Sore hari itu benar-benar cerah dan masih terang benderang oleh cahaya matahari walaupun cahaya raksasa itu sebentar lagi tergelincir ke ufuk barat. Di langit nampak segerombolan kelelawar besar yang mulai mencari sarang pohon-pohon untuk persinggahan malam. Beberapa ekor bahkan nampak terbang redah sehingga kepak sayapnya menimbulkan bayang-bayang memanjang di daratan.
Romi berusaha melempar kelelawar raksasa itu dengan beberapa bola ilalang yang disimpannya di dalam pondok. Setinggi-tingginya dia melempar bola-bola ilalang itu, tetap tak mampu mencapai sepertiga jarak ketinggian terbang hewan tersebut.
Sementara di tanah bunyi jangkrik dengan suara uniknya mulai jelas kedengaran, Amdi berusaha mencari beberapa ekor untuk menambah koleksi jangkrik di kandang mini belalang di rumahnya. Walaupun ia menangkap jangkrik, tak sekalipun ia melukai binatang bersuara unik tersebut. Jangkrik-jangrik itu dikumpulkan dan dipelihara sebagaimana layaknya hewan kesayangan. Setiap hari ia beri makan dan memfasilitasi kandangnya layaknya sarang belalang, ada tanah dan gundukannya. Sebagai imbalannya, ia akan mendengar suara-suara yang indah dari bermacam-macam jangkrik itu setiap harinya.
Selagi amdi menangkap jangkrik, namanya tiba-tiba dipanggil oleh seorang wanita yang diam-diam tiba di pondok di pinggir lahan penuh ilalang tersebut. Dia menoleh sambil tersenyum, yang datang itu adalah ibunya ditemani oleh adiknya Kyla.
Ibunya membawa minuman dan sebungkus roti untuk mereka yang ada di kebun, sedangkan Kyla langsung menggoda Romi yang sedari tadi masih saja sibuk melempar burung-burung kelelawar raksasa yang terbang rendah.
“Panggil Ayahmu, panggil Ayah Romi, dan Uda Iwan ke Pondok!” kata Mara pada Amdi anaknya, ia lalu meletakan seteko minuman teh manis dan kopi di pondok. Lalu mengeluarkan setengah lusin gelas dari dalam plastik yang bercampur dengan roti.
Amdi mengangguk menanggapi perintah ibunya, tak lama kemudian ia segera berlari kecil menuju Akmal, Riski, dan Iwan yang berjarak sekitar seratus meter dari pondok.
Dari pondok Mara melihat Akmal suaminya, Riski dan Iwan masih nampak sibuk membabat dan membersihkan lahan yang dipenuhi tumbuhan ilalang. Lahan itu posisinya segi empat dan memanjang ke bagian barat. Lahan itu ia dapat dari Bundo kanduang yang bernama Mak Rao, yang tak memiliki keturunan perempuan.
Mak Rao hanya memiliki anak lelaki yang bernama Lebong, yang telah mengelola lahan itu untuk tanaman jagung lima tahun yang lalu. Setelah Mak Rao dan Lebong meninggal lahan itu terbengkalai karena tidak ada yang mengurus. Anak Lebong tidak berhak atas lahan itu, karena termasuk pusaka tinggi. Pusaka Tinggi hanya jatuh pada kemenakan dan tidak bisa diwariskan pada anak kandung.
Di sebelah Timur lahan itu merupakan rawa yang dipakai penduduk untuk tombak ikan lele dan kolam-kolam ikan lainnya. Di sebelah Utara berbatasan dengan parak Uniang Etek, di sebelah Selatan berbatasan dengan parak Uwo Ulah, dan di bagian barat lahan itu adalah bukit kecil yang bernama bukit Ajuang, di balik bukit Ajuang itu ada sawah penduduk yang menjadi batasan lahan tersebut.
Dari Mak Rao, Mara sering mendengar kisah tentang Bukit Ajuang, bukit itu jaman dahulu juga dikenal sangat angker dan mistis, penduduk yang datang ke atas bukit biasanya akan sakit keras. Hal inilah yang rupanya menjadi beban pikiran Mara, takut nanti kalau suaminya merambah ilalang di bagian Bukit Ajuang dan mengalami sakit keras.
Namun, Suaminya Riski dan Iwan sudah mencoba berkali-kali ke puncak bukit tapi tidak sakit, dan penduduk setempat juga sering berada di sana, di puncak bukit, terutama untuk menentukan posisi hilal pada saat memasuki bulan ramadhan, semua penduduk itu baik-baik saja, hal ini cukup mengusir rasa khuatirnya,
Waktu dahulu sekali menurut Mak Rao, emas dengan ukuran kuda pernah sesekali memperlihatkan wujudnya, keluar dari dasar bukit dan mandi di sebuah pancuran di Sigaung. Kejadiannya biasanya terjadi pada malam bulan purnama, jin yang menguasai emas itu membersihkan emas sehingga nampak berkilauan ditempa sinar rembulan.
Konon, emas itu berasal dari Raja Jawa yang terdampar tatkala berlayar menghindari banjir, saat itu kondisi lokasi terdamparnya kapal diprediksi masih menyatu dengan pantai ulakan, namun ada pula yang mengatakan bahwa Raja Jawa berlayar menghindari musibah banjir yang maha dahsyat pada waktu itu.
Sebanyak dua kapal yang berlayar membawa anggota kerajaan, kapal pertama membawa Baginda Raja sedangkan kapal kedua membawa permaisuri Raja. Kapal pertama yang membawa Raja terdampar di lokasi yang sekarang bernama Desa Ajuang, lalu kapal yang kedua pembawa permasuri terdampar di Desa Parak Tingga sejarak lebih kurang 3 kilometer dari lokasi Bukit Ajuang.