Di ruang tengah, tanggal-tanggal pada kalender bergambar tepung Beras Rose Brand telah berganti-ganti, ke kanan dan ke kiri, zig-zag ke bawah. Tanpa terasa tiga bulan telah berlalu. Hari itu Nabila semangat sekali ke sekolah. Ia ingat akan ada ulangan matematika.
Bu Datur sedang menulis ulangan di papan. Begitu Bu Datur selesai, ia melihat murid-muridnya masih menulis, kecuali Nabila. Nabila melirik ke arah Lina. Lina masih menulis soal. Ditatapnya Bu Datur kemudian.
“Ada apa Nabila?” tanya Bu Datur padanya.
“Dikerjakan sekarang Bu?” tanyanya.
“Iya, memang kamu sudah selesai menulis soalnya?”
Ia mengangguk. “Cepat sekali nulisnya, iya ayo dikerjakan.”
Nabila mulai mengerjakan. Kesepuluh jari-jemarinya membantunya menghitung. Teman-temannya yang lain juga mulai mengerjakan. Lina pun demikian. Ia mulai mengerjakan. Di soal ke empat, ia berhenti. Otaknya mulai keram karena jari-jemarinya hanya sepuluh, sementara soal penjumlahan yang tertera lebih dari sepuluh. Ia bingung bagaimana cara menghitungnya.
Sementara itu, Nabila hampir selesai. Ia tidak banyak menemui hambatan. Lina melirik. Ia cukup tercengang karena Nabila telah sampai di nomer sepuluh. Cepat sekali dia, batinnya.
Bu Datur tidak menyadari kalau Nabila sudah selesai. Nabila menatapnya lagi. “Ada apa Nabila?” tanyanya.
“Selesai, Bu.”
“Selesai! oh cepatnya Nak, sini Ibu lihat.” Kedua alisnya terangkat.
Nabila menyerahkan tugasnya dan duduk kembali di tempatnya. Bu Datur mulai mengoreksi. Ia kagum. Cepat sekali anak ini mengerjakannya, batinnya. Saat mengoreksi, ia berasumsi bahwa dalam waktu secepat itu mugkin ada jawaban yang salah, tapi ternyata meleset. Tak ada yang salah pada jawaban Nabila. Ia menarik napas dan senyum alaminya keluar. Ia menggoreskan nilai seratus di bawah pekerjaan Nabila. “Kamu pintar sekali sayang,” ucapnya sewaktu Nabila mengambil buku itu.
Nabila hanya tersenyum. Ia kembali duduk. Setelahnya, tak ada lagi yang mengajukan diri pada Bu Guru bahwa telah selesai atas tugas yang diberikan. Teman-teman yang lain, hampir masih berkutat di soal nomer tujuh.
Sambil menunggu yang lain, Bu Datur menatap Nabila. Cukup lama matanya menyorotnya. Mata Nabila terlihat bundar dan lebar. Kedua pipinya gembol sehingga terlihat sedikit mengapit mulut. Yang paling mengesankan, Nabila mempunyai kantung mata dengan lekuk yang indah, tak terlalu besar, dan tak terlalu kecil. Bila besar nanti, Nabila akan menjadi perempuan cantik, batinnya.
Ia menunggu ada yang mengumpulkan tugas. Waktu cukup lama berlalu. Masih tak ada satu pun terdengar ada yang berkata padanya bahwa telah selesai mengerjakan tugas. Ia pun menopang dagu dan menatap Nabila lagi
Dilihatnya Nabila sedang mengajari Lina. Telaten betul Nabila mengajarinya sampai selesai. Lina maju menghampirinya. Ia mengoreksi dan menggoreskan angka delapan puluh.
Beberapa menit kemudian, satu per satu mulai mengumpulkan tugas yang telah dikerjakan. Buku-buku pun menumpuk di mejanya. Ia mulai mengoreksi lagi dan lagi. Sangat mudah tentunya mengoreksi jawaban anak kelas satu SD. Namun, ia menyadari sesuatu tentang nilai-nilai yang didapatkan anak didiknya.
Hanya Nabila yang mampu mendapatkan nilai seratus. Apalagi dengan waktu yang cukup cepat melebihi anak-anak lainnya. “Nabila kamu tadi mengajari Lina mulai nomer berapa?” tanyanya.
“Enam Bu ....”
“Oh ... pantas saja,” batinnya berkesimpulan. Tugas yang dikerjakan Lina mulai nomer enam sampai sepuluh betul semua. Dan yang nomer satu sampai lima hanya betul tiga. Ia menggelengkan kepala sejenak melihat Nabila. Rasa bangga mengalir di perasaannya.
“Nabila, kamu istimewa sayang,” katanya pada Nabila dengan pelan sehingga yang lain, kecuali Lina, tak mendengar kata-kata yang diucapkannya.
Saat pulang. Nabila bercerita tentang nilai yang ia dapat pada latihan matematika tadi pagi kepada Pak Zaid. Betapa bangganya sang ayah mendengarnya. Diciumnya kening sang buah hati seraya berkata, “Cita-citamu apa, Nak?”
Nabila tak langsung menjawab. Ia diam sejenak. Pikirannya masuk lebih dalam. Ia pun menjawab, “Ingin jadi dokter, Yah.”
“Wah itu cita-cita yang mulia sekali.”