Kembali ke Rahim

Faiz el Faza
Chapter #2

Mengais Berkah

Botol-botol yang ia kumpulkan selama satu pekan akan ia jual hari ini. Suara botol-botol yang merangsek ke dalam karung, terdengar di belakang rumah gedek itu. Tiga karung telah terisi penuh oleh botol-botol bekas. Ia mengelap tangannya dengan gombal seusai menata botol-botol plastik itu ke dalam tiga karung.

Ia pasang tiga karung itu di atas dan di bagian kanan kiri sepedanya. Hari itu akan terasa lebih berat ketika mengayuh sepeda. Apalagi jarak menuju Pasar Bululawang cukup jauh.

Ia memulai perjalanan. Ketika melewati rumah tetangga dekatnya, tidak ada Bu Suli dan Pak Kandar yang biasanya berada di halaman. Setiap hari, selalu ada niatan untuk menyapa salah satu dari mereka ketika akan berangkat. Menyapa mereka adalah hal berarti baginya karena saat ia pergi, maka Bu Suli yang akan menemani dan merawat putrinya.

“Berapa karung, Pak?” tanya Cak Mat setiba di Pasar Bululawang.

“Tiga karung, Pak,” jawabnya.

Cak Mat menyuruh kulinya untuk mengangkut karung-karungnya ke dalam gudang.

Ia menjual botol-botol plastik itu ke sebuah tempat daur ulang sampah plastik yang terletak di belakang pasar. Tempat itu selalu menjadi tujuannya ketika botol-botol plastik yang ia kumpulkan telah sudah siap ditukar dengan rupiah. Satu pekan atau dua pekan sekali, ia akan pergi ke tempat itu, menemui Cak Mat, si pemilik gudang. Kadang ia menyetorkan dua karung, kadang tiga karung, dan jarang lebih dari tiga atau kurang dari dua karung.

Ia menaiki sepedanya kembali menuju kantor kecamatan. Di situlah ia bekerja sebagai tukang bersih-bersih. Halaman di kantor kecamatan tersebut cukup luas dengan bangunan berbentuk L. Di pinggiran halaman terdapat cukup banyak tanaman baik kecil maupun besar, jadi bila ada sampah atau dedaunan berserakan akan terlihat tidak sedap dipandang. Tugasnya ialah membersihkan halaman tersebut. Tiap ia menyapu, bila melihat sampah botol plastik, ia akan memungut dan memasukkanya ke dalam karung.

Ia juga sering menyapu halaman masjid. Meski tak disuruh menyapu di sana, nuraninya bersukarela menyapu sampah dan dedaunan yang berserakan di halaman. Baginya, bekerja bukan melulu mencari rezeki. Siapa tahu Tuhan rido karena membersihkan rumah-Nya hampir setiap hari.

***

“Ini bacanya apa?” tanya Bu Suli pada Lina dan Nabila. Jari telunjuknya mengacung, menunjuk pada beberapa kata yang tertera di halaman Majalah Bobo.

“Mari membaca buku karena buku adalah jendela dunia,” jawab Nabila. Sementara itu Lina hanya diam saja. Ia cuma menatap Nabila dan menengok ibunya.

“Hayo ... Lina jangan mau kalah sama Nabila.” Bu Suli mencolek pipi putrinya yang hanya tertawa atas colekannya. Bola matanya melirik ke arah Nabila dan menatapnya. Dalam hati, ia memikirkan tentang anak itu. Nabila anak yang cerdas, cepat menangkap ajaran yang ia berikan. Suatu saat nanti Nabila akan tumbuh menjadi remaja putri yang tangkas adalah keyakinannya. Dan untuk malaikat kecilnya itu, ia hanya bersyukur malaikat kecilnya itu punya sahabat seperti Nabila. Suatu saat nanti Lina akan senang berguru kepadamu, pikirnya.

“Ayo sekarang ini ditulis.” Ia menyuruh mereka menulis beberapa kalimat di salah satu halaman buku itu. Lina dan Nabila mulai menulis. Ia mau mengecek pekerjaan dapur. “Ibu mau ke dapur dulu ya.”

Selain merawat Lina dan Nabila, ia juga harus memasak seperti biasa untuk anggota keluarga yang ia punya dan untuk kepala keluarga yang sedang bekerja. Dengan terampil, kedua tangannya bekerja sama memotong beberapa bahan racikan bumbu masakannya seperti bawang prei, bawang putih, serai dan lain sebagainya. Beberapa sayuran sepeti brokoli, wortel dan kentang ada di atas meja dapur dengan keadaan bersih setelah dicuci.

Lihat selengkapnya