Kutipan: Hidup adalah soal pilihan. Kita dapat meninggalkan duka lalu merengkuh bahagia dengan erat. Kekuatan bukanlah tak merasakan nestapa yang dalam, namun kekuatan adalah bagaimana kita tetap tegar tanpa terpengaruh oleh rasa sakit. Tidak pantas bagi kita untuk menderita hanya demi menampilkan kesan kuat, karena kita semua berhak atas kebahagiaan dan bahagia adalah hak kita yang tidak dapat disangsikan.
Akhirnya, segala persoalan telah berakhir. Setidaknya itu yang terlintas dalam benakku saat ini. Saat ibuku memutuskan untuk bercerai dengan ayah, aku meraih hidup baru yang selama sembilan tahun telah dinantikan. Ini adalah saat paling ditunggu-tunggu bagiku. Kehidupan yang sebelumnya penuh dengan amarah dan kebisingan akhirnya berakhir, tak ada lagi yang mengusik kedamaian hidupku.
Hingga akhirnya, keputusan yang mengecewakan itu terucap. Hak asuh berada di tangan ayah, dan aku harus menjauhi ibu selama tiga tahun penuh. Saat kami berpisah, ibu memelukku dengan erat, merelakan aku pergi. Ayah hanya terdiam dan merenung, mungkin dia pun tak menyangka akan memenangkan kasus ini. Perkara perceraian mereka telah usai, sah secara hukum.
Semua sudah berlalu. Kini, aku duduk di dalam mobil sang Ayah. Sebelum menikah dengan Ibuku, ternyata Ayah telah memiliki seorang istri dan bahkan telah melahirkan anak pertama. Ibuku mengaku bahwa Ayah selingkuh di belakangnya, namun tak ada bukti yang dapat membenarkan tudingannya. Mantan istri Ayah telah resmi bercerai sebelum aku dilahirkan, namun Ibuku tetap bersikukuh dengan keyakinannya bahwa suaminya kini, Ayahku, masih berselingkuh dan terlibat hubungan haram hingga saat ini.
Sosok Ibuku kini terasa berbeda di mataku, ia tak lagi terlihat lembut dan terkesan memutarbalikkan fakta. Aku masih belum memahami sepenuhnya mengapa Ibuku berperilaku seperti itu, walaupun aku telah berusia lima belas tahun..
Kendaraan milik Ayah telah berhenti di depan sebuah bangunan yang begitu megah. Tanah itu adalah tempat tinggal saudara tiri ku dan Ayah selama tiga tahun terakhir. Sejak kepergian istrinya, Saudara tiri ku merasakan kesedihan yang mendalam dan rasa takut kehilangan semakin menghantuinya. Dia bahkan pernah memohon agar saudara tiri ku dipindahkan ke rumah keluarga kami, namun Ibu menolak keras dan bahkan mengancam akan membunuhnya jika memaksa. Aku mendengar suara Ibu berbicara dengan nada berbeda ketika ia berbicara dengan Ayah, dan ini membuatku bertanya-tanya, siapa di antara mereka yang berpura-pura? Apakah itu Ibu atau Ayah?
Aku melangkah turun dari mobil dan melihat sekeliling. Rapih sekali susunan rumah di tempat ini. Tak ada satu pun rumah yang berdiri dengan melebar memotong jalan. Semuanya teratur, indah, dan harmonis. Berbeda sekali dengan kampung halamanku yang dulu. Di sana, serba kacau dan tidak teratur. Tak semua rumah memiliki halaman yang layak, apalagi garasi untuk menempatkan mobil.