Kembali ke Rahim

Faiz el Faza
Chapter #4

Tas dan Sepatu

Pak Zaid membuka pintu rumah. Lega ia rasakan ketika atap rumahnya membebaskannya dari panggangan sinar matahari selama perjalanan pulang. Ia melihat suasana amat sepi. Pikirnya, pasti Nabila sedang berada di rumah Lina. Pikiran itu tentu tak terbukti ketika ia berjalan melewati pintu kamar putrinya. Di sela pintu kamar putrinya, ia melihat putrinya sedang tertidur pulas dengan selimut menutupi tubuhnya. Ia segera masuk. Di meja ada semangkuk bubur yang masih hangat. Di samping mangkuk bubur, itu ia melihat ada beberapa bungkus obat dan kapsul.

Ia mendekat ke arah Nabila, duduk di sampingnya dengan lemas. Terdengar suara derit ketika ia duduk. Dipan kayu, tempat tidur Nabila, memang sudah kropos. Terkadang kayunya berbunyi bila sedang ditekan. Suara itu membuat Nabila terbangun. Perlahan kelopak mata Nabila terbuka. “Kamu sakit, Nak?”

Nabila hanya mengangguk.

“Ibu Suli yang mengantarkanmu berobat?”

“Iya ....”

Ia bersedih melihatnya. Ia menyalahkan dirinya sejenak, menyalahkan dirinya yang tidak bisa memberikan perhatian lebih pada putri semata wayangnya. Ia pun terdiam. “Maafkan Ayah, Nak,” batinnya

Ia ingin bertanya pada putrinya apa sakitnya. Tapi ia kasihan. Keadaan putrinya sangat lemah. Suara putrinya terdengar serak dan berat berbicara. “Sebentar ya Nak,” ucapnya seraya pergi.

Ia berjalan menuju rumah Bu Suli dengan tergopoh. Pintu di rumah berkayu jati dengan ukiran bunga itu ia ketuk. Beberapa saat berselang, Bu Suli muncul. Ia langsung bertanya, “Bu, anak saya sakit apa?”

“Sakit tipes, Pak.”

“Tipes?” tegasnya. Ia terdiam sejenak mengetahui penyakit yang diderita putrinya, tak menyangka putrinya akan terserang penyakit tersebut. “Terima kasih Bu atas pertolongannya,” imbuhnya.

“Iya Pak, sama-sama.”

“Berapa Bu tadi biayanya?”

“Tidak usah dipikirkan Pak kalau masalah itu.”

Ia tak tahu harus mengatakan apa selain hanya terima kasih kepada Ani. “Sekali lagi terima kasih Bu,” katanya sekali lagi.

“Iya Pak.”

***

Sore itu ia melihat persediaan obat untuk Nabila tinggal untuk semalam dan akan habis. Dengan menelan perlahan, Nabila meminum beberapa tiga butir pil. Malam nanti adalah tiga butir pil terakhir. Ia menemaninya meminum obat. Perkembangan Nabila dalam tiga hari ini sepertinya masih belum menunjukkan perubahan berarti. Nabila masih pucat wajahnya. Tak bergairah. Dan masih mengisi perut dengan hanya beberapa suap makanan dalam sehari. Ia semakin khawatir akan putrinya. Angan-angannya, bila besok Nabila belum menunjukkan perkembangan kesembuhan, ia akan membawanya berobat kembali.

Jawaban tentang hari besok terjawab. Nabila belum menunjukkan perkembangan. Maka ia akan membawanya ke rumah sakit. Pagi itu memakaikan baju hangat ke badan Nabila. Ia menggendong Nabila di punggungnya untuk dibawa keluar rumah. Berat badan Nabila telah dirasakannya turun.

Ia berjalan sambil menggenong putrinya menuju jalan raya. Selama perjalanan, ia tidak mendengar Nabila berbicara. Hembusan napas putrinya, tercium bau mulut yang anyir.

Ia menuju ke sebuah rumah sakit yang terletak di kawasan Kecamatan Tambakasri menggunakan mobil angkutan. Ia tidak memberitahukan kepada Bu Suli kalau akan membawa Nabila berobat lagi. Bila ia memberitahunya, maka sudah pasti Bu Suli memberinya uang. Ia tak ingin selalu merepotkan wanita itu.

Ia telah selesai memeriksakan Nabila. Ia pulang. Angkot yang ia tumpangi berhenti di depan desanya. Ia kembali menggendong Nabila untuk bisa sampai ke rumahnya yang terletak di ujung desa. Sepanjang perjalanan pulang dan pergi, ia masih tidak mendengar Nabila berbicara. Nabila terlalu lemah. Ia hanya mendengar Nabila berbicara ketika dokter yang memeriksa menanyai apa yang sedang Nabila rasakan. Ia rindu tawa dan senyumnya. Ia kangen pada tawa dan senyum dunia semata wayang yang ia miliki itu.

Lihat selengkapnya