Kembali ke Pelukan Ayah

Muhammad Ari Pratomo
Chapter #4

Bab 4: Menapak Jalan Baru: Awal Perjuangan di Ibu Kota

Hari itu, sebelum memulai perjalanan ke Jakarta, Ari melangkah mantap menuju kampusnya. Dengan perasaan campur aduk antara harap dan cemas, ia mengurus transkrip nilai dan ijazah sementara sebagai syarat administrasi wisuda yang akan segera tiba. Suasana kampus terasa hangat dan penuh kenangan—tempat di mana ia melewati perjuangan tanpa henti selama ini.

Petugas administrasi kampus menyambut Ari dengan ramah, memproses dokumen-dokumen yang ia butuhkan. Sambil menunggu, Ari duduk di bangku taman kampus, memandang sekeliling yang familiar, mengingat setiap malam yang ia habiskan untuk menyelesaikan skripsi, setiap diskusi panjang dengan dosen pembimbing, serta nasihat bijak dari para pengacara yang membimbingnya.

Setelah semuanya selesai, Ari membawa berkas-berkas itu pulang ke kosnya. Ia menatap berkas-berkas di tangannya dengan rasa bangga dan lega, meskipun perjalanan masih panjang di depan. Hari-hari berikutnya akan menjadi saatnya mempersiapkan diri untuk langkah besar berikutnya.

Ketika waktu wisuda semakin dekat, dengan hati yang penuh haru dan semangat membara, Ari pun akhirnya bersiap meninggalkan kampung halamannya. Ia menaiki bis Damri menuju pelabuhan Bakauheni, memulai perjalanan panjang yang membawanya melewati lautan dan berbagai tantangan menuju Jakarta, kota penuh peluang dan cerita baru yang menantinya.

Di atas kapal laut yang membawa dari Bakauheni ke Merak, Ari duduk termenung. Suara ombak dan hembusan angin laut menemani pikirannya yang melayang, membayangkan masa depan yang ia cita-citakan. Perjalanan ini bukan sekadar perpindahan tempat, tapi simbol dari perjuangan dan mimpi yang sedang ia kejar dengan sepenuh hati.

Sesampainya di Pelabuhan Merak, Ari merasakan udara baru yang penuh dengan aroma harapan dan tantangan. Dengan langkah mantap, ia melanjutkan perjalanannya naik kereta dan angkutan umum menuju Depok, tempat Universitas Indonesia berada. Pilihannya jatuh pada kawasan yang tak jauh dari kampus UI—agar ia bisa dengan mudah mengakses perkuliahan profesi advokat yang akan segera dimulai.

Setibanya di Depok, Ari mulai mencari kosan sederhana namun nyaman. Ia menelusuri gang-gang kecil dan menanyakan ke beberapa warga sekitar. Meskipun belum memiliki banyak modal, Ari tetap bertekad mendapatkan tempat tinggal yang layak untuk menata hidup dan memfokuskan diri pada studinya.

Akhirnya, ia menemukan sebuah kamar kos kecil dengan dinding bercat putih dan jendela menghadap ke taman kecil. Pemilik kos, seorang ibu ramah, menyambut Ari dengan senyum hangat. Harga sewa yang terjangkau menjadi angin segar bagi Ari yang masih harus berhemat untuk kebutuhan lain.

Di kosan barunya itu, Ari menata barang-barangnya seadanya. Walau sederhana, kamar itu menjadi saksi awal perjalanan baru yang penuh perjuangan dan semangat. Setiap sudutnya mengingatkan Ari pada janji dirinya sendiri untuk tidak menyerah dan terus berjuang demi masa depan yang lebih baik.

Dengan kosan yang kini menjadi tempat berlindung dan belajar, Ari pun mulai membayangkan perjalanan panjang sebagai mahasiswa profesi advokat di ibu kota. Sebuah babak baru yang penuh tantangan, tapi juga kesempatan yang tak akan ia sia-siakan.

Setelah menetap di kosan kecilnya di Depok, Ari mulai menata rutinitas barunya. Setiap pagi, dia membuka buku-buku hukum dan menyusun catatan skripsinya yang kini mulai memasuki tahap akhir. Namun, dia tahu bahwa untuk menjadi advokat yang sesungguhnya, teori saja tidak cukup. Ia harus memperdalam ilmu lewat praktik nyata.

Dengan tekad kuat, Ari mulai menelusuri kawasan perkantoran di Jakarta dan sekitarnya, mencari kantor pengacara yang bersedia menerima dirinya sebagai magang atau asistennya. Ia mengunjungi gedung-gedung bertingkat yang menjulang di pusat kota, dari satu kantor ke kantor lain, menawarkan diri dan menjelaskan niatnya untuk belajar dan bekerja keras.

Sayangnya, satu per satu pintu tertutup rapat di hadapannya. Beberapa pengacara menolak dengan alasan tidak ada kuota magang, yang lain bilang mereka sudah penuh dengan staf, dan ada pula yang sekadar mengabaikan Ari begitu saja. Penolakan demi penolakan itu mulai melelahkan hati Ari.

Namun, ia tak menyerah. Setiap kali langkahnya terhenti oleh pintu yang tertutup, ia mengingat kembali pesan dari ketiga pengacara yang telah membimbingnya dulu, dan juga nasehat Kang Hasan tentang pentingnya kesabaran dan keikhlasan dalam berjuang.

Di sela-sela pencariannya, Ari tetap disiplin menjalani kuliah profesi advokat dan terus menyelesaikan skripsinya dengan penuh semangat. Ia tahu, perjalanan ini tidak mudah, tapi ia yakin kerja keras dan ketulusan hatinya akan membuka jalan suatu saat nanti.

Hari demi hari berlalu dengan perjuangan dan penolakan yang tak kunjung reda. Namun dalam setiap kegagalan, Ari belajar lebih banyak tentang keteguhan, keuletan, dan arti sebenarnya dari sebuah perjuangan. Ini bukan hanya tentang mencari pekerjaan, tapi membentuk diri menjadi sosok pengacara yang kelak bukan hanya pintar secara hukum, tapi juga kuat secara jiwa.

Meski diterpa rintangan, semangat Ari tetap membara. Ia yakin, suatu saat pintu yang tepat akan terbuka, dan dia akan melangkah masuk bukan sekadar sebagai pelajar, tapi sebagai pejuang keadilan sejati.

Hari-hari Ari di Jakarta semakin penuh tantangan. Setelah menetap di kosan sederhana di Depok, setiap pagi ia bergegas meninggalkan kamar kecilnya dengan membawa tas berisi dokumen, buku hukum, dan secangkir kopi seadanya. Dengan tekad bulat, Ari mulai menyusuri jalanan Jakarta yang padat dan berdebu, menuju gedung-gedung tinggi yang menjadi pusat kantor pengacara ternama.

Namun, kenyataan tidak semanis harapannya. Di tiap pintu kantor yang dibukanya, Ari disambut dengan tatapan dingin atau kalimat penolakan yang hampir sama. "Maaf, kami tidak membuka lowongan magang sekarang," kata seorang resepsionis dengan sopan namun tegas. Di tempat lain, seorang sekretaris menolak dengan alasan "Tim kami sudah penuh, mungkin lain waktu."

Ari mencoba menjelaskan latar belakangnya—lulusan sarjana hukum dengan pengalaman magang di beberapa kantor pengacara, serta semangat belajar yang tinggi—namun kata-kata itu seakan tenggelam dalam kesibukan mereka yang tak punya waktu. Beberapa kali ia bertemu dengan pengacara yang terkesan sibuk dan tidak memperhatikannya sama sekali.

Setiap penolakan yang ia terima seolah menambah beban di dadanya. Di tengah hiruk-pikuk kota besar yang serba cepat, Ari merasa seperti batu kecil yang terhimpit di antara reruntuhan gedung-gedung tinggi. Malamnya, ia duduk termenung di kamar kos yang sederhana, menatap langit-langit sambil bertanya dalam hati, “Apakah aku benar-benar layak?”

 

Namun, kelelahan dan kesedihan itu tak mampu memadamkan api semangatnya. Ari selalu teringat pesan dari Kang Hasan, Mas Ratno, dan Pak Agusman yang mengajarinya bahwa perjuangan adalah guru terbaik. Ia tahu, sulitnya mencari tempat belajar dan berpraktik bukanlah tanda untuk berhenti, melainkan ujian untuk membuktikan ketulusan dan kesungguhan.

Dengan langkah yang tak pernah menyerah, esoknya Ari kembali melangkah ke jalanan Jakarta. Penolakan demi penolakan tetap ia terima, tapi keyakinan dalam hatinya semakin kuat: suatu hari, pintu yang tepat akan terbuka, dan di situlah ia akan menorehkan kisahnya sebagai pengacara sejati.

Hari-hari Ari di Jakarta semakin penuh tantangan. Setelah menetap di kosan sederhana di Depok, setiap pagi ia bergegas meninggalkan kamar kecilnya dengan membawa tas berisi dokumen, buku hukum, dan secangkir kopi seadanya. Dengan tekad bulat, Ari mulai menyusuri jalanan Jakarta yang padat dan berdebu, menuju gedung-gedung tinggi yang menjadi pusat kantor pengacara ternama.

Namun, kenyataan tidak semanis harapannya. Di tiap pintu kantor yang dibukanya, Ari disambut dengan tatapan dingin atau kalimat penolakan yang hampir sama. "Maaf, kami tidak membuka lowongan magang sekarang," kata seorang resepsionis dengan sopan namun tegas. Di tempat lain, seorang sekretaris menolak dengan alasan "Tim kami sudah penuh, mungkin lain waktu."

Ari mencoba menjelaskan latar belakangnya—lulusan sarjana hukum dengan pengalaman magang di beberapa kantor pengacara, serta semangat belajar yang tinggi—namun kata-kata itu seakan tenggelam dalam kesibukan mereka yang tak punya waktu. Beberapa kali ia bertemu dengan pengacara yang terkesan sibuk dan tidak memperhatikannya sama sekali.

Setiap penolakan yang ia terima seolah menambah beban di dadanya. Di tengah hiruk-pikuk kota besar yang serba cepat, Ari merasa seperti batu kecil yang terhimpit di antara reruntuhan gedung-gedung tinggi. Malamnya, ia duduk termenung di kamar kos yang sederhana, menatap langit-langit sambil bertanya dalam hati, “Apakah aku benar-benar layak?”

Namun, kelelahan dan kesedihan itu tak mampu memadamkan api semangatnya. Ari selalu teringat pesan dari Kang Hasan, Mas Ratno, dan Pak Agusman yang mengajarinya bahwa perjuangan adalah guru terbaik. Ia tahu, sulitnya mencari tempat belajar dan berpraktik bukanlah tanda untuk berhenti, melainkan ujian untuk membuktikan ketulusan dan kesungguhan.

Dengan langkah yang tak pernah menyerah, esoknya Ari kembali melangkah ke jalanan Jakarta. Penolakan demi penolakan tetap ia terima, tapi keyakinan dalam hatinya semakin kuat: suatu hari, pintu yang tepat akan terbuka, dan di situlah ia akan menorehkan kisahnya sebagai pengacara sejati.

Di pagi yang mendung, Ari mengenakan kemeja terbaik yang ia punya—warna biru laut yang mulai pudar karena sering dicuci. Sepatunya tak lagi mengilap, tapi ia menyemirnya dengan sisa semangat yang masih ia punya. Ia tahu, hari itu adalah hari penting. Sebuah firma hukum besar di bilangan Sudirman membuka lowongan asisten magang. Nama firma itu sudah dikenal seantero negeri—pengacaranya sering tampil di televisi dan menangani kasus-kasus kelas kakap.

Ari tiba lebih awal, duduk di lobi mewah dengan langit-langit tinggi dan lantai marmer dingin yang memantulkan langkah-langkah para eksekutif. Jantungnya berdegup keras saat namanya dipanggil.

“Mr. Muhammad Ari Pratomo, please come in.”

Di dalam ruangan, seorang pengacara senior duduk dengan jas mahal, didampingi dua orang staf HR yang membawa berkas-berkas lamaran.

“So, Mr. Ari,” kata sang pengacara dengan logat Barat yang kental. “Tell us about your legal background.”

Ari tersenyum kaku. Ia mengangguk pelan, mencoba menahan gugup. Ia menjawab dengan bahasa Inggris yang terbata-bata, “I… come from Lampung. I was… intern in three legal office… I learn about… um… legal document, legal aid, and litigation…”

Salah satu staf HR tampak menahan senyum, yang lain hanya menunduk. Ari tahu pelafalannya buruk. Ia tahu kata-katanya berantakan. Tapi ia juga tahu, ini bukan saatnya menyerah. Ia terus menjawab, meskipun lidahnya terasa kaku dan pikirannya berputar cepat.

Pengacara senior itu menyela, “How is your legal writing in English? Can you make an agreement draft in English?”

Ari menarik napas dalam. “I will try, Sir. I can learn… and I work hard. Very hard.”

Ada jeda. Sebuah keheningan yang menggantung. Lalu, kalimat itu keluar.

“Thank you, Mr. Ari. We appreciate your effort. But we’re looking for someone who already fluent. Good luck for your next opportunity.”

Ari tersenyum sopan. “Thank you, Sir.” Lalu ia keluar ruangan dengan kepala tertunduk.

Di koridor, Ari berjalan perlahan. Setiap langkah terasa berat. Rasa malu, kecewa, dan hampa berkelindan di dada. Namun ia tetap berjalan. Di luar gedung, angin Jakarta meniup wajahnya yang basah oleh peluh dan sedikit air mata yang tak bisa ditahan. Ia berdiri di pinggir jalan, memandangi keramaian ibukota, lalu duduk sebentar di halte terdekat.

Dalam hati, ia bicara kepada dirinya sendiri. “Bukan karena aku bodoh. Tapi aku belum siap. Dan aku akan belajar sampai aku pantas.”

Hari itu, Ari kembali ke kosan. Ia menulis semua pertanyaan wawancara dalam bahasa Inggris dan mencari artinya satu per satu. Dengan kamus di tangan dan tekad di dada, ia tidak berhenti. Sebab ia tahu: kegagalan hari ini adalah pijakan menuju kemenangan esok.

Malam itu hujan turun pelan di jendela kecil kamar kos Ari. Lampu temaram menyorot wajahnya yang tertunduk di meja kayu lapuk. Tumpukan surat lamaran yang ia kirim ke berbagai kantor pengacara ternama masih berserakan. Semua tanpa jawaban. Beberapa bahkan dikembalikan, tanpa dibuka.

Bekal uang hasil penjualan motor RX-King kesayangannya pun makin menipis. Di dompetnya, hanya tersisa uang pas-pasan untuk bertahan beberapa hari ke depan. Hari-harinya di Jakarta terasa semakin sunyi, semakin berat. Setiap malam ia menghitung sisa hari sebelum benar-benar tak punya uang lagi untuk makan.

Dengan lelah, ia menyalakan air panas di termos listrik kecil pinjaman dari tetangga kos. Ia menuang kopi sachet terakhir ke gelas plastik bening, lalu duduk sambil memandangi dinding kamar yang penuh coretan motivasi yang ia tulis sendiri.

Di antara tumpukan koran bekas yang digunakan sebagai alas meja, matanya tiba-tiba menangkap sepotong iklan kecil di pojok halaman. Potongan koran itu semula hanya akan ia jadikan alas gelas. Tapi tulisan tebal itu menghentikan gerakannya.

“Pendaftaran Terbuka: Pendidikan Profesi Advokat (PERADI) – Fakultas Ilmu Komunikasi UI, Depok – Gelombang Terakhir Tahun Ini!”

Ari menegakkan punggungnya. Ditatapnya potongan koran itu dengan penuh harap dan keraguan sekaligus. Matanya berkaca-kaca. Sebuah cahaya seperti menyala kembali dalam pikirannya. Ia membaca ulang kalimat itu tiga kali, memastikan bahwa ini bukan ilusi dari rasa lapar dan letih yang menumpuk.

Tangannya bergetar saat ia mengambil pulpen dan menyalin informasi pendaftaran di sobekan kertas kecil.

“Gedung Komunikasi UI, Depok. Mulai Senin depan.”

Hatinya dipenuhi pertanyaan:

Apakah uangnya cukup? Bagaimana kalau tidak lulus seleksi? Apakah ini terlalu nekat?

Namun satu hal yang ia tahu: jika ia tidak mencoba, ia akan menyesal seumur hidup.

Ari berdiri. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, wajahnya memancarkan keyakinan. Hujan di luar masih turun perlahan. Tapi di dalam dadanya, badai keyakinan sedang membesar.

Ia berkata pelan pada dirinya sendiri, “Aku belum selesai. Ini mungkin jalan terakhir, tapi bisa jadi jalan terbaik.”

Pagi itu, langit Depok masih redup, kabut tipis menyelimuti halaman depan kampus UI. Ari berdiri di depan gedung Fakultas Ilmu Komunikasi, menggenggam map biru kusam berisi fotokopi KTP, pas foto, dan lembar transkrip nilai sementaranya. Wajahnya pucat, tapi matanya menyimpan tekad. Ia sudah menulis ulang kalimat pembuka di kepalanya puluhan kali. Hari ini adalah hari penentuan—apakah ia bisa ikut Pendidikan Profesi Advokat (PPA) atau harus pulang ke kampung halaman sebagai pecundang yang tak jadi sarjana hukum utuh.

Langkahnya berat saat menaiki tangga lantai dua. Di ujung lorong, sebuah meja registrasi dijaga oleh dua panitia muda berseragam rapi. Di samping meja, ada banner besar bertuliskan “PENDIDIKAN PROFESI ADVOKAT PERADI – UI” dengan logo resmi dan wajah-wajah alumni yang tersenyum penuh kemenangan. Ari menelan ludah. Ia tidak punya kemenangan apa-apa hari ini—yang ia punya hanya keberanian untuk memohon.

“Selamat pagi, Mas. Ada yang bisa kami bantu?” tanya salah satu panitia, tersenyum sopan.

Ari mengangguk pelan, lalu menjawab dengan suara yang bergetar namun sopan, “Maaf, saya sangat ingin ikut PPA ini. Nama saya Muhammad Ari Pratomo. Saya baru lulus, tapi ijazah saya masih proses. Bisa tidak saya tetap ikut dan ijazahnya menyusul?”

Panitia itu tampak ragu, membuka map formulir di depannya, lalu mengernyit. “Hmm, salah satu syarat utama memang harus sudah lulus dan ada fotokopi ijazah. Kalau belum ada, berarti belum bisa ikut gelombang ini, Mas.”

Ari menghela napas dalam. Tapi ia tak menyerah.

“Saya punya transkrip nilai resmi dari fakultas. Wisuda saya bulan depan. Saya bersumpah akan menyerahkan ijazah asli segera setelah keluar. Mohon... saya tidak punya waktu lagi. Ini satu-satunya gelombang tahun ini.”

Panitia lain bergumam pelan, lalu meminta Ari menunggu sebentar karena harus berkonsultasi dengan koordinator.

Beberapa menit kemudian, seorang pria berkemeja putih dan berjas hitam keluar dari ruangan dalam. Ia adalah Pak Seno, Koordinator Pendaftaran. Pria itu berwibawa dan matanya tajam. Ia menatap Ari dari atas ke bawah seolah menilai mental dan niatnya dalam satu tatapan.

“Apa betul Anda belum punya ijazah dan belum bayar penuh?” tanyanya to the point.

“Iya, Pak. Saya... saya tidak punya cukup uang. Saya hanya minta dibolehkan mencicil. Satu juta sekarang, sisanya menyusul. Saya akan cari kerja sambilan. Tapi saya mohon... jangan tolak saya hanya karena uang. Saya tidak minta gratis. Saya hanya minta kesempatan.”

Pak Seno diam sejenak. Tangannya menyilang di dada. Matanya memandang jauh ke arah lorong kampus seakan menimbang beban permintaan yang sederhana tapi berat ini. Lalu ia berjalan pelan ke dekat Ari dan berkata:

“Kamu tahu berapa banyak yang seperti kamu datang tiap tahun? Janji ini-itu, akhirnya tak menepati. Kalau kami lunak ke satu orang, yang lain akan menuntut hal yang sama. Ini sistem, bukan soal kasihan.”

Ari menggigit bibirnya. Tapi ia tak kehabisan akal.

“Pak... kalau saya mundur hari ini, saya tidak punya pilihan lain. Saya anak seorang sopir truk. Saya jual motor satu-satunya untuk datang ke Jakarta. Tapi saya tidak mau hidup dengan rasa menyesal karena tidak mencoba. Jika saya tak bisa dipercaya, coret saya dari daftar kapan pun. Tapi beri saya kesempatan untuk membuktikan... saya layak jadi advokat.”

Hening sejenak. Bahkan suara angin pun terdengar lewat jendela lorong.

Pak Seno memandang wajah Ari yang bersih dan serius. Lalu ia menarik napas panjang dan akhirnya berkata pelan, “Kalau kamu berani janji begitu, saya pun berani ambil risiko untukmu.”

Ari menatap penuh harap.

“Kamu diterima... dengan catatan. Buat surat pernyataan di atas materai hari ini juga. Ijazah menyusul maksimal tiga minggu. Cicilan harus lunas dalam dua bulan. Jika lewat, kamu otomatis keluar.”

Air mata Ari hampir menetes.

“Terima kasih, Pak. Sungguh... terima kasih banyak... saya tidak akan mengecewakan Bapak.”

Pak Seno hanya mengangguk, lalu kembali ke ruangannya. Ari pun menoleh ke dua panitia yang sekarang tersenyum padanya dengan rasa hormat. Salah satu dari mereka berkata pelan, “Jarang ada yang berani bicara seperti kamu.”

Hari itu, Ari menulis surat pernyataan dengan tangannya sendiri. Ia membubuhkan tanda tangan di atas materai sambil menggigil, bukan karena dingin, tapi karena seluruh hidupnya terasa bergantung pada secarik kertas itu. Dan ketika ia menyerahkan formulir pendaftaran, ia tahu: perjuangannya belum selesai. Tapi untuk pertama kalinya sejak ia datang ke Jakarta, jalan di depannya terbuka meski hanya sedikit.

Langkah kecil itu menjadi awal dari langkah besar yang akan mengubah hidupnya.

Hari pertama di kelas PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat) itu, udara Depok terasa lebih panas dari biasanya. Ari bangun lebih awal dari biasanya di kamar kosnya yang sempit dan hanya muat satu kasur tipis, meja lipat kecil, dan gantungan baju. Kemeja putih yang ia setrika semalam telah digantung dengan rapi di dinding. Celana hitam satu-satunya yang masih layak pakai telah disiapkan, meski bagian ujungnya sedikit robek dan sudah dijahit ulang.

Ari berdiri di depan kaca kecil yang menempel di lemari plastik, menyisir rambutnya sambil memandangi bayangan dirinya sendiri. “Hari ini langkah baru, Ri,” gumamnya. Ia tersenyum tipis. Meskipun dompetnya hanya berisi uang sisa seadanya, tekadnya tetap penuh.

Sesampainya di gedung Fakultas Hukum tempat kelas PKPA berlangsung, Ari melihat puluhan peserta lainnya sudah berkumpul di depan aula. Mereka terlihat berbeda. Kebanyakan mengenakan pakaian bermerk, sepatu kulit mengilap, bahkan beberapa membawa mobil sendiri dan berbicara dengan logat ibu kota. Ari menunduk pelan, merasa kecil dengan sepatu tuanya yang warnanya sudah pudar dan tas selempang yang mulai sobek di sudutnya.

Namun ia cepat-cepat menguatkan diri. Ia tahu dirinya datang bukan untuk gaya, tapi untuk belajar. Untuk menjadi seseorang. Untuk menepati janji kepada ayahnya—bahwa ia akan menjadi sarjana hukum yang tak hanya lulus, tapi juga layak membela keadilan.

Di dalam aula, suasana terasa tegang sekaligus menyenangkan. Suara derap sepatu, denting gelas kopi dari meja panitia, dan tawa ringan peserta lain mengisi ruangan. Ari memilih duduk di barisan belakang, membuka buku catatannya dan menulis tanggal: Hari Pertama PKPA – Pendidikan Profesi Advokat.

Seorang pria paruh baya dengan jas abu-abu memasuki ruangan. Namanya dikenalkan sebagai Bapak Hendra Wicaksono, SH, MH, advokat senior dari firma hukum ternama. Beliau membuka kelas dengan suara berat dan penuh wibawa.

"Selamat pagi. Selamat datang para calon advokat Indonesia. Di ruangan ini kalian semua setara. Latar belakang kalian tidak penting. Yang penting, siapa kalian nanti di ruang sidang."

Ari terdiam. Kalimat itu menampar sekaligus membesarkan hati. Ia mencatat dengan semangat.

Satu demi satu, materi mulai diberikan. Tentang etika profesi, kode etik advokat, sejarah dunia peradilan, sampai teknik litigasi dasar. Ari menyimak dengan penuh perhatian, tak sedikit pun berani membuka ponsel. Sementara di sekitar, sebagian peserta malah asyik bermain gadget atau sesekali menguap.

Ketika sesi tanya jawab dibuka, tak ada yang angkat tangan. Ari awalnya ragu. Tapi ada dorongan kuat dari dalam dirinya. Ia tahu, jika ingin diperhitungkan, ia harus bersuara.

Dengan perlahan, ia mengangkat tangan.

"Maaf, Pak. Saya ingin bertanya. Jika dalam praktik kita membela seseorang yang sejak awal kita tahu bersalah, sejauh mana kode etik memberi ruang agar kita tetap menjaga profesionalitas sekaligus nurani kita sebagai manusia?"

Ruangan tiba-tiba hening.

Bapak Hendra menatap Ari dengan mata menyipit. Lalu beliau tersenyum.

"Pertanyaan yang sangat bagus. Siapa nama kamu, Nak?"

"Ari, Pak. Muhammad Ari Pratomo."

Pak Hendra mengangguk. “Kamu mengingatkan saya pada masa muda saya dulu.”

Ari tersenyum kaku, sementara beberapa peserta mulai memperhatikannya. Hari itu, untuk pertama kalinya sejak ia menginjakkan kaki di Jakarta, ia merasa... diperhatikan bukan karena penampilannya, tapi karena pikirannya.

Kelas pertama berakhir menjelang sore. Ari keluar dari ruangan dengan buku catatan penuh coretan dan kepala penuh semangat baru. Di halaman kampus, ia duduk sejenak, melepas sepatu tuanya dan memijat kaki yang pegal. Tapi wajahnya tenang. Hatinya ringan.

Ia membuka dompet dan menghitung uang terakhirnya. Masih cukup untuk satu minggu makan dengan hemat. Ia tahu, besok tantangan lain akan datang. Tapi hari ini, ia telah membuktikan satu hal:

Bahwa tempatnya bukan hanya di bangku belakang. Tapi juga di antara mereka yang kelak akan berdiri di depan sidang, memperjuangkan kebenaran.

Dan dari sinilah, cerita baru Ari sebagai calon advokat dimulai.

Jam istirahat tiba. Ari berdiri dari kursinya, meregangkan punggungnya yang terasa pegal karena duduk terlalu lama. Ia melirik ke sekeliling, memperhatikan para peserta PKPA yang mulai bergerak ke luar ruangan, ada yang langsung ke kantin, ada pula yang berkumpul membentuk lingkaran kecil, membicarakan topik-topik ringan dengan tawa lepas.

Ari melangkah pelan ke lorong menuju kantin fakultas. Ia tak membawa bekal, dan uang di dompet hanya cukup untuk satu bungkus nasi sederhana. Ia memilih menu paling murah: nasi, telur dadar, dan sayur bening. Dengan nampan sederhana, ia berjalan mencari tempat duduk kosong.

Namun sebelum ia sempat duduk, terdengar suara berat dari arah belakangnya.

"Bro, sini aja duduk bareng. Lu sendirian, kan?"

Ari menoleh. Seorang pria bertubuh besar dengan kulit cokelat gelap, rambut sedikit ikal, dan senyum lebar sedang menunjuk kursi kosong di sebelahnya. Namanya tertera di name tag: Tambunan.

Ari mengangguk, “Boleh, makasih ya.”

Setelah mereka duduk, suasana langsung cair.

"Gue Tambunan. Dari Medan. Tapi udah lama di Jakarta, kuliah di Trisakti. Lu sendiri?"

"Ari. Dari Lampung. Baru aja nyampe Jakarta minggu lalu."

Tambunan menaikkan alisnya. “Gila, baru nyampe udah langsung PKPA? Lu serius banget, bro.”

Ari tertawa kecil. “Iya, karena kalau nunggu-nunggu terus, nggak akan mulai-mulai.”

Obrolan mereka semakin akrab. Ternyata Tambunan orangnya ramah dan blak-blakan. Ia dengan santainya menceritakan suka duka kuliah hukum, kerja sambilan, bahkan pernah magang di kantor hukum yang boss-nya galak bukan main.

“Gue juga udah nyoba ngelamar ke kantor-kantor di sini,” kata Ari. “Tapi semuanya nolak. Mungkin karena gue kelihatan kayak orang kampung.”

Tambunan tertawa. “Yah, jangan minder, bro. Orang kota juga banyak yang goblok. Yang penting otak dan semangat lu. Buktikan aja. Nanti juga mereka bakal nyari lu sendiri.”

Ari merasa hangat. Untuk pertama kalinya sejak ia datang ke Jakarta, ia merasa punya teman yang bisa diajak tertawa, diskusi, dan mungkin, berbagi mimpi. Tambunan bukan hanya teman makan siang, tapi dalam beberapa menit saja sudah seperti sahabat yang lama hilang.

Sebelum kembali ke kelas, Tambunan menepuk pundak Ari.

“Lu gue ajak ngopi nanti sore, ya. Gue kenal satu dua orang dari kantor pengacara. Siapa tahu bisa bantuin lu cari tempat magang.”

Ari mengangguk penuh haru. Ia tak menyangka, di tengah kesepian dan tekanan hidup di ibu kota, ia menemukan cahaya kecil: sahabat baru bernama Tambunan.

Dan dari obrolan sederhana di kantin itulah, benih persahabatan mereka tumbuh — yang kelak akan menjadi salah satu kekuatan terbesar Ari dalam menempuh jalan panjang menuju Profesi advokat.

Sore itu, usai kelas PKPA selesai, langit Jakarta mulai berubah jingga. Debu dan panas khas ibu kota masih terasa melekat di kulit, membuat banyak peserta buru-buru mencari kendaraan pulang. Ari masih duduk di bawah pohon besar dekat gedung Fakultas Hukum UI, menunggu angkutan umum yang entah kapan lewat. Tangannya menggenggam map lusuh berisi catatan dari kelas tadi, dan pikirannya mulai melayang ke sisa uang yang semakin menipis.

Tiba-tiba, suara klakson pendek terdengar dari arah gerbang kampus.

Lihat selengkapnya