Kembali ke Akar

Sayidina Ali
Chapter #1

Tentang Rumah yang Bukan Rumah

Kutipan: Matahari perlahan tenggelam di ufuk barat, meninggalkan jejak keemasan yang membalut sekelilingku. Suara angin meniup lembut, menyampaikan kerinduan yang teramat dalam. Namun, di tengah keindahan alam yang mempesona, aku terjebak dalam situasi yang menyedihkan. Kecaman dan teriakan menjadi latar belakang bagi keheningan di hatiku. Aku ingin menangis, meratap dalam-dalam, namun aku takut jika mereka mendengarku. Aku tak ingin menambah kekacauan ini, aku hanya ingin menemukan ketenangan. Korban dari keributan mereka, aku merasakan kesakitan yang tak terperi. Mereka tak mengerti betapa aku terhimpit dalam keruwetan ini. Aku hanya seorang anak kecil yang tak berdaya dan terlupakan dalam masalah mereka.

 

Mendengar itu, aku menyadari hari ini aku berangkat ke sekolah dengan penampilan yang keren. Aku merasa sangat semangat dan bertekad untuk menjadi yang terbaik. Tidak ada yang bisa menggeser posisiku yang telah meraih emas selama ini. Namun, baru-baru ini, Leonard tiba-tiba merangsek ke puncak dan membuatku kesal. Kehadirannya mengganggu kenyamananku. Walaupun dia tidak merepotkan di kelas, tapi selalu membuat hati Bu Irma luluh seketika.

Kertas ujian telah dibagikan kepada kami, dan kami diuji dalam pelajaran matematika. Bagiku, pelajaran ini mudah, tapi tidak untuk siswa lain. Soal ujian terdiri dari tiga puluh pilihan ganda, sepuluh soal isian singkat, dan lima esai. Aku mulai mengerjakan dengan menuliskan namaku di atas kertas soal yang berwarna abu-abu. Awalnya aku malas dan enggan menuliskan nama lengkapku yang panjang, "Aura Dava Praditasari". Kenapa Ayah harus memberiku nama itu? Aku lebih suka disebut "Aura D.P.", singkat dan mudah diucapkan. Ayah selalu memberiku pekerjaan yang rumit.

Tiba-tiba Leonard di depanku membuka soal berikutnya dengan tergesa-gesa. Kertasnya berdesing begitu cepat, membuat keheningan di kelas terasa tak berarti. Betapa menyebalkannya jika harus terus-menerus kalah di hadapan pria angkuh itu. Aku merasa gugup dan bergetar ketika harus menyelesaikan setiap soal ujian yang ada. Namun belum sepuluh menit berlalu sejak aku terakhir kali melamun, Leonard sudah selesai.

"Hampir selesai, Bu." kata Leonard dengan suara terlalu berisik ketika ia bangkit dari kursinya dan menuju ke meja Bu Irma dengan santai. Senyumnya membesar layaknya orang yang memenangkan hadiah utama. Seperti biasa, sikapnya yang angkuh dan serakah membuat seisi kelas membencinya. Entah bagaimana dia bisa berpikir bahwa dirinya lebih baik dari yang lain. Orang Cina memang terkenal pelit, tetapi aku tidak ingin menjadi seperti itu.

Aku dan Leonard memang berbeda latar belakang agama dan keturunan. Aku berasal dari keluarga Cina yang telah berdiam di Indonesia sejak zaman kolonial, meskipun namaku tidak mencerminkan unsur Cina. Namun, perasaan kesepian dan terasing terus menghantui ku sejak rumah toko ayahku dijarah beberapa tahun yang lalu. Sebaliknya, Leonard, yang selalu mengganggu konsentrasiku saat mengerjakan soal ujian, adalah sosok yang sangat menjengkelkan. Aku belum mengetahui alasan pasti dia dipindahkan ke kelas kami, tapi pasti ada sesuatu di balik semua itu.

"Hey, si kecil, buruan selesaikan soalmu!" teriak Leonard, memancing emosiku yang akhirnya meledak. Kesal dengan gangguannya, aku mencoba membalasnya agar dia tak lagi menggangguku.

"Aku sudah bilang berhenti, Leo!" teriakku ke Leo, berharap dia akan bertindak dengan tegas terhadap Leonard yang terus menggangguku. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Bu Irma malah memancing tawa kelas dengan mengolok-olok Leonard, membuatnya semakin kesal dan terpojok.

Kami, Leo dan aku, selalu dijodohkan oleh teman-teman karena kami sama-sama berdarah Cina. Tapi menurutku, apakah itu sudah cukup sebagai alasan untuk berpacaran? Aku merasa hal itu tidak masuk akal.

Lihat selengkapnya