Kutipan: "Jikalau kepulanganku dianggap sebagai bencana, mengapa kau memilih untuk memperanakkan diriku? Aku tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Jika keberadaanku dianggap sebagai beban, mengapa kau membiarkanku hidup bersamamu? "
Kemarin adalah hari yang paling membahagiakan dalam hidupku. Tak ada yang bisa menandingi kebahagiaan itu. Ketika cincin itu dipasangkan oleh Fuadi di jari manisku, aku merasakan jatuh cinta dalam sekejap. Aku tak pernah berpikir untuk menikah, tapi dengan tiba-tiba, orang yang selalu aku harapkan, baik dalam dekat atau jauh, kini menjadi calon suamiku.
Kini, aku merenung di hadapan Tuhan. Aku memegang kalung ini dengan bangga, tapi sebenarnya aku sedang mempertanyakan nasibku selanjutnya. Aku seorang Katolik, sedangkan dia seorang Muslim. Perbedaan ini belum pernah kami bahas, bahkan saat dia melamar aku kemarin di depan semua orang, aku langsung menerimanya. Namun, kenyataannya, ini menimbulkan banyak pertanyaan tentang masa depan hubungan kami.
Aku berharap Tuhan memberikan petunjuk yang jelas tentang apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Apakah aku harus mengubah keyakinan ku, atau apakah Fuadi harus melakukannya? Ataukah kami bisa hidup berdampingan dengan keyakinan kami yang berbeda? Aku memohon petunjuk dari Tuhan agar kami bisa mengambil keputusan yang terbaik untuk kedua belah pihak.
Aku berdiri di hadapan Ibu dengan sikap yang penuh hormat. "Ibu, aku ingin memberitahukan bahwa aku telah dilamar oleh Fuadi," ujarku dengan nada yang lembut.
Ibu kemudian menoleh ke arahku dan menatapku dengan tatapan yang kosong. "Sejauh yang aku tahu, nama Fuadi adalah nama seorang Muslim. Apakah aku salah?" tanyanya dengan nada yang tegas.
"Aku membenarkan kata-kata Ibu," jawabku dengan tenang.
Ibu tampak kesal, "Di mana letak akal sehatmu? Apakah selama ini ayahmu yang menjadi kebanggaanmu tidak pernah mengajarkan tentang hal ini?"
"Aku mohon maaf, Ibu. Namun, aku merasa sangat mencintainya. Selain itu, dia berani mengajakku menikah tanpa pikir panjang," jawabku dengan harapan Ibu bisa memahami.
"Ibu memahami perasaanmu, namun kalian sama-sama naif dan tidak berpikir panjang tentang apa yang akan terjadi. Masih banyak laki-laki yang memiliki keyakinan yang sama denganmu di luar sana. Kenapa harus dia? Lagi pula, laki-laki semacam itu dapat membawa masalah dalam hidupmu. Ingat, kamu hampir saja kehilangan nyawamu karena dia. Mungkin nanti, jika kamu menjadi istrinya, kamu akan benar-benar mati," ujar Ibu dengan nada yang keras dan berapi-api.