“Pendaftarannya sudah dibuka, Pak?” tanya Pak Zaid kepada Pak Kandar.
“Sudah dibuka Pak, boleh daftar mulai sekarang.”
Setelah mengerjapkan mata, gigi-giginya tersembul dari balik senyumnya. Pendar kebahagiaan membayangkan putrinya masuk SD, terpancar dari raut mukanya. Ia dan Pak Kandar duduk berdua Dua cangkir teh menemani obrolan mereka. Hari itu hari Minggu. Kedua ayah tersebut sedang libur.
Biasanya meski hari Minggu Pak Zaid tetap pergi bekerja karena masih harus mengumpulkan sampah botol plastik. Jarang sekali ia memilih meluangkan waktu sehari untuk libur dalam tiap pekannya. Bila sakit, maka ia akan merasakan sakitnya, masih mampu berjalan atau tidak. Bila masih mampu, ia akan tetap pergi mengais serak-serak rezekinya.
Pak Kandar telah pergi. Ia masih duduk di depan rumah, menikmati pemandangan kehijauan di depannya. Nabila terbangun dari tidurnya. Ia tak tahu kalau hari ini ayahnya tak pergi bekerja. Tak ada janji pada malam sebelum ia tidur yang diucapkan ayah. Ia turun dari tempat tidur. Tanpa alas kaki, ia berjalan keluar dari kamar. Pintu ruang tamu terlihat terbuka lebar. Dengan berjalan agak sempoyongan, ia mendekati pintu tersebut. Kepalanya menengok keluar. Tepat di sampingnya berdiri, ada ayahnya sedang duduk dengan kaki bersila di atas kursi kayu.
“Ayah,” sapanya dengan masih berdiri di pintu.
Pak Zaid mendengar sapaan itu lantas menoleh ke kiri. Wajah putrinya yang sedang memandanginya, melongok. “Sini Nak!” katanya dengan melambaikan tangannya pada Nabila, mengisyaratkan kalau ia ingin putrinya duduk di pangkuan. Nabila mendekatinya. Ia mengangkat Nabila ke atas pupu.
“Kamu sebentar lagi sekolah, Nak,” ucapnya pada Nabila sambil mendekatkan mulut ke telinganya.
Sekolah, apa itu sekolah? Nabila memikirkan perkataan ayahnya barusan. Yang ia tahu dari yang namanya sekolah hanyalah anak-anak yang memakai seragam, sepatu, dan membawa tas yang berisi buku. Untuk tujuannya, ia masih belum tahu. Selama ini lingkungannya hanya berada di sekitar rumah. Tak pernah ia berjalan-jalan jauh keluar dari desa. Ayahnya juga jarang bisa menemaninya jalan-jalan. Bila pulang dari bekerja, ayahnya sudah capek untuk mengajak anaknya jalan-jalan. Bila sore hari harus memasak. Bila malam hari, jalan-jalan bersama ayahnya tak akan mungkin. Lagi pula ayahnya tak suka keluar malam. Waktu paling tepat baginya adalah pagi hari. Namun, tentu ayahnya tak ada di rumah. Singkatnya tak ada waktu lebih baginya untuk ditemani ayahnya sepanjang hari, mengajaknya jalan-jalan, dan memberitahu tentang ada apa di luar sana.
“Apa itu sekolah, Ayah?” tanyanya.
“Sekolah itu adalah taman belajar anakku,” jawab Pak Zaid.
Taman belajar. Nabila membayangkan kata “taman”. Ia mengetahui sedikit tentang taman. Ia ingat buku-buku bergambar milik Lina. Ada banyak sekali gambar pemandangan di buku itu. Ia ingat ketika bertanya tentang suatu gambar kepada ibunya Lina. Ibunya Lina menjawab, “Ini gambar sebuah taman, Nabila.” Ia memandangi gambar itu setelah mendegar jawaban tersebut. Ia mengamatinya. Ada banyak sekali bunga warna-warni. Ada bunga matahari. Hanya bunga berwarna kuning itu yang ia ketahui namanya. Selebihnya, semua bunga dalam gambar tersebut masih belum ia ketahui namanya. Ada banyak sekali tanaman selain bunga dalam gambar tersebut.
“Ayah apakah di sekolah banyak bunga dan pepohonannya?” tanyanya.
Pak Zaid tertawa mendengarnya. “Ada tapi tidak banyak Nabila. Maksudku, taman belajar adalah tempat belajar yang menyenangkan seperti berada di taman yang pernah kamu lihat.”
Malam harinya Pak Zaid menghitung uang. Ia duduk di ruang tamu. Di atas meja kayu berlapis kaca di depannya, terdapat sebuah kotak yang terbuat dari seng. Di kotak itulah ia menyimpan uang. Ia menghitung dengan hati-hati. Malam itu, ia merencanakan pengeluaran untuk membiayai anaknya sekolah. Ia cukup lega seusai menghitung uang yang ternyata mencukupi. Ia memasukkan kembali uangnya ke dalam kotak tersebut.
***
Ia menemui Pak Kandar di Senin pagi sebelum berangkat bekerja. Ia memberikan sejumlah uang padanya.
“Iya Pak Zaid, nanti saya sampaikan ke Suli.” Pak Kandar menganggukan kepala.
“Terimakasih Pak.”
“Iya Pak, sama-sama.”
Hari itu Bu Suli akan mengajak Lina mendaftar di sebuah sekolah SD. Ia juga mengajak Nabila sesuai dengan kesepakatan dengan Pak Zaid. Dengan memakai motor Prima, ia menggonceng dua orang bocah, Lina dan Nabila. Sepanjang perjalanan singkat itu, pikiran Nabila dipenuhi dengan rasa bahagia. Begitu pula dengan Lina. Lina yang duduk di depan Nabila sesekali menengok ke belakang, ke arah Nabila. Ia memberi senyuman pada Nabila. Dan Nabila juga melakukan hal yang sama padanya.
Mereka sampai di sekolah SDN Senggorong II, sebuah sekolah yang terletak di depan sebuah pesantren. Lina dan Nabila turun dari motor dengan dibantu oleh Bu Suli.
“Ayo ikuti Ibu,” kata Bu Suli pada mereka.