Pagi itu, udara di sekitar kampus Bandar Lampung terasa segar, namun hati Ari bergolak dengan perasaan campur aduk. Ia tiba lebih awal, mengenakan pakaian rapi dan membawa berkas skripsi yang sudah ia siapkan dengan sebaik mungkin. Di dalam tasnya, tersimpan harapan besar yang selama ini ia bangun dengan kerja keras dan kegigihan.
Di ruang tunggu ujian skripsi, Ari berdiri di antara puluhan mahasiswa lain yang sama-sama menanti giliran dipanggil. Suasana begitu tegang, wajah-wajah penuh cemas dan doa terpancar dari setiap sudut ruangan. Beberapa mahasiswa terlihat sibuk mengulang-ulang catatan mereka, ada yang menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam, sementara yang lain sibuk berbisik satu sama lain.
Ari mencoba menenangkan diri dengan menarik nafas panjang, tapi detak jantungnya tetap cepat tak beraturan. Ia duduk di pojok ruangan, memeriksa kembali poin-poin penting yang akan ia sampaikan. Namun matanya sesekali melirik ke pintu ruang ujian, berharap segera dipanggil. Di sana, terdengar suara dosen sedang mengajukan pertanyaan kepada mahasiswa yang tengah diuji. Suara itu membuat suasana semakin nyata, betapa berat dan pentingnya momen yang akan segera dihadapinya.
Waktu berjalan begitu lambat. Ari memperhatikan beberapa mahasiswa keluar dari ruang ujian dengan ekspresi yang berbeda-beda — ada yang tersenyum lega, ada pula yang terlihat sedih dan kecewa. Hal itu semakin menambah beban di pundaknya. Ia tahu, ujian ini bukan sekadar formalitas, tapi juga pertaruhan masa depan yang selama ini ia perjuangkan.
Ketika namanya akhirnya dipanggil, Ari berdiri dengan tubuh sedikit gemetar. Ia mengumpulkan seluruh keberanian yang tersisa, menatap wajah para dosen penguji yang sudah siap dengan catatan dan pertanyaan tajam. Langkahnya menuju ruang ujian terasa berat, tapi tekadnya tetap kuat. Hari ini adalah ujian terbesar dalam hidupnya, sebuah tantangan yang akan menentukan apakah perjuangannya selama ini berbuah manis atau tidak.
Di dalam ruang sidang, tiga dosen penguji duduk dengan ekspresi serius. Salah satunya membuka naskah skripsi Ari yang telah penuh coretan tinta merah.
"Langsung saja," ujar Dosen Penguji 1. "Skripsi Anda berjudul Analisis Yuridis Surat Kuasa Khusus antara Klien dan Advokat. Dari judulnya saja, kami sudah punya banyak pertanyaan. Tapi mari kita mulai dari landasan hukum yang Anda pakai."
Ari mengangguk. "Saya menggunakan KUHPerdata Pasal 1792 sampai dengan 1819, serta Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, terutama Pasal 15 dan 16 yang mengatur tentang fungsi dan tanggung jawab advokat dalam menjalankan kuasa hukum..."
"Stop," potong Dosen Penguji 2. "Itu dasar umum. Semua mahasiswa hukum tahu itu. Yang kami ingin tahu, di mana letak analisis yuridis-nya? Di mana letak kebaruan penelitianmu?"
Ari diam. Ia membuka-buka catatannya, tapi pikirannya berkabut.
Dosen Penguji 3 melanjutkan, "Kamu menulis bahwa 'surat kuasa khusus merupakan bukti perikatan formal antara klien dan advokat'. Bukankah ini terlalu dangkal? Mana pendekatan yuridis normatifnya? Mana komparatifnya? Mana kasus nyatanya?"
"Saya... saya mencoba mengangkat perspektif peran surat kuasa khusus tidak hanya sebagai dokumen hukum administratif, tapi juga sebagai manifestasi dari kepercayaan antara dua pihak..."
"Kalau cuma bicara 'kepercayaan', lebih baik kamu ambil jurusan Psikologi, bukan Hukum," cetus Dosen Penguji 1 tajam. Tawa tipis terdengar dari salah satu sudut ruangan, mungkin dari penguji tamu.
Ari terdiam. Napasnya sesak. Tapi ia tidak boleh mundur.
"Bab 3 ini," ujar Dosen Penguji 2 sambil mengangkat lembar yang penuh coretan, "kamu mengutip banyak sekali dari jurnal, tapi tidak ada satu pun studi lapangan. Kamu bilang pernah ikut magang di tiga kantor pengacara. Mana aplikasinya? Mana pengalaman nyatamu yang dimasukkan ke analisis?"
Ari mengangguk. "Saya... memang belum membuat studi lapangan yang formal, karena waktu penyusunan skripsi bersamaan dengan masa sidang perkara yang cukup kompleks..."
"Lantas, kenapa tidak minta perpanjangan waktu? Kenapa tidak buat lampiran? Kamu kira teori dan kenyataan bisa berdiri sendiri? Ini hukum, Ari. Bukan opini pribadi!"
Ari menarik napas panjang. Ia mencoba tetap tenang. "Saya ingin menjadikan skripsi ini sebagai ruang refleksi, Pak. Dari apa yang saya alami saat mendampingi para pengacara senior, saya mulai memahami bahwa surat kuasa khusus bukan hanya soal formalitas hukum, tapi juga soal bagaimana tanggung jawab advokat terhadap moral, terhadap nurani..."
"Nurani?" Dosen Penguji 3 tersenyum sinis. "Kamu bicara nurani di sidang akademik? Ini bukan ceramah agama, Ari. Ini ujian hukum. Bicara dengan presisi, bukan perasaan."
Ari menunduk. Tapi ia tak menyerah. "Justru itu, Bu. Saya percaya hukum akan kehilangan jiwanya bila kita tidak menghidupkannya dengan nurani. Dan saya ingin skripsi ini menjadi pengingat bahwa hukum bukan sekadar teks, tapi amanah..."
"Lalu kamu mau lulus dengan amanah atau dengan data? Kami di sini bukan untuk menilai moral kamu, tapi metodologi kamu. Jangan terjebak pada retorika!"
Ari mengangguk lagi, kali ini lebih pelan. Ia merasa seolah dihantam dari berbagai penjuru. Tapi dalam dadanya, sesuatu tetap menyala—keyakinan bahwa apa yang ia tulis bukan semata-mata untuk lulus. Tapi untuk menyuarakan kebenaran dari sisi yang mungkin tak populer di ruang sidang akademik: hati nurani.
Sidang masih berlangsung. Dosen terus membuka halaman demi halaman, membacakan kutipan, mengkritik struktur, mempertanyakan keaslian analisis, mencela kurangnya data sekunder.
Namun Ari bertahan. Meski gemetar. Meski hati dan pikirannya terasa diperas habis-habisan. Ia tahu, ini bukan akhir. Ini hanya ujian. Dan ujian sejati bukan hanya tentang lulus atau tidak, tapi tentang apakah seseorang tetap bisa berdiri tegak—meski dikelilingi keraguan, tekanan, dan ketidakadilan.
Di luar ruang, langit mulai mendung. Tapi di dada Ari, masih ada cahaya kecil yang terus menyala.