terhunus. Ottmar tidak menjawab sepatah katapun, hanya sesekali menebas barang-barang yang hampir mengenai dirinya. Terus berjalan mendekatinya.
Samar-samar terdengar suara Ahmed yang menangis.
Naomi menelan ludah, menoleh ke arah kamar di belakang Ottmar. Ahmed ada di sana!
“JANGAN, ANATA!”
Naomi segera meraih sapu yang tergeletak tidak jauh darinya, bergerak maju dengan langkah bergetar, tidak menghiraukan lagi keselamatannya. Ia harus berlomba dengan Ottmar yang sudah bergerak menuju kamarnya.
Dan saat itulah Ottmar benar-benar menebaskan pedangnya. Tepat ke arah Naomi yang berlari mendahuluinya.
Naomi terhempas bersama gagang sapu di tangannya yang terbelah menjadi dua. Ia mengaduh, memegangi lengannya yang terkena sabetan. Darah segar cepat membasahi piyama putihnya. Tapi ia terus terseok ke dalam kamar, sambil menggigit bibir, melompat ke atas kasur, mendekap Ahmed yang menangis.
Ottmar perlahan memainkan pedangnya. Mendekati Naomi yang pasrah memeluk Ahmed.
“Aku minta maaf Anata. Sungguh, aku minta maaf.” Dengan sisa-sisa tenaga, darah yang terus mengalir, Naomi bergetar mendekap Ahmed, berusaha menjadikan dirinya sebagai tameng hidup.
“Kalau memang ini semua karena salahku, sungguh, aku minta maaf. Tapi jangan pernah kau lukai Ahmed sedikitpun. Ia darah dagingku, ia harta terbaikku. Walau kau tidak menyukainya, ia tak memiliki mata keturunan sepertimu, tapi tolong.... tolong jangan sakiti dia. Biarlah aku yang menerima semua kesalahan ini. Aku tak akan pernah membencimu.... sungguh.... aku tak akan pernah membencimu.” Naomi semakin terisak di ujung kalimatnya. Ottmar menyeringai di belakang, tangannya mencekal kuat gagang katana.