Kembali ke Akar

Sayidina Ali
Chapter #7

Skenario ini Indah untuk Aku Pandang sebagai Angin Lalu

Sejak saat itu, segalanya belum berakhir. Dalam periode tertentu, Fuadi terus memintaku untuk bertemu. Walaupun aku tidak keberatan, aku merasa janggal dengan seringnya permintaannya dalam waktu yang dekat-dekat ini. Aku menyadari bahwa Fuadi masih ingin mengetahui lebih banyak tentang Nirmala, dan hal itu membuatku tidak nyaman.

Beberapa waktu yang lalu, Fuadi menghubungiku dan mengajak untuk bertemu di taman kota pada siang hari ini. Taman kota selalu menjadi tempat pertemuan favorit kami karena tempatnya yang luas dan indah. Selain itu, tidak ada orang yang mencurigai keberadaan kami di sana karena taman terbuka untuk siapa saja. Kehadiran bunga-bunga di taman juga menambah suasana romantis yang terpancar dari lingkungannya. Selain itu, taman kota sangat strategis karena berdekatan dengan balai kota. Yang menarik perhatianku adalah keberadaannya yang dekat dengan perpustakaan. Kapan saja aku merasa bosan, aku bisa pergi ke perpustakaan dan menikmati waktu sendiri di sana. 

Aku mulai mempersiapkan pakaian yang akan kupakai, tidak perlu yang ribet dan cukup sederhana saja. Sebenarnya, dalam hal berpakaian, aku tidak mempunyai selera khusus. Yang penting tampil elegan dan indah, tanpa harus mencuri perhatian orang lain.

Ketika berjalan di jalanan kota yang sangat ramai ini, aku tidak bisa menghindari polusi yang tersebar di seluruh penjuru kota. Tidak mengherankan, Indonesia dikenal sebagai negara dengan populasi terbanyak. Kulitku terpapar sinar matahari yang menyengat karena aku hanya mengenakan baju lengan pendek. Aku memang sangat tidak suka baju lengan panjang karena membuatku merasa tidak nyaman.

Beberapa jam kemudian, aku akhirnya tiba di taman kota setelah terhambat dua kali lipat dari waktu yang seharusnya. Saat aku tiba di sana, aku melihat Fuadi telah menunggu dengan pakaian serba putih. Pilihan yang tepat untuk dipakai pada siang hari seperti ini. Tampannya Fuadi semakin terpancar di bawah sinar matahari. Bagiku, dia seperti pangeran yang diutus Tuhan melalui cahaya matahari. Kulitnya tidak terlalu cerah, tetapi sangat bersih dan terawat.

Tanpa berpikir panjang, aku melangkah mendekatinya. Aku berpura-pura panik dan menunjukkan wajah gugup agar tidak mencurigai dirinya bahwa aku mengamatinya dari jauh tadi. Seharusnya, dia akan bertanya mengapa aku terlambat datang.

"Entah kenapa aku merasa ada yang tidak beres dengan diriku, sehingga kamu hanya berdiam di sana saja tadi." ucap Fuadi sambil tertawa kecil. 

Mendengar kata-kata Fuadi, wajahku langsung merona. Aku tidak bisa memahami bagaimana dia bisa tahu bahwa aku sempat berdiri di sana tadi dan memperhatikannya secara diam-diam. Rasa malu menghantui diriku dan membuatku ingin menghilang dari tempat itu seketika. Oh Tuhan, bisakah aku sekali saja menyembunyikan wajah ini yang penuh rasa malu.

"Tidak apa-apa," ucapku sambil tersenyum mencoba menahan rasa malu yang menghantui. "Tadi aku sempat merasa khawatir bahwa aku meninggalkan kunci rumah, jadi aku berhenti sejenak untuk mencarinya. Setelah berhasil menemukannya, aku segera melanjutkan perjalanan menuju ke sini." jelasku. Tanganku berkeringat karena sulit mengendalikan diri. Ditambah lagi cuaca yang sangat panas membuat tubuhku terasa terbakar. 

"Ayo, lebih baik kita masuk ke perpustakaan saja. Tidak baik berada di luar dalam cuaca yang sangat panas seperti ini. Kau sudah berkeringat banyak, lihat saja keningmu yang basah." ajak Fuadi.

Lihat selengkapnya