Kembali ke Akar

Sayidina Ali
Chapter #11

Tidak Ada Perpisahan yang Menyenangkan

Di kala matahari berjuang menapaki puncak, sinarnya menghiasi langit dengan keanggunan yang lumayan terang pada hari ini. Udara tidak terlampau panas, dan angin yang bertiup kencang menyejukkan suasana. Hembusan angin itu berdampak pada kejatuhan daun-daun yang tertiup, menutupi rute para pelari yang menjajaki jalur kota ini. 

Kota yang memesona dengan siraman hujan yang melimpah di dalamnya. Hampir setiap hari, saat matahari hendak menyelesaikan tugasnya, hujan tiba-tiba meluncur deras dari langit. Tak segan-segan dia membanjiri pemukiman warga, menurunkan suhu udara dan membasahi bumi dengan setia. Bagiku, hujan tak bersalah. Dia hanya menjalankan perintah Ilahi untuk menjaga keseimbangan alam, menemani pasangan kekasih yang mesra, meredakan jeritan jiwa kesepian, dan bahkan untuk menjadi temanku dalam perjalanan ini. Bersama hujan, aku dapat bercerita tentang semuanya, termasuk kisah tentang Fuadi. 

Kini, aku bersandar pada pohon yang teguh dan kuat. Di sepanjang jalan ini, banyak pohon kembaran menjulang tinggi, dan aku menaruh kepercayaan untuk berlindung dari terik matahari di bawah naungannya. Tanpa pohon-pohon ini, mungkin aku akan merasa kecewa, terpaksa terik matahari yang baru muncul menahan diriku di bawah jemurannya yang membakar kulit.

Lalu lintas padat merayap dengan mobil-mobil yang melaju dengan deras. Manusia terpaksa mengorbankan waktu mereka untuk bertahan hidup dalam kesibukan yang penuh sesak. Mereka berlomba-lomba meraih hidup yang damai bersama orang tua, anak, dan pasangan mereka. Namun, tak sedikit dari mereka yang terpaksa merelakan kebahagiaan itu demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dunia yang kita singgahi memang kejam, dan terkadang aku bertanya-tanya, apakah kekejaman itu hasil ciptaan manusia ataukah kehendak Tuhan yang tidak terjangkau pemikiran manusia? 

Sebuah bus raksasa berwarna abu-abu menarik perhatianku dengan berhentinya di seberang jalan. Lalu, seorang laki-laki turun dari dalam bus yang tubuhnya sedikit lebih tinggi dariku, membawa sebuah tas ransel hitam di atas bahunya. Laki-laki itu mengenakan pakaian serba putih, dilapisi jaket berwarna coklat muda dan celana hijau keabuan yang sedikit tua. 

Yang datang adalah Fuadi, sosok yang sudah sangat dikenal bagiku. Tapi, aku belum pernah melihatnya tampil begitu berbeda sebelumnya. Awalnya aku sempat meragukan kehadirannya, namun ketika dia berbalik badan, semua keraguan itu sirna seketika. Fuadi dengan pesonanya yang indah terlihat sedang mencariku. Aku diam-diam memperhatikan gerak-geriknya yang konyol, seperti orang kebingungan tak tahu harus pergi ke mana. Tanpa pikir panjang, aku segera melangkah ke depan dan melambaikan tangan ke arahnya. Fuadi yang berada di seberang jalan dengan cepat merespon dan memberikan balasan lambaian kepadaku. 

Aku tersenyum lebar melihat tingkah laku Fuadi yang lucu. Dengan gerakan tangan, aku memberikan instruksi agar bertemu di bawah underpass. Setelah dia mengerti, dia segera berlari menuju underpass itu. Aku dengan spontan mengikutinya, langkah kaki kami saling bertautan dan memenuhi ruangan sunyi itu dengan suara langkah yang cepat. Aku tiba di bawah underpass, dan di sudut sana kulihat Fuadi tersenyum manis menanti kehadiranku. 

Underpass ini terlihat sangat menarik dengan lukisan-lukisan yang indah dan karya-karya yang dipajang di sekelilingnya. Selain itu, suasana yang sejuk dan menyegarkan membuat tempat ini menjadi salah satu pilihan terbaik untuk para pejalan kaki yang ingin menyeberang tanpa harus nekat menyeberang di jalan yang ramai di atasnya. Dengan adanya underpass ini, para pejalan kaki bisa menikmati pemandangan dan karya seni yang indah sepanjang perjalanan mereka. 

Kita berdiri di sana, terdiam dan terpaku. Rasanya seperti sebuah pencapaian besar bisa bertemu lagi setelah sekian lama. Begitu banyak perjalanan hidup yang kami lalui, dan di sini, di tempat ini, pada saat ini, kami berhasil bersua kembali. Senyumnya indah sekali, terpancar dengan jelas di wajahnya. Namun, saat ini aku harus berpisah dengannya. Rasanya sulit untuk mengatakan selamat tinggal, dan hatiku gemetar ketika aku mencoba. Senyumnya tampak menjadi usahaku untuk menghilangkan perasaan rindu yang mendera. Tapi itu tidaklah cukup. Sayangnya, dia tidak bisa melihat isi hatiku saat ini. 

Aku melihat Fuadi berjalan maju mendekatiku, dan aku tanpa berpikir mundur beberapa langkah mengikutinya. Semakin dekat, semakin cepat langkah kami. Akhirnya, di tengah terowongan yang sunyi itu, aku meraihnya dan memeluknya dengan erat. Tangannya menempel di punggungku, sementara tanganku berada di lehernya. Sesaat kami terdiam, menikmati kehangatan pelukan ini. Mungkin ini momen yang indah, di mana kini kami saling memahami, saling melengkapi, dan saling merindukan. Dan aku tidak ingin melepaskan dirinya dari pelukanku ini, setidaknya tidak sekarang.

Tak pernah terbersit di benakku untuk melakukan hal ini. Keberuntungan sepertinya berpihak padaku karena momen ini terjadi dengan sendirinya. Perasaanku terombang-ambing tak karuan. Suasana menjadi semakin spesial dengan keberadaan kami di sini, tanpa ada orang lain yang melintas di bawah terowongan ini. Tidak ada yang mengganggu kedamaian kami selain langkah-langkah kami yang pelan dan napas kami yang terdengar di antara desir angin.

Lihat selengkapnya