Kembali ke Akar

Sayidina Ali
Chapter #8

Ketika Dia sudah Semakin Matang untuk Pulang

Kutipan: "Menemukan jalan keluar dari masalah yang tampak begitu besar kerap memicu keinginan untuk menyerah. Namun, pilihan untuk mengakhiri hidup bukanlah penyelesaian yang tepat. Teruslah bertahan dan temukan bantuan yang pantas, sebab hidup memiliki potensi yang sangat besar untuk kebahagiaan dan kesuksesan yang belum terbuka."


Aku tergesa-gesa memakai sepatu yang pantas untuk mengunjungi rumah Fuadi. Kali ini, aku tak ingin tampil seadanya saja. Aku merapikan rambutku dengan cermat, memilih kacamata terbaikku, dan mengenakan sepasang sepatu yang telah lama terabaikan. Semua itu kulakukan semata-mata untuk memuaskan hati Fuadi. Tidak sering aku merapikan diri sedemikian rupa seperti ini.

Dengan hati yang riang, aku berangkat menuju rumahnya. Matahari pagi menyambut kedatanganku dengan hangat, sedangkan awan-awan yang berarak memberikan hembusan angin sepoi-sepoi yang menyejukkan. Keadaan yang amat cocok untuk saat ini. Aku bertekad untuk terus tersenyum selama bersama Fuadi. 

Dalam perjalanan selama dua jam, aku tertidur lelap. Barulah aku terbangun saat sudah dekat dengan lokasi yang diberitahukan oleh Fuadi. Namun, ketika aku membuka mata, kekaguman langsung memenuhi hatiku. Sungai yang membentang luas itu benar-benar memukau pandanganku. Airnya masih jernih dan terbebas dari segala kontaminasi bahan kimia yang merusak kealamian. Aku melihat sekeliling, pemandangan pegunungan yang masih asri dan pepohonan yang menyejukkan memberikan nuansa kedamaian yang sulit dilupakan. Betapa indahnya tempat ini, seolah-olah tempat ini diciptakan khusus untuk ditinggali di masa tua kelak.

Andai saja suatu saat nanti aku bisa menikah dengan Fuadi, aku akan memilih untuk menetap di sini. Kalian harus tahu, tempat ini benar-benar luar biasa indah. Saking eloknya, aku merasa seakan-akan berada di luar negeri, padahal lokasi ini masih berada di Indonesia. 

Aku melanjutkan perjalanan dan setelah berjalan sejenak, akhirnya aku menemukan rumah Fuadi. Namun, langkahku terhenti tiba-tiba ketika mataku menangkap sebuah mobil yang terlihat tidak asing bagiku. Mobil itu selalu terparkir di area sekolah dahulu. Aku yakin itu milik Nirmala. Namun, bagaimana mungkin Nirmala bisa berada di rumah Fuadi? Apakah selama ini aku hanya tertipu olehnya? Kepbingungan merasuki diriku. Tapi jika Nirmala benar-benar berada di dalam rumah tersebut, aku tidak bisa bertemu dengannya. Aku harus bersabar menunggu hingga dia keluar.

***

Mendadak dari balik pintu besi itu, seorang dokter masuk dengan tampilan lengkap, membawa sebuah papan kayu dan selembar kertas putih yang mungkin berisi data-data medis. Aku duduk di sebuah meja berwarna biru pudar yang terletak di bawah sorotan lampu yang terang benderang. Pikiranku masih terus terperangkap dalam perdebatan dengan diriku sendiri, seolah-olah semua yang terjadi baru saja terasa sangat menakutkan. Aku membenci fakta bahwa hal ini harus terjadi. Tiba-tiba aku merasa terdampar di suatu tempat yang asing. Apakah aku berada di rumah sakit? Atau sedang diinterogasi di sebuah ruangan? Kenapa aku berada di sini hanya dengan seorang dokter? Mengapa semua tampak begitu gelap dan hanya cahaya terang yang menerangi diriku? Apakah kulitku yang tak cukup putih tidak memungkinkanku terlihat dalam kegelapan? Ada apa dengan ini semua? Tolong katakan dengan cepat.

"Nama lengkap Anda adalah Aura Dava Praditasari," ujar sang dokter. "Saya adalah psikiater yang akan membantu Anda pulih dari kondisi pasca-trauma. Anda mengalami kerusakan saraf akibat benturan keras dari sahabat lama Anda. Namun, jangan khawatir, Anda masih bisa menggerakkan seluruh bagian tubuh Anda jika apa yang saya katakan itu benar." Dokter tersebut menjelaskan kronologi kejadian dengan panjang lebar.

Aku mengangguk perlahan, mencoba untuk merespons kata-kata dokter itu. Namun dalam hati, masih ada perang yang sengit antara apa yang ia katakan dan apa yang sebenarnya aku rasakan. Aku tak asing dengan urusan psikologis, tapi kali ini semuanya benar-benar berbeda dan sangat tidak terduga. Ini jauh di luar dugaanku.

“Baik, saya akan mendengarkan dengan penuh perhatian. Apa yang terjadi saat itu?” tanyanya dengan nada lembut.

“Saya bisa menjelaskannya,” jawabku.

“Hari itu aku sedang pulang dari perpustakaan. Tiba-tiba ada sebuah benda yang mendarat di bagian belakang kepalaku dan membuat aku langsung tak sadarkan diri.”

Diam. Aku terdiam. Padahal dalam benakku banyak sekali yang ingin aku sampaikan. Namun, mengapa rasanya seperti ada yang tercekat di tenggorokanku? Seperti kata-kata itu enggan untuk keluar dari mulutku. Entahlah. Apakah aku benar-benar lupa tentang kejadian itu? Tidak mungkin. Aku yakin aku bisa menceritakan semuanya pada dokter ini.

“Masih bisa melanjutkan?”

Aku menggelengkan kepala. “Setelah itu aku tersadar. Aku berada di dalam sebuah mobil yang dikendarai oleh orang asing. Setelah itu mobil itu berhenti dan aku dikeluarkan. Di sana aku sadar bahwa Nirmala dan Ikrab ada di sana. Mereka menculikku.”

Lihat selengkapnya