Kembali ke Pelukan Ayah

Muhammad Ari Pratomo
Chapter #5

Bab 5: Kisah Cinta Pengacara

Setelah kegagalan pada ujian advokat pertama, Ari memutuskan untuk tidak larut terlalu lama dalam kecewa. Ia kembali menjalani rutinitasnya di Pos Bantuan Hukum (Posbakum) Pengadilan Negeri Jakarta Timur dengan semangat yang lebih tenang, meskipun belum sepenuhnya pulih dari luka dalam hati.

Setiap pagi, Ari tiba lebih awal dari jam operasional. Ia selalu datang dengan jaket tuanya, menyeduh kopi instan di ruang kecil staf, lalu membuka laptop butut yang sudah menemaninya sejak kuliah. Di sinilah ia membaca kembali materi-materi hukum, mencoba memahami kasus-kasus baru yang akan ia tangani, dan sesekali menonton ulang rekaman video seminar atau pelatihan hukum yang pernah ia ikuti.

Aktivitas sehari-harinya di pengadilan penuh dengan interaksi manusia dari berbagai latar belakang. Mulai dari ibu rumah tangga yang ingin memperjuangkan hak waris, pedagang kecil yang digusur sepihak, hingga buruh kasar yang tidak dibayar selama berbulan-bulan. Mereka datang ke Posbakum bukan hanya membawa dokumen perkara, tetapi juga membawa kesedihan, kemarahan, bahkan keputusasaan.

Ari menjadi tempat mereka bertanya, tempat mencurahkan isi hati, dan tempat bergantung.

Ia tidak hanya menjelaskan hukum dengan bahasa sederhana, tetapi juga mendengarkan. Dan di situlah kekuatannya. Ari membuat para pencari keadilan merasa didengar dan tidak sendirian.

Di sela-sela pekerjaannya, Ari kerap membaca kembali soal-soal latihan untuk persiapan ujian advokat berikutnya. Ia membuat jadwal belajar sendiri dan berkomitmen menjalaninya meski malamnya masih harus membuka kedai kopi kecil untuk bertahan hidup.

Ketika tidak sedang menghadapi klien, Ari sering membantu teman-temannya yang kesulitan membuat draft permohonan atau surat gugatan. Ia tak pelit ilmu, dan karena itu, perlahan mulai dihormati oleh rekan-rekan relawan lainnya. Bahkan Pak Yan Apul, pengacara senior yang memimpin Posbakum, mulai melibatkan Ari dalam kasus-kasus yang lebih kompleks.

Namun, yang tidak banyak orang tahu, setiap malam sebelum tidur, Ari menatap sertifikat PKPA yang tergantung di dinding kosannya. Ia berbisik dalam hati, “Ujian berikutnya aku akan siap. Aku akan lulus. Bukan demi gelar, tapi demi mereka yang tak punya suara.”

Itulah rutinitas Ari—pagi di pengadilan, siang membantu menyusun berkas, malam di kedai kopi yang sunyi, dan dini hari belajar sendirian. Hari-hari berat, tapi Ari menjalaninya dengan hati yang tak pernah padam. Ia tahu, jalan ini panjang dan penuh luka. Tapi ia juga tahu, di ujungnya ada cahaya bernama keadilan.

Sore itu, setelah hari-hari melelahkan di pengadilan dan kedai kopi, aku memutuskan untuk menenangkan diri sejenak. Aku tahu, kalau terus dibiarin kepenatan ini numpuk, semangat bisa patah pelan-pelan. Maka, aku menghubungi Pak Tambunan, sahabatku sejak PKPA dulu, dan kami sepakat ketemu di Plaza Arion, di Rawamangun, nggak jauh dari pengadilan.

Di sebuah kedai kopi dengan suasana remang yang nyaman, aku duduk berhadapan dengan Pak Tambunan. Aku pesan kopi hitam tanpa gula seperti biasa, sementara dia pilih latte dengan ekstra foam.

“Gue ngerti elu kecewa soal ujian kemarin, Ri,” kata Pak Tambunan membuka obrolan. “Tapi serius, banyak banget yang nggak lulus. Bahkan bokap gue bilang, soal-soalnya emang super teknis dan njelimet.”

Aku cuma senyum tipis. Gak mau nunjukin kalau hatiku masih ada rasa sakit. Aku alihkan pandangan ke jendela besar yang nunjukin lampu jalan, mobil lalu-lalang, dan manusia yang terus bergerak.

“Aku cuma butuh waktu,” jawabku pelan. “Tapi jangan salah, gue nggak nyerah. Ini bukan soal gengsi. Ini soal janji ke diri sendiri dan orang-orang yang selama ini percaya sama gue.”

Pak Tambunan angguk, matanya tulus banget nunjukin rasa hormat. “Dan elu udah jauh lebih tangguh dari kebanyakan lulusan hukum yang gue kenal. Gue bangga, Ri.”

Tanpa aku sadari, dari meja pojok dekat jendela, ada seorang gadis yang memperhatikan kami. Dia terlihat elegan, pakai blus putih dan celana kulot krem, duduk sendiri dengan laptop terbuka dan buku tebal di sampingnya. Di depannya ada kopi dan selembar kertas yang kayaknya baru dia selesaiin buat presentasi atau wawancara.

Sesekali dia menoleh ke arah kami, memperhatikan tanpa berlebihan. Ada sesuatu beda dari aku—kesederhanaanku, cara aku menunduk saat denger, cara aku tahan perasaan tapi tetap berdiri tegak.

Gadis itu senyum samar, lalu balik lagi fokus ke laptopnya.

Dia adalah Anindya Saraswati, putri semata wayang seorang menteri yang sering muncul di televisi nasional. Kebetulan dia lagi ngerjain proyek riset tentang akses keadilan buat masyarakat kecil, dan sore itu dia lagi nyusun laporan soal Posbakum. Dia belum tahu siapa aku.

Dan aku belum tahu, tatapan singkat dari meja sudut itu akan jadi awal sesuatu besar — yang bisa ngubah hidup gue, bukan cuma sebagai calon advokat, tapi juga sebagai pria yang selama ini cuma percaya perjuangan, dan belum pernah percaya cinta. 

Setelah menghabiskan waktu sore bersama Tambunan di kedai kopi Plaza Arion, Ari kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur dengan langkah pelan. Sisa kopi hitam yang masih terasa di tenggorokannya seolah jadi pengingat bahwa hari ini belum sepenuhnya selesai. Ia masih harus mengurus beberapa berkas di bagian PTSP, dan entah mengapa, perasaannya agak campur aduk—antara lelah, pasrah, dan diam-diam, ada sesuatu yang berbeda.

Gedung pengadilan tampak lebih tenang saat malam mulai merayap. Cahaya lampu menyinari lorong dengan temaram yang menggantung. Ari mengambil nomor antrian lalu berdiri di dekat dinding, matanya menerawang. Di kepalanya, suara Tambunan masih terngiang.

"Gue ngerti elu kecewa, Ri, tapi hidup nggak berhenti cuma gara-gara satu ujian."

Ari menghela napas. “Iya, Tam… tapi rasanya… aku belum cukup layak,” gumamnya lirih.

Baru saja ia meresapi pikirannya sendiri, dari samping, hadir siluet yang tak asing. Gadis itu—yang tadi sore sempat memperhatikannya dari sudut kedai kopi—kini berdiri tak jauh darinya, di antrean yang sama. Masih dengan blus putih dan kulot krem, elegan tapi sederhana, membawa map biru dan buku catatan di tangan.

Ari sempat menoleh, dan seakan dunia menyepakati pertemuan ulang ini, mata mereka bertemu.

“Eh… sore tadi kamu di kedai kopi, ya?” Gadis itu berbicara lebih dulu, suaranya lembut namun percaya diri.

Ari mengangguk pelan. “Iya. Duduk sama temen. Agak rame, ya?”

Dia tersenyum kecil. “Nggak juga. Justru obrolannya menarik. Tentang ujian advokat, kan?”

“Aku gagal,” ucap Ari tanpa membungkus luka. “Tapi ya… hidup tetap jalan.”

Ada jeda singkat sebelum gadis itu merespons. Tatapannya lembut. “Maaf ya. Tapi kamu hebat, lho. Banyak yang nyerah di titik ini.”

Ari hanya tersenyum. Ia belum tahu harus menjawab bagaimana.

“Aku Anindya, by the way,” gadis itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan.

“Ari.” Ia menyambut uluran itu.

“Lagi ngurus apa?”

“Berkas Posbakum. Aku magang di sana.” Suaranya terdengar lebih tenang dari sebelumnya.

Anindya terlihat terkejut sekaligus tertarik. “Serius? Aku lagi nulis tesis soal bantuan hukum struktural buat masyarakat menengah bawah. Posbakum jadi salah satu studi kasusnya.”

Ari mengangkat alis. “Kebetulan banget.”

Sebelum pembicaraan berlanjut, nomor antrian Anindya dipanggil. Dia melirik ke layar, lalu menatap Ari.

“Kayaknya giliran aku. Tapi, semoga ketemu lagi ya. Aku penasaran banget sama pengalaman kamu di Posbakum.”

“Boleh. Kapan-kapan mampir aja ke meja konsultasi, aku biasanya ada tiap siang.”

Anindya mengangguk dan melangkah pergi.

Ari menatap punggungnya menghilang di balik pintu loket. Ada sesuatu yang tertinggal di dadanya—rasa ringan yang aneh, tapi tidak asing. Entah karena tatapan itu, atau percakapan singkat yang terasa tulus. Ia bersandar sebentar di dinding koridor, menatap atap tinggi pengadilan itu sambil menarik napas dalam.

"Anindya, ya..." gumamnya dalam hati. "Nama yang anggun untuk pertemuan yang tidak biasa."

Dan mungkin, hidup sedang menyiapkan bab baru yang tak pernah ia rencanakan.

Hari-hari kembali berjalan seperti biasa. Ari kembali larut dalam rutinitas posbakum dan persidangan-persidangan yang menumpuk. Ia sudah terbiasa datang pagi-pagi ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur, menyapa petugas PTSP, memeriksa jadwal perkara, lalu menyusuri lorong demi lorong menuju ruang sidang.

Tak ada yang istimewa hari ini—setidaknya sampai siang. Ia baru saja menyelesaikan pendampingan terhadap seorang ibu rumah tangga yang dituduh mencuri barang bukti perceraian oleh suaminya sendiri. Di ruang tunggu, Ari membuka map lusuh berisi catatan tangan yang sudah penuh coretan. Peluh menetes di pelipisnya, tapi sorot matanya masih menyala.

Beberapa petugas pengadilan sudah hafal wajah Ari. Bahkan beberapa hakim pun mulai memperhatikannya. Ia dikenal sebagai anak magang yang tak banyak bicara, tapi selalu hadir di ruang sidang—meski tak semua perkara penting, dan kadang tak dibayar.

Bagi Ari, setiap perkara yang ia dampingi adalah wajah lain dari keadilan. Ada kasus pedagang ditipu pemasok, ada buruh di-PHK sepihak, bahkan pernah seorang anak kecil datang meminta bantuan karena ibunya dipukul ayah tiri.

"Semua orang cuma butuh didengar… dan dibela," gumam Ari sambil menatap kursi-kursi kosong di ruang tunggu sidang Tipiring.

Sore itu, saat langit Jakarta mulai menguning, Ari duduk sendiri di tangga belakang gedung pengadilan. Sambil menyeruput air putih dari botol isi ulang, ia membuka ponselnya—melihat beberapa pesan dari kedai kopi miliknya. Beberapa orang menanyakan jadwal konsultasi malam ini, beberapa lagi hanya mengucapkan terima kasih karena pernah dibantu.

Hari-harinya melelahkan, tapi bukan lelah yang sia-sia.

Ia tersenyum tipis.

"Aku belum lulus advokat. Tapi hukum sudah memilihku sejak lama," batinnya.

Dan Jakarta, dengan segala hiruk-pikuknya, tak pernah berhenti mempertemukan Ari dengan cerita-cerita yang membuatnya terus berjalan.

Hari itu, ruang sidang sederhana di lantai dua Pengadilan Negeri Jakarta Timur dipenuhi oleh para pengunjung yang ingin menyaksikan jalannya persidangan terbuka. Kasus yang ditangani bukan perkara besar—hanya sengketa antara pekerja kebersihan dan pihak manajemen gedung yang memecatnya tanpa pesangon. Namun bagi Ari, tak ada perkara yang kecil ketika hak seseorang dirampas.

Ia berdiri tegak, mengenakan kemeja putih yang sedikit kusut karena duduk terlalu lama, dasi yang tak lagi rapi, dan mata yang menunjukkan kurang tidur. Di hadapannya, hakim mengetuk palu kecil sebagai tanda bahwa sidang dimulai.

"Majelis yang mulia, saya ingin menegaskan kembali bahwa klien kami diberhentikan secara sepihak tanpa adanya bukti pelanggaran kerja..."

Kalimat demi kalimat mengalir dari mulut Ari. Suaranya tak lantang, namun penuh ketegasan. Setiap argumen dibingkai oleh data dan pasal, disampaikan bukan dengan gaya pengacara kawakan, melainkan dengan keyakinan seorang manusia yang benar-benar percaya pada keadilan.

Di deretan bangku pengunjung, duduklah seorang wanita muda yang memperhatikannya diam-diam.

Anindya.

Ia mengenakan kemeja biru muda dan celana bahan warna gelap. Rambutnya disisir rapi ke belakang, dengan laptop kecil di pangkuan dan pulpen di tangannya, seolah sedang mencatat sesuatu. Sebenarnya, Anindya datang bukan untuk menyaksikan sidang itu secara khusus. Ia sedang mengumpulkan bahan untuk penelitian lapangan mengenai akses keadilan dan sempat diarahkan staf pengadilan ke ruang sidang terbuka tersebut.

Namun sejak matanya menangkap sosok yang sedang bicara di hadapan majelis hakim, konsentrasinya terpecah.

Ia mengenali pria itu. Wajahnya familiar. Cara bicaranya tenang, struktur argumentasinya lugas. Semua mengingatkannya pada seseorang yang sempat ia lihat—di sebuah kedai kopi, duduk bersama seorang pria berbadan besar, tertawa dan berdiskusi hangat. Anindya bahkan masih ingat suara lirih pria itu ketika bicara di meja sudut.

"Aku cuma butuh waktu."

Ari tak menyadari kehadiran Anindya. Fokusnya sepenuhnya tertuju pada pembelaan dan nasib kliennya. Tangannya membuka berkas, menunjuk bukti surat peringatan kerja yang tak pernah diberikan, lalu menjelaskan kronologi dengan bahasa yang dimengerti oleh semua orang di ruangan.

Anindya memperhatikan.

Bukan sekadar karena simpatik, tapi karena ada sesuatu yang tumbuh perlahan: rasa hormat.

Ia tak tahu siapa nama pria itu. Tapi ia tahu, dari cara dia berdiri dan berbicara di ruang sidang sederhana itu, bahwa dia sedang menyaksikan seorang pejuang.

Seorang calon advokat, yang mungkin tak punya gelar besar atau nama belakang terkenal—tapi yang setiap harinya berjuang demi mereka yang tak punya siapa-siapa.

Dan meski tak ada percakapan sore itu, diam-diam dalam hati Anindya berkata, “Aku ingin tahu lebih banyak tentang dia.”

Dan Ari, yang hari itu keluar dari ruang sidang dengan kertas notulensi di tangan, masih belum tahu… bahwa seseorang di antara para penonton telah mencatat bukan hanya pembelaannya, tapi juga dirinya.

Sore merayap pelan, membawa hawa lembab khas Jakarta yang baru saja diguyur hujan ringan. Langit masih menyisakan warna kelabu, dan halaman Pengadilan Negeri Jakarta Timur mulai lengang. Ari melangkah keluar dari pintu utama gedung sambil merapikan map lusuh yang selalu ia bawa ke mana-mana. Langkahnya pelan. Ia sudah membayangkan perjalanan panjang naik Transjakarta, lalu berganti angkot ke arah Rawamangun, lalu menyusuri gang sempit menuju kosan kecilnya.

Namun sebelum ia sempat menuruni anak tangga terakhir, suara lembut menghentikan langkahnya.

“Mas… Ari, ya?”

Ari menoleh. Sejenak ia heran, tak menyangka namanya dipanggil. Matanya menangkap sosok wanita muda berperawakan anggun dengan blouse putih bersih, berdiri beberapa meter darinya sambil menenteng tas kerja dan kunci mobil.

Anindya tersenyum ramah. “Kita sempat ketemu di ruang sidang tadi. Saya Anindya,” ucapnya, sopan.

Ari mengangguk singkat. Baru kali ini dia bisa menatap gadis yang diam-diam memperhatikannya dari bangku pengunjung tadi. Wajahnya bersih, mata jernih, dan caranya bicara menunjukkan pendidikan dan kelembutan.

“Saya kebetulan arah pulangnya lewat Rawamangun. Kalau Mas nggak keberatan, mau bareng?”

Ari sempat ragu. Tawaran seperti itu bukan hal biasa. Ia terbiasa menolak bantuan, apalagi dari orang yang baru dikenalnya. Tapi sore itu tubuhnya sudah penat, dan mungkin… hanya sekali ini saja, pikirnya.

“Kalau memang searah… boleh,” ucapnya pelan.

Tak lama, mereka berjalan bersama menuju area parkir. Mobil hitam metalik dengan logo Eropa menyala halus ketika Anindya menekan remote. Pintu terbuka otomatis, kabin dalamnya sunyi dan harum, dengan interior kulit cokelat muda yang tampak mahal.

Ari berdiri mematung sejenak. Sepanjang hidupnya, mobil adalah kemewahan yang ia lihat dari luar jendela, bukan dari dalam kabin. Bahkan naik taksi online pun jarang—lebih sering ia memilih jalan kaki atau bus kota demi hemat ongkos.

Anindya membuka pintu penumpang di sebelah kiri. “Silakan, Mas.”

Ari mengangguk pelan. "Terima kasih." Suaranya hampir tak terdengar.

Begitu ia duduk, perasaannya campur aduk. Kaku, canggung, dan entah kenapa merasa seperti penyusup. Tapi Anindya tetap tenang di balik kemudi, memutar lagu jazz pelan, dan menyetir dengan percaya diri menyusuri jalanan sore Jakarta yang mulai macet.

Mereka tak banyak bicara di awal. Hanya suara AC dan gemuruh kendaraan di luar yang terdengar.

“Mas Ari… sering pegang kasus kayak tadi?” Anindya membuka percakapan sambil tetap menatap jalan.

Ari melirik sejenak, lalu kembali menatap lurus. “Cukup sering. Di posbakum, kasus orang kecil nggak ada habisnya.”

Anindya mengangguk. “Saya lagi riset soal akses keadilan untuk masyarakat tidak mampu. Dosen saya bilang, kadang kita harus duduk diam di ruang pengadilan kalau mau paham betul realita hukum di lapangan.”

Ari tersenyum tipis. “Kalau begitu, kamu sudah memilih tempat yang tepat.”

Mereka tertawa kecil.

Sore itu, di dalam mobil mewah yang melaju perlahan di antara deretan kendaraan, dua dunia yang berbeda bertemu. Tak disengaja. Tak direncanakan. Tapi terasa hangat.

Dan bagi Ari, sore itu adalah kali pertama ia duduk di kursi empuk mobil Eropa—bukan sebagai pengacara mahal, bukan sebagai orang penting—tapi sebagai seseorang yang diperhatikan, tanpa harus pura-pura hebat.

Mobil melaju perlahan di tengah padatnya arus lalu lintas sore itu. Dari balik kaca, gedung-gedung rendah, penjual kaki lima, dan anak-anak sekolah yang baru pulang membentuk lukisan kota yang kontras. Suasana di dalam kabin terasa hening—bukan karena canggung, melainkan karena masing-masing larut dalam pikirannya.

Anindya yang duduk tenang di balik kemudi, menoleh sejenak. "Mas Ari… aku boleh tanya sesuatu yang agak serius?"

Ari mengangguk pelan. “Boleh.”

Suara Anindya melembut. “Selama di posbakum, dari semua kasus yang Mas Ari tangani… apa yang paling bikin Mas merasa marah? Atau mungkin... sedih?”

Ari sempat terdiam. Pertanyaan itu seperti menariknya kembali ke ruang-ruang kecil pengadilan, ke kursi plastik di pojok kantor posbakum, ke raut wajah-wajah yang datang membawa harapan—dan kadang pulang dengan kecewa.

Ia menyandarkan punggung, menatap ke luar jendela sejenak sebelum bicara.

“Ada seorang ibu… dituduh mencuri susu. Dia ambil dua kaleng dari rak minimarket, katanya buat anaknya yang masih bayi. Dia nggak lari. Nggak sembunyi. Tapi tetap ditahan, tetap diborgol, tetap diadili.”

Anindya memegang kemudi lebih erat. Tak menjawab, hanya mendengar.

Ari melanjutkan. “Aku dampingi dia dari awal. Aku lihat sendiri bagaimana dia nggak punya pilihan. Suaminya pergi, dia kerja bersih-bersih rumah orang, gajinya dipotong terus. Waktu aku tanya kenapa nekat, dia cuma bilang... ‘Saya cuma pengin anak saya minum susu seperti anak orang lain.’”

Suara Ari merendah. “Kasusnya memang ringan, hukumannya juga nggak besar. Tapi stigma yang dia dapat… berat. Sampai anaknya sendiri dikeluarkan dari PAUD, katanya ‘takut nularin kelakuan ibunya.’”

Anindya menoleh sejenak. “Itu kejam…”

Ari mengangguk pelan. “Aku pernah marah, pernah sedih, tapi lama-lama… yang paling terasa itu rasa lelah. Karena aku tahu, besok bakal ada lagi yang datang. Kasus lain. Wajah lain. Tapi ceritanya… ya, sama.”

Mobil berhenti sejenak di lampu merah. Anindya memandang Ari dengan mata yang tak biasa. Ada rasa hormat di sana, juga kekaguman yang pelan-pelan tumbuh dari pemahaman, bukan hanya dari simpati.

“Aku pikir aku udah tahu banyak soal hukum rakyat kecil,” katanya pelan. “Ternyata, aku cuma ngerti dari buku. Bukan dari luka.”

Ari hanya tersenyum tipis.

Lampu berubah hijau. Mobil kembali melaju.

Dan di antara jalanan sore Jakarta yang padat, dua dunia yang tadinya berjauhan mulai saling memahami. Sebuah awal yang sunyi, tapi penuh makna—bukan karena siapa mereka, tapi karena apa yang mereka dengarkan dari satu sama lain.

Setelah mobil melewati simpang Rawamangun dan keluar dari keramaian Jalan Pemuda, Anindya melirik jam di dashboard lalu menoleh ke Ari yang duduk di sampingnya.

"Mas Ari, masih ada waktu, kan?" tanyanya santai. "Aku lapar. Yuk, kita makan dulu. Aku tahu satu tempat enak. Sekalian ngobrol lagi soal Posbakum."

Ari sedikit bingung, tapi tetap tersenyum sopan. "Boleh. Kalau nggak merepotkan."

Anindya tertawa kecil. "Naik mobilku, Mas. Nggak mungkin repot."

Tak lama kemudian, mobil itu berhenti di sebuah gedung restoran megah yang berdiri mencolok di sudut kawasan Kelapa Gading. Cahaya lampu gantung yang menggantung dari langit-langit lobi restoran terlihat dari luar, menciptakan bayangan hangat yang jatuh ke marmer putih berkilau. Parkirnya penuh mobil-mobil berpelat khusus, dan seorang valet langsung menyambut ketika Anindya turun.

Ari menatap sekeliling dengan sorot mata yang jujur—ini pertama kalinya dia menginjakkan kaki di tempat semewah ini. Bahkan langkahnya terasa ragu waktu berjalan masuk, seolah setiap lantai yang ia tapaki terlalu mahal untuk sol sepatu lamanya.

Begitu duduk, pelayan datang membawa daftar menu yang panjang dan penuh istilah asing. Anindya memesan dengan lancar, sementara Ari hanya menunduk menatap daftar dengan alis sedikit mengerut.

"Ada menu yang Mas kenal?" tanya Anindya sambil tersenyum.

Ari tersipu, lalu menunjuk menu paling sederhana yang masih bisa ia eja. "Ini aja, deh. Yang penting halal."

Anindya tertawa pelan. "Aman, Mas. Di sini semua makanan halal dan… piringnya aja udah lebih mahal dari sepatu aku waktu SMA."

Ari ikut tersenyum, tapi hatinya berdesir. Bukan karena kemewahan yang dia tapaki hari itu, tapi karena kenyataan bahwa untuk pertama kalinya, dunia yang sangat jauh dari kesehariannya terasa sedikit terbuka. Bukan karena dia mengejarnya, tapi karena seseorang menarik tangannya untuk mengenalkannya, tanpa merendahkan atau menggurui.

"Mas Ari…" suara Anindya kembali lirih di sela-sela makan, "Kenapa tetap mau di Posbakum? Padahal kan bisa aja ambil kerjaan kantor hukum gede, klien korporat, fee tinggi..."

Ari meletakkan sendoknya perlahan.

"Aku masih percaya, hukum bukan cuma buat yang bayar paling banyak. Tapi buat yang paling nggak punya siapa-siapa. Kalau semua yang ngerti hukum cuma mau bantu yang kuat, yang lemah bakal terus diam. Dan diam itu… sering kali artinya kalah."

Anindya mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya, bukan hanya makanan mahal yang mengisi pikirannya, tapi juga cerita-cerita yang tak pernah ia baca di jurnal akademik.

Dan malam itu, di restoran penuh lampu gantung dan peralatan makan berkilau, dunia hukum dan empati duduk satu meja. Di antara sendok perak dan piring mahal, suara kecil dari mereka yang tak terdengar perlahan mendapat ruang untuk dikenang.

Anindya terdiam sejenak setelah mendengar jawaban itu. Matanya menatap Ari, tapi bukan sekadar memandang wajah—dia sedang mencoba membaca lebih dalam. Seolah kata-kata Ari membuka jendela ke sesuatu yang selama ini hanya dia baca di laporan riset, tapi belum pernah dia lihat sejelas dan setulus ini.

“Kamu... beda ya,” gumamnya, hampir tak terdengar.

Ari hanya tersenyum tipis, tidak merasa sedang mengucapkan sesuatu yang luar biasa. Baginya, itu bukan kalimat heroik—itu kenyataan yang dia jalani tiap hari. Dia lebih nyaman mendengar tangisan ibu-ibu di Posbakum daripada tawa politikus di rapat-rapat meja bundar.

Anindya mengalihkan pandangan ke luar jendela restoran. Lampu kota mulai menyala. Jakarta tampak seperti lukisan mahal yang berpendar di bawah langit kelabu. Tapi di balik gemerlap itu, dia tahu, ada luka-luka yang tersembunyi. Dan Ari… adalah salah satu dari sedikit orang yang memilih untuk masuk ke luka itu, bukan menghindarinya.

“Orangtuaku selalu bilang kalau dunia ini keras, jadi kita harus naik setinggi-tingginya supaya aman dari jatuhnya orang lain,” kata Anindya pelan. “Tapi kamu malah turun… ikut jatuh bareng mereka.”

Ari menoleh, menatap Anindya dengan penuh perhatian. Tak ada sikap menggurui, tak ada niat mengubah cara hidup orang. Dia hanya ingin hadir, dan tetap berdiri di tempat di mana keadilan sering dilewati.

“Aku nggak turun,” jawab Ari. “Aku cuma belum pernah naik. Dan aku nggak buru-buru ke atas kalau harus ninggalin orang-orang yang lebih butuh dibantu.”

Anindya mengangguk perlahan. Kagum, tanpa kata-kata.

Malam itu, kagum tak diucapkan, tapi terasa. Bukan karena Ari mempesona dengan prestasi atau penampilan, tapi karena keberaniannya bertahan di tempat yang sering ditinggalkan. Dan di antara gelas-gelas anggun dan suara sendok yang beradu pelan, Anindya tahu—dia sedang duduk bersama seseorang yang tak biasa.

Malam itu menjadi awal dari sesuatu yang berbeda. Setelah percakapan di restoran, hubungan Ari dan Anindya tak lagi terasa kaku seperti sebelumnya. Ada yang berubah—bukan karena suasana tempat makan mahal itu, tapi karena keduanya sama-sama jujur dalam diam dan bicara.

Lihat selengkapnya