Esoknya, tepat lepas subuh, Ottmar membuka mata. Shigeru-san, Khan dan Yaz mengucapkan hamdalah—walaupun masih dalam mode siaga. Kemarin malam, saat salju benar-benar turun, Khan beserta Yaz segera berangkat menuju Agdam. Shigeru-san sendiri menunggu mereka di rumah ibu. Dua pemuda itu kembali saat lewat tengah malam, tergesa membawakan bungkusan kain berisi bunga berwarna keemasan. Shigeru-san yang sudah menunggu lama segera meramu beberapa kuntum bunga itu dengan air, lantas meminumkannya sebisa mungkin pada Ottmar yang masih belum sadarkan diri.
Ottmar menatap sekeliling kamar, memperhatikan ranjang dan pakaiannya yang sudah diganti. Menoleh, keningnya berkerut melihat tiga orang yang duduk menunggu di sebelahnya.
“Shigeru-sama?” setelah beberapa saat hanya menatap bingung, mulut Ottmar akhirnya terbuka. Lirih saja, tapi itu sudah cukup membuat Shigeru-san meneteskan air mata. Lihatlah, menantunya itu kini sudah kembali, yang terakhir kali bertarung dengannya dengan seringaian dan mata nyalang.
“Khan?”
Ottmar beralih menatap seseorang yang duduk di sebelah Shigeru-san. Khan mengangguk, tersenyum ke arahnya.
“Yaz?” Kali ini Ottmar menatap Yaz, matanya seperti bertanya apakah mereka pernah bertemu beberapa hari kemarin. Yaz tersenyum, menyeka ujung mata, menghambur ke arah Ottmar, memeluk pundaknya.
“Maafkan aku, Ottmar....”
Ottmar menyentuh pundak Yaz, menatap pria itu bingung, rupanya ia masih ragu dengan ingatannya.
“Kenapa kau meminta maaf, Yaz, dan kenapa kalian semua di sini?” Ottmar menatap mereka bergantian. Khan menelan ludah, bertanya pada Shigeru-san lewat tatapan. Apakah aku boleh menceritakannya? Orang tua itu mengangguk, memberi isyarat agar ia tidak menceritakan bagian-bagian buruknya.
Ottmar mengernyitkan dahi setelah Khan selesai bercerita.
“Jenderal?”
Khan mengangguk. Ottmar berusaha mengingat-ingat ada masalah apa antara ia dengan jenderal. Aku tidak ada masalah lagi dengan dia. Kenapa seakan-akan kami masih memiliki masalah? Ottmar membatin dalam hati. Pandangannya beralih lagi kepada Khan.
“Tapi, bukankah jenderal tidak tahu rumahku? Kenapa suruhannya bisa sampai ke Agdam?” Ottmar bertanya dengan kata-kata ‘suruhan’. Khan memang tidak pernah menyebutkan siapa sesungguhnya si pelaku kepada siapapun (karena tidak mau memperpanjang masalah). Khan mengangkat bahu, tidak tahu. Ottmar mengusap rambutnya, beralih menatap Yaz lagi. Mulai menyadari ada yang ganjil dengan kehadiran orang-orang di sampingnya.
“Yaz, kenapa tiba-tiba kau ada di sini? Bukahkah seharusnya kau di Rusia menemani ibumu?”
Yaz menelan ludah, terlambat menyiapkan jawaban, Ottmar sudah lebih dulu mengernyitkan dahi. Pandangannya beralih kepada Shigeru-san.
“Shigeru-sama? Tuan juga jauh-jauh dari Jepang?” Ottmar bertanya sopan, menanyakan hal yang sama. Shigeru-san juga hanya bisa terdiam, tidak tahu harus mencari alasan apa.
“Tuan menjenguk Naomi? Melihat Ahmed?” Ottmar yang mulai curiga ada hal yang ditutup-tutupi darinya terus bertanya. Shigeru-san mengangguk, tersenyum kaku. Tapi, Ottmar tetap tidak percaya.
“Lalu, tidak mengajak Ayako-san?”
“Ia tidak bisa ikut, Ken sedang sakit.”
“Lalu, di mana Naomi sekarang?”
Shigeru-san terdiam, juga Khan dan Yaz. Tidak mungkin mereka menjawab ia ada di rumah. Dengan mudahnya pasti Ottmar akan langsung mengetahui kalau mereka berbohong, begitu tidak menemui Naomi di sana.
Dan hanya soal waktu, Ottmar pun akhirnya mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi malam itu.
***
Di rumah sakit, Ottmar berlari-lari menuju ruang ICU. Suara langkah sepatunya memantul-mantul sepanjang lorong. Shigeru-san, Khan dan Yaz tertinggal di belakang, bahkan sejak mobil baru saja berhenti di parkiran rumah sakit. Ottmar menghentikan langkah begitu menemukan kamar yang dicarinya, membuka pintu cepat. Di sana, Ibu dan Bibi Meryem terkesiap melihat siapa yang datang, berseru memanggil namanya.
“Mana Paman, Ibu?!” Ottmar kalap bertanya setelah memeluk ibunya. Ibu mengusap hidung, menoleh ke belakang. Di sana, Ottmar, maksudnya. Ottmar segera menghambur, tidak lagi memperdulikan Bibi Meryem yang memberi jalan kepadanya. Yang ada dalam kepalanya sekarang hanyalah paman Alp, belum sepenuhnya percaya orang tua itu terbaring di sana karena dirinya.
“Paman!” Ottmar berseru, memanggil sahabat ayahnya itu. Tapi hanya suara Elektrokardiogram[1] yang menjawabnya, selebih itu hening. Ottmar mencoba memanggil lagi. Tetap saja sia-sia. Paman Alp tidak pernah membuka mata bahkan sejak malam itu. Ottmar tergugu, mencoba memanggil kembali. Tapi kali ini Bibi Meryem yang menjawab sambil menyentuh pundaknya, “Paman baik-baik saja, Nak.”
Ottmar terisak, benar-benar merasa bersalah. Tangannya meremas selimut putih yang menutupi tubuh Paman Alp, menahan emosinya yang meluap-luap. Di belakang, Shigeru-san, Khan dan Yaz menatap sedih dari ambang pintu. Semua ini benar-benar harus dipertanggung jawabkan. Jenderal itu harus menerima konsekuensi dari perbuatannya.
Hari itu juga, Ottmar memutuskan untuk pergi ke Turkmenistan. Bersama Shigeru-san, Khan dan Yaz yang memang sudah merencakannya sejak awal. Apakah mereka akan membalas dendam? Tentu tidak. Balas dendam hanyalah sifat orang lemah. Tujuan mereka ke sana hanyalah untuk merebut kembali berkas penting milik Tuan Iskander, sekaligus memberikan pelajaran bagi orang tua yang tak tahu dosa itu.