Seketika pintu rumah itu terbuka, muncul seorang pria yang mendorong sebuah sepeda jengki Phoenix hijau tua buatan Cina. Ada yang mulai menyinari halaman rumah, siapa lagi kalau bukan matahari. Embun tidak hanya jatuh di antara dedaunan. Pun terdapat pada tumpukan botol-botol bekas yang ia kumpulkan dalam beberapa hari kemarin.
Ia memakai kaos berwarna abu-abu yang usang. Enam jam lagi, topi jerami yang dipakainya akan menyelamatkannya dari terik matahari. Begitu kakinya tersinari matahari pagi, kelihatanlah celana hitamnya yang pudar dimakan usia.
Tidak lengkap rasanya meninggalkan rumah tanpa menengok sang putri, setelah menjagrak sepeda di halaman rumah, ia masuk kembali. Matanya memandangi putri kecilnya yang masih berumur enam tahun dari balik pintu. Ayah mana yang tega meninggalkan putrinya sendirian setiap pagi. Setiap hari ia hanya bisa meninggalkannya. Nanti putrinya akan terbangun seorang diri. Meninabobokkan putrinya kala menjelang lelap, mungkin menjadi salam perpisahannya untuk esok pagi.
Apa boleh buat. Kehendak-Nya sudah seperti itu. Suratan takdir hidup hanya bisa ia lalui dengan sabar sembari berharap bahwa kebahagiaan putrinya kelak akan membuat kebahagiaan sejati dalam hidupnya. Bibirnya mendarat di kening putrinya. “Aku pergi dulu, Nak.”
Ia mulai mengayuh sepedanya tuanya. Sepeda itu bersuara. Rantainya berderik memberi kabar bahwa status sepeda yang ia beli tahun 1985-an itu sudah renta. Hanya emblem kuningan bergambar burung Phoenix di rangka sepeda bagian suspension fork yang masih terlihat muda. Sementara itu, tulisan “Phoenix” yang berada di bagian frame depan sadel sepeda, sudah mulai memudar.
Baru beberapa ayuhan sepeda, seorang tetangga yang rumahnya berada tepat di samping barat rumahnya, menyapa, “Berangkat Pak!”.
“Iya Pak, monggo,” jawabnya seraya menyungging senyum pada tetangganya itu. Ia melanjutkan ayunan sepedanya. Setelah meninggalkan rumah, hamparan kebun tebu milik pabrik gula yang terletak di selatan desa dilewatinya. Kesegaran pagi memompa paru-parunya menjadi semangat. Wajah Nabila, putrinya, kian terlintas dalam pikirannya setiap kali derik sepedanya berirama. Mengingat buah hati, membuatnya kedua kakinya yang bersandal japit berkompetisi mengayuh pedal. Ia berbelok ke utara begitu ban sepedanya menyentuh jalan raya.
Seorang perempuan bernama Suliani atau yang kerap dipanggi Bu Suli, istri Pak Kandar, berdiri di pagar kiri rumah yang terbuat dari dinding batu bata setinggi satu meter. Ia memperhatikan rumah milik ayah Nabila, Pak Zaid, yang berada di kiri rumahnya atau di timur rumahnya yang menghadap ke selatan.
“Udah berangkat Bu,” tutur Pak Kandar padanya.
“Barusan, Mas?”
“Iya.”
Bu Suli masih berdiri di dekat pagar. Ia menengok aktivitas suaminya pagi itu sebelum berangkat bekerja. Suaminya merupakan seorang pegawai negeri sipil. Bekerja di Kantor Kecamatan Bululawang. Ia dan suaminya terhitung sebagai keluarga mapan. Memiliki beberapa hektar sawah. Salah satu sawah mereka berada di timur rumah Pak Zaid, berbatasan dengan milik Pak Yono, Kepala Desa. Rumahnya dan rumah Pak Zaid terletak di depan hamparan kebun tebu dan di selatan hamparan sawah yang sangat luas.
Dari rumah mereka jika memandang jauh ke selatan, akan kelihatan pabrik gula peninggalan zaman rodi jajahan Belanda yang masih kokoh nan bersejarah, PG. Krebet Persero. Jika ada orang yang melewati pabrik gula itu, banyak yang mengira kalau itu museum. Bangunannya yang beraksitektur Eropa, mengecoh pandangan orang-orang.
Dan jika ada orang yang berkunjung ke desa itu dengan berjalan mentok sampai timur, akan didapati dua rumah yang berdiri bersebelahan dengan pemandangan yang kontras, bak bumi dan langit. Kedua rumah itu terlihat sangat berbeda. Rumah itu adalah rumah Bu Suli beserta suami dan rumah Pak Zaid, duda satu anak.
Rumah Bu Suli cukup besar. Dindingnya berwarna putih cerah dan halus. Catnya selalu diperbaharui begitu ada iklan sirup mondar-mandir di layar kaca, tanda Idul Fitri tiba. Lantainya adalah poselain yang didominasi warna putih. Bu Suli sebagai ibu rumah tangga, hobi sekali mengepel lantai rumahnya sampai kinclong.
Sementara itu, rumah Pak Zaid hanyalah rumah yang level penilainnya berada di bawah kata sederhana. Rumah itu dibangun dengan batu bata setinggi satu meter. Atasannya adalah anyaman bambu atau gedek. Lantainya hanyalah cor-coran semen, itu pun hanya ada di ruang tamu, ruang tengah, dan kamar tidur.
Kedua rumah yang bertetangga itu memang berbeda. Namun perbedaan itulah yang membuat penghuni kedua rumah itu menjadi sangat harmonis layaknya saudara. Meski hanya tetangga, mereka saling tolong menolong satu sama lain. Walaupun toh jika ditakar, rumah yang besar itulah yang lebih banyak memberi pertolongan.
Bu Suli masih berdiri memperhatikan aktivitas suaminya. Ia masuk ke rumah begitu suaminya menyuruh membuatkan teh. Sebelum menuju dapur, ia membuka kamar putrinya, Lina, yang masih berumur enam tahun. Senyumnya tersungging, melihat Lina masih terlelap. Sebuah selimut tebal dan halus masih menghangatkan tubuh putrinya. Membuatnya segan mengganggu Lina. Ia menutup kamar Lina kembali.
Aktivitas pagi yang menurutnya paling membahagiakan adalah saat melihat Lina terbangun dari tidur. Wajah linglung Lina saat bangun, hiasan air liur yang merembet di pipi, kotoran mata yang tampak kenyal, selalu membuatnya bahagia di setiap pagi.
Pak Kandar telah selesai mencuci mobil. Kini ia duduk di kursi yang berada di depan rumah. Menikmati teh hangat buatan istrinya. Baru beberapa tegukan meminum, suara istrinya terdengar dari belakang, “Mas sarapannya sudah siap.”
“Iya.”