Kutipan: "Jika aku bisa memprediksi masa depan, aku akan memilih untuk melewati fase yang telah atau sedang dilalui saat ini."
Terdengar suara panggilan “Aura!!” dari balik pintu yang terbuka.
Tentu saja itu membuyarkan lamunanku. Segera ku buka kedua mataku untuk memastikan. Tidak disangka, suara itu berasal dari Pa Salim. Aku tak asing lagi dengan intonasi suaranya. Rasanya begitu menyebalkan.
“Pa Salim? Kok Bapak ada di sini?” tanyaku spontan. Tanpa ragu, aku langsung bangkit dari posisi semula ku dan meninggalkan kamar mandi.
“Loh, ini kan rumah saya.”
Aku merasa pertanyaanku begitu bodoh. Sudah jelas-jelas bahwa aku berada di rumah Pa Salim, mengapa aku malah bertanya seperti itu? Namun, yang lebih menyebalkan lagi adalah bagaimana dia membuat situasi ini terasa seperti sebuah drama yang menegangkan. Kenapa dia tidak memastikan kehadiranku saja dengan lebih jelas? Ini benar-benar menjengkelkan.
“Iyah, juga. Memangnya bapak tidak bisa memanggil saja? Lagian untuk apa bawa-bawa senjata seperti itu.” ujarku dengan suara yang penuh kekesalan, melihat perilaku Pa Salim yang sembrono. Dalam tangannya, terlihat ia masih memegang erat sebuah botol kecap yang mungkin saja akan dipakainya untuk memukul kepalaku jika orang yang berdiri di hadapannya bukanlah aku.
“Bagaimana cara untuk memanggilmu?” tatapannya mulai tertuju ke arahku. “Kamu bisa melihat bahwa pintu belakang tidak terkunci. Sesaat dalam pikiran saya terlintas bahwa mungkin ada maling yang masuk, atau bahkan orang-orang yang sedang melakukan penggeledahan di rumah ini. Dan yang lebih buruk lagi, bisa jadi saya yang lupa mengunci pintu. Tapi sepertinya itu tidak mungkin, karena saya yakin saya sudah menguncinya sebelumnya. Benarkan?” nada bicaranya kini berubah menjadi menjengkelkan.
“Ah, tampaknya aku lupa mengunci.” ucapku sambil tertawa kecil, merasa tak bersalah.
Dengan langkah yang mantap, Pa Salim berjalan menuju arah kulkas. Bagi seorang yang hidup sendiri tanpa sandaran, memiliki fasilitas semacam itu adalah sebuah anugerah yang tak ternilai. Hanya dengan menikmati kesenangan beternak, ia berhasil memperoleh segalanya yang diinginkan dan kecukupan yang tak terbatas. Namun, tak satupun dari itu mampu menggantikan rasa hangat dan kebersamaan yang hanya bisa diperoleh dari keluarga.
Tak lama kemudian, tangan Pa Salim meraih sebuah botol yang terlihat seperti minuman dingin. Dengan cekatan, dia mengambil dua gelas dari rak yang terletak di atasnya dan meletakkannya tepat di sebelah botol tersebut. Dengan gerakan yang terampil, dia membuka tutup botol dan menuangkan isinya ke dalam gelas pertama dengan perlahan, seolah ingin memastikan tak ada tetes pun yang terbuang. Begitu penuh, dia melanjutkan menuangkan ke gelas kedua hingga tak sedikit pun air terbuang.
“Silahkan, Nona Aura.” ucap Pa Salim sambil menyerahkan salah satu gelas yang dipegangnya.
Tanpa ragu, aku meraih gelas yang disodorkan oleh Pa Salim. Walaupun hanya berisi air tawar dingin, namun begitu menyegarkan dan mampu membantu menyejukkan tubuhku yang kepanasan. “Terima kasih banyak, Pak.” ucapku dengan sikap hormat yang tulus. Dengan penuh semangat, aku menyeruput air dalam gelas hingga habis, lalu meletakkannya dengan lembut.
Pa Salim mengubah ekspresinya menjadi serius dan bertanya dengan tegas, "Jadi, ceritakan bagaimana kamu bisa sampai di sini sekarang?" Sambil berkata demikian, dia melipat tangannya dan menunjukkan bahwa pembicaraan ini mulai terdengar serius.
"Ketika sedang berjalan pulang, Bu Ami tiba-tiba menarikku dan memberikan banyak informasi yang cukup membantu. Aku kemudian memantau apa yang terjadi melalui CCTV dan mengetahui bahwa mereka sedang mencariku. Akhirnya, aku memutuskan untuk datang ke sini dengan inisiatifku sendiri." jawabku dengan rinci dan jelas.
Suasana di ruangan sunyi dan terasa tegang. Kita berdua saling berhadapan, mencoba membaca situasi yang tengah terjadi. Bagiku, kehadiran Pa Salim adalah satu-satunya harapan di tengah kehampaan dan ketidakpastian ini. Mungkin saja rumah ini akan diperiksa secara baik-baik atau dipaksa masuk, atau bahkan tanpa sepengetahuan kami. Tapi kami harus siap menghadapinya.
Sebentar saja setelah Ayah memberi kabar, aku disetujui untuk dijemput oleh salah satu rekan kerjanya besok. Ini terasa seperti adegan dalam film aksi, aku harus menunggu sampai pagi dan bersembunyi di rumah ini, sementara musuh-musuhku semakin dekat mengejarku. Aku tidak tahu bagaimana akhir dari semuanya, apakah aku akan berhasil melarikan diri atau justru menjadi cameo di dalam drama yang mereka mainkan.
"Kamu mau tidur atau menunggu sampai esok pagi?" tanya Pa Salim tiba-tiba, membuatku tersentak.
"Mungkin aku akan tetap terjaga sampai pagi, Pak." jawabku dengan suara yang lemas.
Kini malam sudah benar-benar turun. Aku duduk di sebuah kursi, merasa perlu untuk menjaga diri dari orang-orang yang masih belum jelas maksud dan tujuannya. Mereka bukanlah orang yang bisa bekerjasama atau sekadar duduk bersama menikmati secangkir teh sambil menonton liputan. Atau mungkin saja, justru namaku yang akan muncul di liputan itu.