“Bagaimana keadaanmu?” pria bertopi fedora datang dengan membawa sekantung apel. Setelah kejadian itu, ia mengajak Yaz untuk mengobati lukanya di rumah sakit.
“Alhamdulillah, tidak terlalu sakit.” Yaz tersenyum di atas ranjang, menunjukkan tangan dan pinggangnya yang di perban. Pria itu meletakkan kantung apel tadi di atas meja, mengambil sebutir, ikut duduk di sebelah Yaz. “Oh ya, siapa namamu tadi? Yaz?”
Yaz mengangguk. Menerima buah apel dari tangan pria itu.
“Oh Yaz. Aku Khan, Khan Arkados. Kau bisa memanggilnya Khan.” Ujar pria itu sambil membuka topi fedoranya. “Tapi kalau kudengar dari aksenmu, nampaknya kau bukan asli Iran, Yaz.”
“Oh ya?”
Khan mengangguk, “Kalau boleh kutebak, kau orang Rusia. Benar bukan?”
Yaz tersenyum, mengangguk. Khan tertawa sambil ikut mengambil sebutir apel dari plastik makanan. “Jauh sekali kau sampai di sini. Ada perlu apa?”
“Mencari tabib—” Yaz tersedak, hampir saja salah bicara. Khan mengangkat alis.
“Apa? Tabib? Untuk apa?” Khan yang sudah terlanjur mendengar jawabannya bertanya antusias. Yaz menelan ludah.
“Eng, ada keluargaku yang sakit. Katanya penawarnya hanya ada di Iran.” Jawabnya berbohong. Tapi alis Khan malah semakin terangkat. “Oh ya? Aku juga mencari penawar untuk keluargaku yang sakit. Katanya sementara penawar terbaiknya hanya ada di Iran.”
Yaz membulatkan mata. “Apa?”
“Hanya ada di Iran. Hei, kenapa kau terkejut begitu?” Khan tertawa. Yaz cepat-cepat menyembunyikan ekspresi wajahnya. “Tidak, tidak ada.” Jawabnya sambil ikut tertawa. Yaz beruntung karena setelah itu seorang dokter masuk untuk memeriksanya. Khan melupakan pembicaraan itu. Selang beberapa saat, Khan baru kembali membahas hal yang sama, tapi bukan soal keterkejutannya.
“Setelah ini kau mau temani aku tidak?” Khan bertanya setelah dokter meninggalkan mereka.
“Kemana?” Yaz mengambil gelas berisi air putih dari atas meja, meneguknya.
“Menemui tabib itu.” Ujar Khan santai sambil kembali menggigit apelnya. “Oh ya, kalau boleh tahu siapa nama tabib yang hendak kau temui itu?”
Yaz tersedak lagi. Khan menatapnya heran. “Kau kenapa, Yaz?”
Yaz menggeleng, tertawa hambar. “Tidak, tidak ada. Aku baik-baik saja. Apa tadi, kau bertanya nama tabibnya?”
Khan mengangguk. Yaz pura-pura berpikir sebentar, menggeleng. “Tidak tahu. Kau sendiri?”
“Aku pun juga belum tahu pastinya. Tapi kata temanku, nama tabib itu Erdem. Rumahnya berada di Chalus, dekat pesisir pantai. Walaupun aku sendiri belum tahu letak pastinya dimana.”
Yaz terdiam. Apa? Tujuan laki-laki itu sama dengannya?
“Aku boleh bertanya, Khan?” Yaz memilih untuk bertanya, rasa penasarannya mengalahkan niat dia untuk tidak membahas soal malam itu. Khan mengangguk, menghabiskan apelnya.
“Siapa keluargamu yang sakit itu?”
“Sebenarnya dia bukan keluargaku. Hanya saja, sejak dulu orang tua kami sudah begitu dekat. Sampai-sampai ia memanggil orang tuaku saja dengan sebutan paman.” Khan terkekeh, menatap wajah ingin tahu Yaz. “Namanya Ottmar. Keluarga kami ada di Azerbaijan sana.”
Degh!
Wajah Yaz menegang.
“Kau.... kau menemukannya?” Yaz bertanya cepat, lupa akan pertanyaannya yang seakan keluar dari pembicaraan. Alis Khan berkerut, semakin merasa aneh dengan pria di sampingnya itu.
“Siapa maksudmu? Ottmar?”
Yaz mengangguk, tidak menghiraukan lagi tatapan curiga Khan. Malam itu, mungkin hanya ada tiga orang yang ada di lokasi kejadian. Dan bila ia bertanya soal menemukan, dan Khan menjawabnya, maka sudah bisa dipastikan bahwa mereka benar-benar bertemu malam itu, dan Khan adalah si pengendara mobil yang memergoki mereka.
“Kapan?” Khan malah balik bertanya. Ia tidak yakin kalau Yaz mengetahui insiden malam itu. Karena setahunya, tidak ada siapapun malam itu kecuali ia dan dua orang pelaku yang langsung kabur.
“Ma.... lam, dua malam yang lalu, Khan. Di dekat perkuburan Agdam.”
Degh!
Kali ini Khan yang terbelalak, menatap Yaz semakin curiga.
“Kau.... kau mengetahuinya?” desis Khan. Yaz menelan ludah. Mau tidak mau, cepat atau lambat titik awal insiden itu akan terbongkar. Maka lebih baik ia mengakuinya, mengatakan dengan sejujurnya, dan bertanggung jawab atas semua yang telah ia lakukan. Karena sesakit apapun sebuah kejujuran, akan lebih menyakitkan saat kebohongan nanti terungkap.
“Iya, aku tahu. Dan malam itu, Khan, pastilah kau melihat dua orang di sana.” Yaz menyerah, langsung berterus terang.
“Kau, kau salah satu dari dua orang itu?”
Yaz mengangguk. Khan cepat mengangkat kerahnya.