Blurb
Jauh sebelum lahan dibuka Amdi pernah mendengar keluhan-keluhan orangtuanya tentang anak-anak Minangkabau jaman sekarang yang sudah tak peduli dengan surau, sudah tak peduli dengan akar budaya minangkabau, sudah tidak peduli dengan permainan tradisional karena terpengaruh gadget, game dan dampak buruk internet yang menjadi racun bagi mereka.
"Aku ingin lahan ini jadi lapangan sepak bola saja," Romi yang turut penasaran atas pembukaan lahan itu juga telah berulang kali menanyakan pada Amdi belum juga mendapat jawaban.
Tangannya mulai menyalakan korek api untuk membakar ilalang-ilalang kering yang dikumpulkan oleh Amdi. Dalam sekejab api menyala dengan asap yang membumbung ke langit.
"Jadi lahan ini dibuka untuk apa?" Romi menanyakan lagi pada Amdi, pertanyaan yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Mulutnya menganga menanti jawaban dari sahabatnya itu, membuat asap masuk ke mulutnya. Asap yang terhirup olehnya membuatnya terbatuk-batuk tak karuan.
"Lahan ini terlalu luas untuk lapangan sepak bola saja," jawab Amdi sambil bergeser dari tempat duduknya menghindari asap yang menyebar.
Amdi menatap lahan yang penuh ilalang, mengarahkan matanya memandang tiga orang yang masih sibuk merambah hutan. Mereka tak lain adalah Pak Akmal ayahnya, Pak Riski ayah Amdi dan Iwan yang masih bujang. Sesekali mereka nampak bercakap-cakap satu sama lainnya.
Romi juga memandang lahan seluas lima hektar tersebut, menatap dalam-dalam seolah-olah lahan itu lapangan sepak bola. Sedari dulu ia ingin memiliki lapangan sepak bola yang terlihat di TV. Semen Padang merupakan kesebelasan yang selalu dielu-elukannya semenjak dulu. Setiap tim kabau sirah tampil di layar kaca tak pernah sekalipun ia melewatkan untuk menontonnya