Kembali ke Rahim

Faiz el Faza
Chapter #5

Lelaki itu Bernama Bintar

Nabila keluar dari kamar mandi dengan badan menggigil. Ia lekas masuk kamar dan memakai seragamnya, atasan putih dan bawahan merah. Ia berjalan keluar dari kamar. Sudah ada sarapan yang disiapkan Pak Zaid di tikar depan televisi.

Pak Zaid datang dari dapur dengan membawa air putih. Mereka sarapan bersama. Saat mengunyah sarapan, ia merasa sarapan itu amat lezat. Sebenarnya bukan makanannya yang lezat, melainkan karena suasana hatinya yang gegap gempita.

Hari ini dan seterusnya ia bisa sarapan bersama sang putri. Kemarin-kemarin tidak pernah kecuali saat libur. Kemarin-kemarin ia hanya bisa menaruh sarapan putrinya di atas meja dan mengecup keningnya sebelum bekerja. Hari ini dan seterusnya ia bisa sarapan bersama sebab sekarang putrinya sudah menjadi seorang siswi kecil yang harus bangun pagi.

Nabila dan Pak Zaid keluar dari rumah. Ia melihat Lina dan ibunya juga telah siap untuk berangkat. Pak Kandar muncul dari dalam rumah. Mobil Kijang sudah siap untuk membawa satu keluarga itu berangkat. Pak Kandar menawari ayahnya untuk berangkat bersama. Ia mendengar ayahnya menolak seraya tersenyum.

Mobil itu mulai berjalan keluar dari halaman rumah. Kaca depan bagian kiri mobil itu terbuka. Terlihat Lina yang menjulurkan kepalanya keluar disertai dengan tangan kanannya melambai-lambaikan ke arahnya seraya berteriak, “Sampai ketemu di sekolah, Nabila!”

“Iya Lina ...,” jawabnya dengan dada-dada.

Pak Zaid mengeluarkan sepedanya. Ia menaikkan Nabila untuk duduk di sadel belakang. Setelah itu, ia baru menaiki sepedanya. Ia mulai mengayuh sepedanya dengan bangga. Ia mengawali mengayuh sepeda itu dengan memanggil putrinya, “Nabila.”

“Iya Ayah.”

Ia kemudian berkata-kata sambil terus mengayuh sepedanya. “Nak, tujuanmu ke sekolah adalah belajar, niatmu ke sana bukan mencari teman, bukan mencari yang lain-lain, niatmu adalah mencari ilmu untuk menghilangkan kebodohan.

Nabila, bila kau ingin mendapatkan ilmumu, maka hormatilah ilmumu dan juga sang pemilik ilmu, yaitu gurumu. Bagi para pencari ilmu, hak seorang guru wajib ia jaga. Sungguh seorang guru wajib dan berhak diberi kemuliaan. Setiap satu huruf yang diajarkan gurumu adalah hal yang wajib kau hargai lebih.

Nabila, sesungguhnya seorang guru dan dokter tidak akan berguna nasihatnya bila tidak didengar. Tanggunglah sendiri penyakit yang kau derita bila kamu menentang dokter, tanggunglah sendiri kebodohanmu bila menentang gurumu.”

Semua kata-kata itu tiba-tiba meluncur begitu saja dari mulutnya. Sebuah kata-kata yang pernah ia baca dari kitab karangan Syekh Azarnuzi yang ia kaji di waktu lampau. Ia tak tahu apakah bocah sekecil Nabila akan mampu meresapi kata-katanya barusan. Namun, ada harapan. Setelah beberapa detik berlalu, Nabila menjawab, “Iya, Ayah.”

Jawaban itu membuatnya tersenyum. Matanya yang berkaca-kaca mengiringi butiran-butiran embun pagi. Ia telah berada di jalan raya. Beberapa sepeda motor dan mobil berkali-kali menyalipnya. Tentu saja yang ia tumpangi bukan sepeda bermotor. Kecepatan sepedanya ada pada ayuhan kakinya. Sekolah SDN Senggrong II telah terlihat di depannya. Beberapa meter lagi ia akan sampai.

“Nah ... sudah sampai Nabila,” katanya pada Nabila sewaktu sepedanya telah berada di depan gerbang. Keadaan pagi itu cukup ramai dengan kehadiran orang tua calon murid baru. Mereka sedang mengantarkan buah hati mereka masing-masing untuk menemani sejenak putra-putri mereka di hari pertama masuk sekolah.

Pak Zaid berdiri di halaman sekolah bersama Pak Kandar dan istrinya. Mereka saling mengobrol. Membicarakan tentang sekolah yang akan ditempati putri mereka. Nabila dan Lina berada di depan mereka. Tak jauh dari mereka berdiri. Keduanya sedang melihat ke arah sekeliling. Pak Zaid melihat ada seorang guru yang berdiri di depan halaman sekolah dengan membawa sebuah pengeras suara. Pria itu memberikan intruksi pada semuanya kalau sebentar lagi para murid baru akan segera dibariskan di halaman.

Beberapa guru di sekolah tersebut mulai keluar dari kantor. Para orang tua murid segera memanggil anak-anaknya. Mereka memberi nasihat sejenak sebelum meninggalkan anak-anaknya. Begitu juga dengan Pak Zaid, Pak Kandar serta istrinya. Mereka saling memberi pesan dan mengucapkan selamat tinggal untuk Nabila dan Lina. Seperti kebanyakan orang tua murid, Pak Zaid mencium kening dan pipi putri mereka. “Belajar yang rajin ya Nak,” katanya pada Nabila.

“Iya Ayah.”

Lihat selengkapnya