Kembali ke Akar

Sayidina Ali
Chapter #9

Badai Memang Sudah Berlalu, Tetapi Apakah Ini Awal dari Badai Baru? Atau Pelangi yang Engkau Beri?

Kutipan: "Tatkala aku mencari sisa-sisa masa lalu yang terkikis, aku dapati cinta sejati telah menanti. Di antara sorotan lampu yang bergemilang, aku terikat dalam perjanjian cinta yang takkan terlupa."


Hari ini aku melakukan aktivitas lagi setelah tiga bulan terakhir terbaring di rumah untuk menjalani perawatan. Trauma yang kualami merusak banyak aspek dalam hidupku, termasuk perebutan kuasa di antara Ibu dan Ayah untuk mengurusiku. Hal itu semakin membuatku terpuruk dan berpikir untuk mengakhiri hidup.

Perkara yang menimpa diriku tersebut telah selesai di pengadilan. Aku enggan untuk terlalu merinci hukumannya, tapi bagi diriku, itu sudah cukup berat. Meski aku tidak hadir di ruang sidang, namun sang dokter yang merawatku telah menjadi saksi dalam kasus tersebut. Dia merancang skenario yang mengamankan diriku agar aku tidak terjebak dalam masalah hukum. Aku dipaksa untuk melepaskan hakku sebagai saksi dan menggantikannya dengan psikiater karena masih dalam fase pemulihan dari trauma yang kualami. Dan akhirnya, semuanya terselesaikan. 

Selama tiga bulan terakhir, aku tidak pernah bertemu dengan Fuadi. Ibu yang berhasil mengalahkan Ayah dalam perdebatan, memutuskan untuk mengurungku di rumah selama satu bulan penuh setelah aku dinyatakan sembuh oleh dokter. Ibu merasa bahwa Fuadi lah yang terlibat dalam segala kejadian mengerikan yang menimpa diriku. Padahal, aku tidak bisa menyangkal ataupun membenarkan tuduhan itu karena Ibu selalu mudah menuduh siapa saja.

Kali ini, aku berdiri di depan cermin dengan memakai baju kesukaan Ibu yang banyak dihiasi manik-manik. Baju itu sebenarnya milik Ibu, namun dia mewariskannya kepadaku dan mengatakan bahwa baju itu sangat cocok untukku. Ibu juga menyarankan agar aku tidak memakai kacamata dan beralih ke soflens, hanya untuk hari ini saja. Hari yang sangat spesial. 

Aku merasa kaku dan gugup. Aku tidak tahu harus bagaimana memulai kembali hubungan komunikasi dengan Fuadi yang sudah lama tidak aku temui. Terlebih lagi, acara ini sangatlah ramai dan penuh dengan orang-orang baru. Bagiku yang hanya menghabiskan tiga bulan terakhir bersama dokter, kehadiran banyak orang tentu menjadi sesuatu yang tidak biasa.

Ayah dan Nadya tertahan oleh keegoisan Ibu, yang membuatnya enggan memperbolehkan mereka berkunjung kepadaku. Ibu bahkan pernah hampir menampar Nadya ketika dia hanya ingin menengokku. Kebencian Ibu terhadap Nadya sungguh besar.

Tiba-tiba terdengar suara mobil dari luar rumah. Aku sudah memperkirakan bahwa itu adalah mobil yang dipesan oleh Fuadi untuk menjemputku, dengan maksud agar Ibu tidak curiga. Ibu pasti akan mengira bahwa yang datang adalah mobil pesanan online. Dengan sedikit rasa was-was, aku keluar dari kamar dan berjalan menuju dapur. Aku menyapa Ibu dan memeluknya dengan penuh kasih sayang.

“Puji Tuhan. Anakku indah sekali mengenakkan gaun ini.” ujarnya dengan tersenyum. 

Lihat selengkapnya