Kembali ke Akar

Sayidina Ali
Chapter #14

Aku Pikir Dia sekedar Angin Lalu Saja

"Kamu mengenalnya?" tanya Nadya, masih bingung dengan kejadian tadi.

"Tentu saja," jawabku. "Aku mengenalnya dengan sangat baik. Dalam kisah hidupku, dia adalah sosok yang tidak terlalu penting dan sepertinya sudah dilupakan oleh zaman. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku bertemu dengannya." Aku merebahkan badanku di kasur dengan santai.

Nadya masih belum bisa menerima kenyataan bahwa temanku juga menjadi temannya. Selama tinggal di sini, dia selalu bercerita tentang seorang teman yang sering dia ajak bicara dan bertukar cerita. Awalnya aku tidak terlalu memperhatikan siapa teman bicaranya, tapi setelah aku tahu, ternyata yang menjadi teman bicaraku adalah orang yang dimaksud Nadya.

Kami berdua berada di dalam sebuah kamar flat kotak yang menjadi tempat tinggal mayoritas penduduk di sini. Nadya enggan untuk merebahkan dirinya di tempat tidur yang sama denganku. Dia hanya berputar-putar secara horizontal dari kanan ke kiri, kemudian kembali ke kanan lagi. Aku melihat betapa dia terus melakukan hal itu, seolah mencoba memikirkan sesuatu yang sulit untuk diungkapkan. 

"Sementara itu, bagaimana mungkin kamu mengenalnya?" tanyaku pada Nadya yang masih kelihatan bingung.

Setelah sejenak diam, Nadya tiba-tiba berhenti berputar dan mendekat ke arahku dengan tatapan yang sulit dipahami. Dia duduk di sampingku dengan jarak yang sangat dekat.

"Aku akan mulai menceritakan semuanya." jawabnya.

***

Sesampainya di Singapura, aku merasa sulit untuk menemukan teman dengan jelas. Orang-orang di sini tampak sulit diajak berkenalan. Mereka masing-masing sibuk dengan dunia mereka sendiri. Namun suatu hari, aku memutuskan untuk pergi ke Blackwood, salah satu coffeeshop terdekat di sini. Karena tidak ada teman, aku duduk sendirian di sana sambil terlarut dalam lamunanku. Aku benar-benar menjadi satu-satunya orang yang terlihat sendirian dan melamun di sana. Tentu saja, hal itu menarik sedikit perhatian, terutama bagi mereka yang tidak terbiasa melihat orang sendirian, apalagi dengan penampilanku yang tidak terlalu mencerminkan keturunan Tionghoa seperti kamu.

Tiba-tiba, seorang pria berpostur besar dengan ciri khas wajah Tionghoa berdiri di depanku dari arah belakang. Ketika badannya yang besar menghalangi pandanganku, aku tak bisa menahan diri untuk tidak menatapnya. Sepasang mata itu menatapku dengan penuh tanda tanya. Ditambah lagi, postur tubuhnya yang begitu besar seolah-olah dia adalah seorang pengawal yang diperintahkan oleh atasannya untuk menghajarku.

Jika di tempat itu dia berniat menimbulkan keributan, aku pun siap untuk memberi balasan dengan pukulan. Namun, situasinya tak berlangsung seperti yang kuduga.

"Jika aku boleh bertanya, apakah kau orang Indonesia?" tanya pria itu, yang memiliki tubuh besar dan wajah Tionghoa yang khas.

Lihat selengkapnya