Semua urusan (dianggap) selesai.
Dua hari kemudian, Yaz memutuskan untuk pulang ke rumah. Di sana, bibinya menyambut dengan terharu. Mengira keponakannya itu hilang ditelan bumi.
“Kau kemana saja, Yaz?” bibinya bersungut-sungut di atas ranjang, mengatakan untung saja malam itu jantungnya tidak jadi kambuh. Yaz tertawa, bergurau bilang ia baru saja masuk ke dalam portal menuju dunia lain. Bibinya hanya melambaikan tangan, menyuruhnya untuk segera mandi dan berganti baju.
“Kemarin ada orang datang ke sini.” Kata Bibi Aliye saat mereka makan pagi. Kondisi tubuhnya sedang baik. Yaz mengangkat alis.
“Oh ya?”
“Dia bilang, ada orang menitipkan pesan untuk Bibi.”
“Untuk bibi?” Yaz menghentikan suapannya, Bibi Aliye terkekeh.
“Bukan, sebenarnya itu untuk kamu. Kau kenal Bapak Iskander?”
Yaz hampir tersedak, buru-buru mengambil air minum. Bibi Aliye tertawa.
“Kenapa?”
“Bukankah Tuan Iskander sudah lama meninggal?” Yaz tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya, bertanya polos.
“Iya?!” Bibi Aliye juga hampir tersedak, bahkan ia sendiri belum tahu kabar itu. Yaz mengusap dahi. Jenderal itu benar-benar rapi memainkan perannya. Bibi Aliye mengucapkan istirja’, menatap keponakannya penuh tanda tanya.
“Kapan orang tua itu meninggal?”
Yaz mengangkat bahu, ia sendiri belum tahu hari pastinya. “Kapan utusan itu datang ke sini?”
“Kalau tidak salah hari Senin kemarin.”
Yaz menekan-nekan ujung sendoknya ke atas piring. Itu pas sekali dengan kepergiannya dari markas Jenderal ke Agdam. Tapi dari mana orang tua itu bisa menitipkan pesan?
“Ya bisa jadi Tuan Iskander menitipkannya sebelum ia meninggal, Bibi. Apa kata utusan itu?” Yaz mengalihkan pembicaraan, lebih penasaran dengan pesan Bapak Iskander.