Kembali ke Akar

Sayidina Ali
Chapter #3

Tatapan Mata yang Berujung Tersiksa Selamanya

Kutipan: Belajarlah untuk meninggalkan hal-hal yang sia-sia dalam hidupmu, sebab hidupmu hanyalah sebentar. Ketika kamu tersenyum, bersikap ikhlas, dan diam, maka keikhlasan itu akan membawamu ke pintu kesuksesan. Namun, kekecewaan juga adalah bagian dari hidup yang tak terelakkan, namun terimalah dengan bijaksana, dan jangan sampai kehilangan harapan yang melimpah ruah. Kita harus belajar menerima kenyataan, karena apapun yang kita lakukan, takkan merubah kenyataan yang ada.

 

Di pagi ini, aku telah tiba di dalam kelas. Masih belum terdapat tanda-tanda kehadiran siswa-siswa lain, hanya Novi yang sedang sibuk membersihkan lantai. Sosok Novi memang terkenal dengan rajinnya yang luar biasa, sehingga tak heran jika dia dikenal sebagai sosok yang patut dihormati. Apalagi, ayahnya adalah seorang purnawirawan TNI yang pernah bertugas di masa pemerintahan presiden kedua. Menurutku, dia sangat pantas untuk menjadi ketua kelas.

Tak lama setelah itu, Ernan tiba-tiba muncul dari balik pintu depan kelas. Dia selalu terburu-buru seperti itu karena harus menyelesaikan tugas sekolahnya. Katanya, dia selalu terlambat bangun karena malamnya dihabiskan dengan menonton pertandingan bola di warung Pak Abdul. Begitulah, kelakuan bodoh para siswa ini seringkali membuatku jengkel. Aku merasa bahwa hal ini adalah alasan mengapa Indonesia sulit maju, dengan generasi penerus yang seperti ini.

Aku menghembuskan napas kesal. Ayahku telah mengatakan bahwa di sekolah ini aku bisa mengasah kemampuan akademikku, tetapi kenyataannya, lingkungannya sama seperti teman-teman lamaku. Tidak ada siswa yang benar-benar istimewa seperti diriku. Aku bahkan lebih suka bergaul dengan Leo yang selalu beradu kepintaran denganku daripada dengan mereka.

Aduh, tidak. Ernan sudah mulai meraba-raba di sekitar kelas dengan pandangan mencurigakan. Dia pasti akan mendekatiku dan meminta bantuan dengan tugasnya. Ini sungguh mengganggu. Dan memang benar, saat ini ia sudah berdiri di depanku. "Ada apa?" tanyaku dengan cepat, sebelum dia sempat meminta bantuan.

"Tentu saja aku sudah menyelesaikan tugas untuk hari ini," ucapku dengan tegas. Ernan mencoba menggoda dengan senyumnya, berharap aku akan menyerahkan tugas itu padanya. Namun aku tak mudah terpengaruh. "Untuk apa aku memberikannya padamu?" tanyaku dengan nada tegas. Aku tahu betul bahwa semalam aku harus bekerja keras mengerjakannya, dan aku tak ingin hanya memberikannya begitu saja pada Ernan. Memang, aku juga ingin menikmati waktu luang seperti menonton pertandingan bola di televisi seperti yang dilakukan oleh Ernan, tetapi aku tidak ingin menjadi egois dan mengabaikan masa depanku.

"Aku ingin melihatnya dulu. Ayolah, semalam aku menonton pertandingan bola. Apa kamu tega membuatku dihukum oleh Bu Jasmine?" ujar Ernan dengan wajah yang membuatku semakin tidak menyukainya. Entah apa tujuannya dengan sikap memelas seperti itu. Aku justru semakin tertawa dan merasa tidak ada alasan untuk memenuhi permintaannya.

“Apa yang lucu?”

"Ayo, ambil saja. Kalau begitu, lain kali tanyakan saja pada Beckham-mu apakah dia bisa membantumu mengerjakan tugas matematika ini." jawabku sambil memberikan buku tugas kepadanya. Wajahnya berubah menjadi merah padam. Aku tahu bahwa dia sering membicarakan pemain sepak bola itu, bahkan dia selalu membawa buku dengan foto Beckham di dalamnya ke mana-mana. Aku jauh lebih suka Beckham daripada dia, tetapi aku tidak begitu fanatik seperti dia. Dengan hati yang baik, aku memberikan buku tugasku untuk ia salin jawabannya.

Lihat selengkapnya