Senja merayap masuk ke jendela kamar kos Ari, menebarkan cahaya oranye yang hangat namun mengusik pikirannya yang sedang mendung. Di atas meja, buku-buku hukum berserakan, sebagian terbuka, sebagian sudah penuh coretan stabilo. Tapi kali ini, bukan soal pasal atau yurisprudensi yang memenuhi kepalanya. Ari duduk diam, merenung—tentang masa depan, tentang arah hidup setelah toga dilepas dari kepala.
Sebagai mahasiswa tingkat akhir di fakultas hukum, Ari tahu satu hal dengan pasti: dunia setelah wisuda tak akan ramah. Pilihan terbentang luas—menjadi jaksa, hakim, notaris, atau pengacara. Tapi di balik semua itu, Ari hanya ingin satu: menjadi orang yang bisa memperjuangkan keadilan untuk mereka yang tak punya suara. Hukum bukan hanya soal menang dan kalah di ruang sidang, tapi tentang keberanian membela yang benar, walau tak populer.
Sementara itu, di sekitarnya, satu demi satu teman-temannya mulai menjalin cinta, membuat rencana pernikahan, dan berbicara soal rumah masa depan. Ari hanya tersenyum. Ia tahu dirinya berbeda. Cinta bisa datang nanti. Tapi kesempatan membangun masa depan, jaringan, dan nama baik—hanya datang sekali. Ia memilih karier.
"Kalau nanti aku jadi pengacara," gumamnya pelan, "aku ingin dikenal bukan karena gaya hidupku, tapi karena keberanianku berdiri untuk yang tertindas."
Dan dari malam itulah, langkahnya dimulai—sendiri, teguh, dan penuh ambisi.
Ari tahu betul medan yang akan ia hadapi. Dalam pikirannya, menjadi jaksa, hakim, atau polisi bukan sekadar soal lulus seleksi atau mendapat nilai tinggi. Di era sekarang, bukan rahasia umum lagi bahwa banyak posisi di dunia hukum dan penegakan keadilan membutuhkan "jalur dalam"—koneksi dengan pejabat, kenalan petinggi, bahkan restu dari orang-orang yang memiliki kuasa.
Ia menghela napas panjang. Bukan karena iri, tapi karena sadar dirinya bukan bagian dari lingkaran itu. Ia membiayai kuliahnya sendiri sejak semester dua, dengan kerja sambilan dan bantuan beasiswa. Tak ada orang dalam. Tak ada uang pelicin. Yang ia punya hanyalah prinsip, mimpi, dan warisan moral dari satu sosok yang sangat ia hormati: ayahnya.
Ayah Ari adalah seorang abdi negara—intelijen yang hidup dalam bayang-bayang negara, bekerja dalam senyap, tapi memegang teguh kejujuran seperti napasnya sendiri. Sejak kecil, Ari dibesarkan dengan nilai-nilai yang tegas: pantang menerima suap, menjauhi kolusi, dan tidak menyentuh nepotisme. Bagi ayahnya, Indonesia tidak akan berubah kalau generasi berikutnya menyerah pada sistem yang busuk. Dan Ari menyerap itu semua, bukan karena takut, tapi karena ia percaya.
"Ayah nggak punya harta, tapi kamu punya nama baik. Jangan nodai itu," pesan ayahnya suatu malam, ketika Ari baru lulus SMA dan mengatakan ingin masuk fakultas hukum.
Dan kini, di tahun terakhir kuliahnya, Ari mulai benar-benar mengerti apa maksud kata-kata itu. Ia tahu, mungkin kariernya akan lebih sulit, lebih terjal. Tapi ia juga tahu: kalau ia bisa sampai ke puncak tanpa menjual prinsip, itulah kemenangan sejati.
Malam makin larut. Suara azan maghrib sudah lama berlalu, dan kamar kos itu hanya ditemani lampu belajar yang mulai redup. Tapi justru dalam keheningan itulah, tekad Ari tumbuh semakin kuat. Semua renungan, keresahan, dan nilai-nilai yang tertanam sejak kecil bermuara pada satu pilihan yang perlahan membentuk arah hidupnya.
Bukan jaksa, bukan hakim, bukan pula polisi.
Ia sadar, tanpa koneksi atau titipan, menembus jalur birokrasi institusi negara akan seperti menggenggam pasir di tengah angin. Tapi di luar sistem itu, masih ada satu jalan—satu profesi yang bisa dia perjuangkan dengan caranya sendiri, dengan idealismenya sendiri, dan dengan kebebasan menentukan siapa yang ingin ia bela: pengacara.
"Ya," ucap Ari pelan, namun mantap. "Saya akan jadi pengacara hebat."
Bukan sekadar pengacara yang menang perkara. Tapi pengacara yang berdiri untuk keadilan. Yang dikenal bukan karena orang dalam, tapi karena keberanian, integritas, dan konsistensi. Ia ingin membuat orang percaya lagi bahwa hukum bukan alat kekuasaan, tapi jalan menuju harapan.
Dan di lubuk hatinya yang terdalam, Ari tahu: suatu hari nanti, ada satu orang yang paling ingin ia buat bangga—anaknya. Walau bayangannya masih samar, meski saat itu ia belum tahu kapan akan menjadi seorang ayah, ia percaya: perjuangan ini akan berujung pada cinta yang tak akan pernah ia tinggalkan.
Langit malam di Bandar Lampung tampak tenang, hanya ditemani suara jangkrik dan gemerisik angin dari jendela kamar kos yang tak pernah benar-benar rapat. Di kamar sempit berukuran 3x4 meter itu, Ari—mahasiswa Fakultas Hukum semester akhir—duduk termenung.
Di atas meja belajarnya, lembaran-lembaran materi hukum pidana berserakan, namun pandangan matanya kosong. Pikirannya mengembara jauh, menembus dinding kamar, membayangkan hidup setelah wisuda nanti. Ia tahu waktunya sudah dekat. Tapi pertanyaan itu terus mengusik:
Akan jadi apa aku setelah ini?
Jaksa? Hakim? Polisi?
Ari menggeleng pelan. Di dalam hati kecilnya, ia tahu betul bahwa ketiga jalan itu bukan sekadar soal nilai atau kemampuan. Di zaman sekarang, masuk institusi negara adalah hal rumit. Banyak yang bilang: "Kalau nggak ada orang dalam, jangan berharap banyak."
Ari sadar, ia bukan anak siapa-siapa.
Ia membiayai kuliahnya sendiri. Menulis opini hukum di media lokal, kadang bekerja paruh waktu di kantor hukum kecil, atau jadi notulen saat seminar. Ia tak punya koneksi, tak punya kerabat pejabat, tak punya orang dalam. Hanya idealisme dan kenangan akan didikan ayahnya—seorang mantan intelijen negara yang hidup bersahaja di sudut kota Pringsewu.
Ayahnya selalu berkata,
"Jangan harap negara bersih, kalau kita sendiri mulai dari kotor. Kalau kamu mau jadi penegak hukum, jadilah yang berdiri di atas kebenaran. Bukan atas nama titipan."
Kalimat itu seperti mantra. Sejak kecil, Ari disuapi nilai-nilai kejujuran, pengorbanan, dan harga diri. Ia tahu, ia tak bisa berjuang di sistem yang tak bisa dia masuki tanpa menjual nurani.
Dan malam itu, di tengah kesunyian Bandar Lampung, Ari menemukan jawabannya.
Ia menatap dinding dengan tatapan penuh tekad.
"Saya akan jadi pengacara hebat," gumamnya mantap.
Ia tak butuh restu penguasa. Tak butuh jalur cepat. Ia ingin membangun nama dengan caranya sendiri—melalui kerja keras, pengetahuan, dan hati yang bersih. Ia ingin dikenal bukan karena siapa yang ia kenal, tapi karena siapa yang ia bela.
Keesokan harinya, Ari kembali ke kampus seperti biasa. Langit Bandar Lampung pagi itu agak mendung, tapi tidak menurunkan semangatnya. Ia datang lebih awal, membawa setumpuk berkas yang semalam ia susun rapi: permohonan perbaikan nilai untuk dua mata kuliah yang nilainya belum mencapai target, dan proposal skripsi yang telah ia revisi berkali-kali.
Di dalam hati, ia tahu, waktu bukan lagi untuk ditunda.
Langkahnya menyusuri koridor kampus penuh tekad. Satu demi satu ia datangi dosennya, dengan tutur kata sopan dan argumen yang kuat. Ia bukan mahasiswa yang pintar bicara kosong, tapi tahu kapan harus tegas dan kapan harus menunduk.
"Pak, saya mohon diberi kesempatan revisi. Saya tidak ingin nilai ini jadi penghambat untuk skripsi saya," ucapnya mantap di ruang dosen.
Sang dosen hanya mengangguk pelan, menandatangani lembar form revisi, dan menatap Ari dengan senyum tipis. "Kamu termasuk yang nggak nyerah, Ri. Terusin ya. Jangan setengah-setengah."
Ari membalas dengan anggukan hormat. Ia tahu betul, perjuangan ini bukan sekadar soal nilai. Ini soal pembuktian bahwa anak biasa bisa lulus luar biasa. Bahwa tanpa koneksi, tanpa fasilitas mewah, seseorang tetap bisa berdiri sejajar—dengan kerja keras dan hati yang jujur.
Setelah urusan revisi nilai beres, ia menuju ruang program studi. Proposal skripsinya kini berada dalam map merah yang nyaris lusuh. Judulnya berani: "Korupsi Struktural dalam Pemerintahan Lokal: Studi Analisis Kritis terhadap Mekanisme Pengawasan Internal."
Judul itu ia pilih bukan tanpa alasan. Korupsi adalah racun bangsa. Dan dari bangku mahasiswa, ia ingin mulai bicara. Bukan sekadar untuk lulus. Tapi sebagai janji awal perjuangannya di dunia hukum.
Dan hari itu, langkah Ari terasa lebih ringan. Bukan karena masalahnya hilang, tapi karena hatinya telah mantap: ia sedang berjalan ke arah yang ia pilih sendiri.
Namun hidup tak selalu menyambut niat baik dengan mulus.
Proposal skripsi Ari yang sudah ia siapkan dengan penuh riset dan referensi literatur kembali ditolak. Ini kali ketiga dosennya memberi catatan, bukan soal substansi, tapi alasan-alasan yang tidak jelas: kurang aktual, terlalu berani, belum sesuai arahan institusi.
"Coba ganti topik yang lebih ringan saja, Ri. Ini terlalu politis," ujar dosen pembimbingnya sambil menyeruput kopi di ruang dosen.
Ari menunduk, menahan kecewa. Tapi ia tak menyerah.
Hari-hari berikutnya ia habiskan di perpustakaan kampus. Ia menelaah ulang semua referensi, membandingkan metode, memoles argumen. Setiap halaman yang ia baca adalah langkah baru dalam perjuangannya. Tapi kelelahan fisik mulai menghampiri. Matanya sayu, pundaknya tegang, dan waktu istirahat makin sedikit.
Beberapa teman wanitanya mulai menyadari kehadirannya yang berbeda. Ari bukan tipe yang sok pintar, tapi cerdas. Ia bukan yang banyak bicara, tapi ketika bicara—selalu masuk akal dan tegas.
"Ari itu cowok keren ya. Kalem, tapi kelihatan punya tujuan hidup," bisik salah satu mahasiswi ke temannya saat melihat Ari di kantin sendirian sambil membaca jurnal.
Beberapa dari mereka mulai mencari-cari kesempatan untuk bicara, sekadar mengajak diskusi atau menawarkan bantuan. Tapi Ari tetap menjaga jarak. Ia menjawab sopan, tak pernah kasar, tapi tak juga memberi ruang untuk mendekat.
Baginya, cinta bisa menunggu. Tapi masa depan tidak.
Ia tahu betul, masa muda hanya datang sekali. Dan kalau ia ingin jadi pengacara yang dikenal karena kualitas, bukan karena titipan, maka ini adalah saatnya menabur benih.
Di tengah kelelahan, penolakan, dan godaan yang datang tanpa diundang, Ari tetap memilih satu jalan: jalan menuju impiannya. Dan ia tak akan membiarkan apa pun mengalihkan fokusnya.
Karena ia bukan sedang mengejar gelar.
Ia sedang membangun takdir.
Di tengah kelelahan yang memuncak, Ari masih datang ke kampus seperti biasa. Ransel lusuhnya penuh kertas-kertas catatan skripsi yang terus ditolak. Tatapannya mulai sering kosong. Hanya kopi dan tekad yang membuatnya tetap berjalan.
Suatu sore di perpustakaan fakultas, ia menemukan secarik kertas terselip di dalam bukunya yang tertinggal sehari sebelumnya. Tulisannya halus dan rapi. Wangi lembut dari parfum kertas itu menyiratkan bahwa pengirimnya bukan sembarang teman sekelas.
"Halo, Ari. Maaf kalau surat ini mengganggu. Aku sering lihat kamu belajar sendirian, dan menurutku kamu orang yang sangat serius dan punya semangat yang langka. Aku dari Fakultas Ekonomi. Kalau kamu berkenan, aku ingin kenal lebih jauh. Tapi kalau tidak, tidak apa-apa. Tetap semangat ya. —Seseorang yang kagum diam-diam."
Ari terdiam sesaat. Ditatapnya kertas itu tanpa ekspresi. Hatinya sebetulnya hangat sesaat—diakui, dihargai. Tapi kemudian, seperti refleks, ia lipat surat itu perlahan dan masukkan ke dalam saku ranselnya. Tidak dibalas. Tidak dicari siapa pengirimnya.
Bukan karena ia sombong. Bukan karena dia tidak bisa membalas perhatian.
Tapi pikirannya terlalu penat. Hari-harinya hanya diisi oleh kegagalan akademik, tekanan hidup, dan rasa khawatir akan masa depan. Setiap kali mengingat proposalnya ditolak, seakan-akan dunia menolaknya untuk menjadi besar. Untuk sukses. Untuk membuktikan diri pada dunia—dan pada anaknya kelak.
Ari hanya menarik napas dalam, menatap langit sore dari jendela kampus.
"Maaf," bisiknya lirih, entah pada siapa.