Yaz menatap keluar jendela. Mobil yang ia tumpangi sekarang memasuki sebuah jalan di daerah Iran. Rumah-rumah penduduk, kedai, toko roti dan pakaian berbaris rapi di kanan kiri jalan. Indah ditingkahi dengan lampu-lampu berwarna kuning yang menerangi sampai belokan di ujung jalan. Mobil Mazda hitam metalik itu menepi di salah satu kedai kopi. Abraham memberi isyarat kepada Yaz untuk segera turun.
“Di mana ini?” Yaz menjejakkan kaki di aspal jalan, menoleh ke arah Abraham yang baru menutup pintu mobil.
“Distrik Sibdeh, kita mampir sebentar, badanku lelah.” Ujar Abraham sambil melangkah masuk ke dalam kedai. Yaz mengangkat bahu, mengikuti dari belakang.
Begitu membuka pintu mereka langsung disambut dengan aroma khas berbagai macam jenis kopi. Abraham memilih tempat duduk, memanggil seorang pelayan. Yaz ikut duduk di hadapannya.
“Kau memilih apa, Yaz?” Abraham memberikan daftar menu yang diberikan seorang pelayan yang menghampiri mereka. Yaz memilih sebentar, menunjuk sembarang. Ia tidak begitu tahu mana jenis kopi yang enak.
“Oh, Caffè macchiato. Tuan mau espresso machiato atau latte machiato?” pelayan bertanya ramah. Yaz berpikir sebentar.
“Espresso machiato saja.”
Pelayan mengangguk, mencatat pada buku kecil.
“Aku Doppio, Double shot espresso[1].” Yaz menunjuk salah satu gambar. Pelayan mencatat lagi—tidak lupa dengan anggukan ramahnya.
“Bagus sekali untuk penambah energi setelah lelah beraktifitas, tuan.” Pelayan itu tersenyum renyah, mencoba membaca wajah lelah konsumennya. Abraham mengangguk, tersenyum menghargai.
“Satu Esspresso machiato dan Doppio ya, tuan. Ada tambahan lain?” Pelayan bertanya lagi sebelum meninggalkan tempat. Abraham melihat-lihat lagi buku menu, menunjuk sebuah gambar fruit cake inggris.
“Tambah ini dua.”
Pelayan mengangguk, tersenyum (sopan). “Silakan menunggu, tuan.” Ujarnya lantas melangkah pergi. Yaz menghela nafas, merenggangkan punggungnya yang pegal.
“Kira-kira berapa lama lagi kita sampai di tempat tujuan?” Yaz memilih pembicaraan, bosan hanya saling diam beberapa saat.
“Tidak jauh, kira-kira lima kilometer lagi.”
“Tempatnya seperti apa?”
“Padang rumput. Rumah tabib itu kalau tidak salah tepat berada di tengah-tengahnya.”
Lima menit, pelayan datang dengan membawakan pesanan. Kembali pergi setelah mempersilakan dua cangkir kopi dan fruit cake inggris. Abraham segera menyeruput kopinya, nikmat.
“Kau tidak minum, Yaz?” Abraham menatap Yaz heran, mata pria itu malah terarah ke meja kasir. Yaz seperti tersadar dari lamunannya tersenyum kaku, mengangguk, cepat mengambil cangkirnya. Abraham kembali menyeruput kopinya. Tapi pandangan Yaz kembali tertuju pada seorang barista di sana. Abraham mengerutkan kening.
“Kau kenapa, Yaz?”
Yaz menggeleng, mengalihkan pandangannya. “Tidak ada.” Ujarnya sambil tersenyum. Sebenarnya ia baru saja merasa ada yang ganjal dengan barista itu. Pandangannya seperti sedang mengawasi. Yaz menggeleng, berusaha melupakan hal barista. Mungkin pikirannya sedang kacau sehingga mudah sensitif terhadap hal-hal kecil. Yaz mengehela nafas, perlahan menyeruput kopi espresso nya.
PRANGG!
Tiba-tiba saja Yaz memuntahkan kopi sambil refleks membuang cangkir di tangannya. Orang-orang menoleh. Kopi dan pecahan beling berceceran di lantai. Abraham menatapnya sedikit marah.
“Kau kenapa, Yaz?!”
Yaz menggeleng. Rasa kopi itu, ia tahu itu apa. Yaz berdiri, hendak melangkah ketika Abraham memegang tangannya.
“Hei, kau mau kemana?”
“Kita pulang, Abraham. Kedai ini mencurigakan.” Desis Yaz sambil berusaha melepaskan tangannya dari pegangan Abraham.
“Tapi kita baru minum, Yaz!” Abraham masih tidak terima dengan kelakuan Yaz yang memecahkan gelas itu, mencoba menahannya. Yaz menghela nafas, mengedarkan pandangan. Tatapan-tatapan aneh tertuju padanya.
“Ada apa, tuan?” seorang pelayan datang dengan tergesa, sedikit terkejut melihat pecahan beling di lantai. Yaz menelan ludah. Suasana hatinya semakin buruk. Firasat tajamnya mengatakan bahwa ia harus segera pergi dari kedai itu.
“Kau harus tanggung jawab atas cangkir itu, Yaz.” Desis Abraham dengan wajah menggelembung. Yaz menggeleng.
“Tidak masalah, itu tidak sengaja. Kita cepat pergi dari sini.”
“Kau harus tanggung jawab!” Abraham menarik tangan Yaz kasar. Yaz menahan tangannya, tetap menolak, bingung dengan sikap Abraham yang tiba-tiba menjadi aneh.
JLEB!
Tanpa sepengetahuan Yaz pelayan di belakang menusukkan salah satu pecahan kaca ke pinggangnya, membuat pria itu mengerang tertahan. Sebagian pengunjung yang melihatnya berseru panik. Yaz mencoba melawan, tapi tangan kanannya ditahan oleh Abraham.
“Lepaskan Abra—” belum sempat Yaz menyelesaikan kalimatnya, Abraham sudah lebih dulu menusukkan garpu cake nya ke punggung tangan Yaz di atas meja. Yaz berteriak. Keributan kecil terjadi di kedai itu. Darah segar mengalir cepat.
“K.... kau, kena.... pa menusukku..” Yaz menatap nanar Abraham yang menyeringai. Pria itu mengerang sambil menarik garpu yang menancap di tangannya. Disela kedai yang semakin hiruk pikuk, seseorang datang dengan begitu tenangnya dari arah dapur. Bertepuk tangan sambil tertawa terbahak. Yaz meringis, terbelalak begitu melihatnya.
“Apakah kau masih mengenaliku, Yaz?”
***
TRAANGG!!
Sepersekian detik sebelum katana Ottmar benar-benar mengenai paman Alp, sebuah sai[2] meluncur dari satu arah. Menghantam kuat bilah katana Ottmar, menggagalkan lajunya. Ottmar sontak menoleh, juga ibu dan paman Alp yang berada di ambang kesadarannya. Ibu membulatkan mata, terkejut melihat siapa yang datang dengan baju panjang dan pedang katana di pinggangnya, tersenyum ke arah mereka.
“Sumimasen[3], Aysun-san, Alp-san, nagaiai matteita[4].” Sosok itu berjalan mendekat, mengangguk takzim. Ottmar mengibaskan pedangnya, menatap tajam sosok itu.
“Tuan Shigeru!” ibu bagai melihat keajaiban berseru senang. Kedatangan Shigeru-san adalah pertolongan yang tidak di sangaka-sangka. Paman Alp menghela nafas lega, hampir saja riwayat hidupnya selesai. Shigeru-san menghentikan langkah, tidak jauh dari Ottmar.
“Maaf Alp-san. Owara sete[5].” Ujar paman Alp sambil menghunuskan katana. Ottmar menggeram, menatap tajam Shigeru-san. Menyerang cepat dengan pedang terhunus.
TRANGG!
Shigeru-san santai menahan serangan yang datang dari atas. Ottmar kembali menyerang, melancarkan tiga tusukan. Paman Alp tetap santai menangkis dengan gerakan-gerakan pendek. Ottmar menggeram, berputar di udara, melepaskan satu serangan lagi.
Sett!
Shigeru-san menghindar, katana Ottmar membelah angin. Orang tua itu cepat berpindah tempat, menebaskan pedangnya.
BUGHH!