3 tahun kemudian ....
Tubuhnya yang mungil itu mulai meninggi. Telapak tangannya yang terlihat menggemaskan itu mulai agak melentik. Dalam pertumbuhannya itu, ia berhasil mempertahankan capaiannya. Membuktikan kepada Bu Datur bahwa ia berhasil mempertahankannya, rangking satu di setiap ujian.
“Ayah, aku ingin dapat piala, Yah,” ungkapnya kepada Ayah di suatu Minggu.
“Oh, kapan-kapan aku akan membelikannya.”
“Benarkah Yah?”
“Iya.”
Nabila cemberut menyadari sesuatu. “Tapi, kan aku tak ikut perlombaan Yah.”
“Nak, kau sudah rangking satu, itu berarti kamu telah memenangkan perlombaan. Coba kita pikir, di kelasmu hanya engkau yang rangking satu. Berarti, kamu berhasil menyisihkan 19 teman-temanmu di kelas.”
Terbayang-bayang kembali percakapan itu di benak Pak Zaid. Lama sekali percakapan itu telah berlalu, dua tahun tepatnya, ketika Nabila masih kelas satu SD, tepatnya seusai Nabila mengobrol dengan Bu Datur di depan kantor sekolah.
Bayang-bayang percakapan dengan Nabila, berkelebat saat ia sedang lewat di depan toko yang terletak di sebelah sebuah sekolah madrasah tsanawiyah. Toko tersebut menjual peralatan sekolah. Pun menjual alat-alat olah raga seperti sepatu, bola, raket, dan pancing, bahkan piala. Toko tersebut terbagi menjadi dua gedung. Gedung yang pertama menjual peralatan sekolah, kantor dan jasa foto kopi, dan gedung yang kedua menjual peralatan olah raga.
Ia membelokan laju sepedanya ke toko itu. Ia turun dari sepeda, berdiri menatap tempat pajangan piala-piala di sana. Ada sebuah piala yang menarik perhatiannya. Ia merasa harus mendapatkan piala itu. Setelah mengetahui harganya, ia beranjak pergi. Pikirannya berencana akan menabung untuk membeli piala tersebut. Meski harganya cukup mahal, ia ingin sekali memberikan penghargaan untuk putrinya tercinta.
Hari itu ia ingin pulang lebih cepat dari biasa. Biasanya ia pulang setelah zuhur. Tapi kali ini, baru jam sepuluh ia sudah pulang. Ia melewati sekolah Nabila. Ia melihat keadaan sangat ramai di halaman. Sedang istirahat tampaknya. Ia ingin menemui putrinya. Keinginannya semaikin menguat begitu melihat keceriaan yang ada di sana. Ia pun membelokan laju sepedanya ke arah gerbang sekolah.
Ia memperhatikan wajah anak-anak yang sedang wara-wiri, jongkok di depan taman, berdiri di depan kelas, dan sedang melakukan hal-hal lainnya di teras dan halaman sekolah. Ia tak kunjung menemukan wajah Nabila. Ada dua orang anak yang sedang berjalan di depannya. Jaraknya cukup dekat. “Nak!” panggilnya.
Kedua anak itu menoleh. Mereka terpaku sejenak melihat kedatangan orang asing itu. Mereka memperhatikan orang asing itu, Pak Zaid, yang berdiri di depan gerbang dengan tampang sangat lusuh bertopi jerami. Memakai kaos usang dan bercelana bedah. Di punggung lelaki itu terdapat sebuah karung bekas beras yang di dalamnya terdapat sampah botol plastik. “Siapa itu?” bisik salah seorang anak itu, Nina namanya.
“Aku tak tahu, pemulung sepertinya,” jawab perempuan berambut ikal di sampingnya, Laksmi.
“Jangan-jangan dia orang jahat. Kamu lihat Jeep hitamnya tidak?”
Perkataan itu membuat Laksmi takut. Laksmi sedikit merinding melihat lelaki yang belum dikenalnya itu, begitu juga dengan Nina sendiri. Pak Zaid memanggil mereka lagi. Karena mereka hanya terdiam, maka ia pun bertanya, “Adik kelas berapa?”
“Kelas tiga ...,” jawab Laksmi dengan sedikit takut-takut. Dalam benaknya, ia teringat pesan ibunya bahwa jangan berkenalan dengan orang asing, mungkin saja itu pek-pek-an, penculik anak-anak dalam istilah Malang.
“Wah, kalau begitu kamu kenal dengan Nabila.”
“Bapak siapa?” tanya Nina memberanikan diri.
“Saya ayahnya Nabila, bisa tolong dipanggil.”
KRING! Suara bel berbunyi, tanda bahwa jam istirahat telah selesai. Nina dan Laksmi pun pergi tanpa menanggapi.
Pak Zaid gagal bertemu dengan Nabila. Dengan lesu ia menaiki sepedanya. Mengayuh sepeda tuanya menuju rumah. Pulang.
Selama ini, tercatat hanya tiga kali ia mengunjungi sekolah Nabila saat Nabila sekolah. Itu pun saat Nabila masih kelas rapot Cawu I, II, dan III di kelas satu. Pada kelas dua sampai pertengahan kelas tiga ini, ia belum pernah sama sekali mengunjungi Nabila di sekolah. Ia sudah menitipkan pembayaran sekolah putrinya kepada Bu Suli. Ia hanya memberikan uang kepada Bu Suli saat hendak membayarkan uang SPP. Jam pagi sampai azan zuhur berkumandang, tak ada waktu luang baginya apalagi untuk mengunjungi Nabila di sekolah.
Ia harus bekerja lebih keras. Pembayaran SPP baginya bukanlah beban ringan. Ia harus lebih giat bekerja. Dan pada pagi hari, ia harus berangkat lebih pagi. Maka setiap pagi, Nabila selalu berangkat bersama Lina serta ibunya. Tapi, ia berniat di kelas tiga ini dan seterusnya ia akan mengusahakan untuk mengambil rapot Nabila.
“Assalamualaikumwarahmatullah,” suara Pak Zaid terdengar berbisik ketika ia mengucapkan salam kedua dalam salat zuhurnya di rumah. Ia menyempurnakan salatnya dengan wirid dan doa. Badannya masih terasa capek. Kakinya menyila. Menenangkan pikiran sambil beristirahat kecil.
Terdengarlah pintu terbuka. Wah, ini pasti Nabila, batinnya. Terdengar pintu yang tertutup. Suaranya cukup keras. Langkah kaki kecil itu terdengar berjalan melewati kamarnya. Langkahnya cukup cepat. Ia teringat dengan sepedanya yang ia parkir di depan. Maka dalam hati pun ia bertanya, mengapa putriku tak menengok? mengapa putriku langsung nyelonong?
Ah, mungin ia terlalu capek, batinnya kembali dengan masih bersandar di dinding. Kepenasaranannya membuatnya bangkit untuk berjalan menemui Nabila. “Nabila sudah pulang?” tanyanya sewaktu membuka kamar Nabila. Terlihat Nabila sedang merebahkan diri. Nabila mengangguk sebagai jawaban dengan wajah yang payah. Ternyata tebakanku betul, Nabila kecapekan, ujarnya dalam hati. Ia menutup pintu kamar dengan sangat pelan agar tidak mengganggu.
Nabila memang capek. Tapi bukan itu sebenarnya yang membuatnya enggan menengok ayahnya di kamar. Ia sedang merebahkan diri di atas kasur. Sementara itu, pikirannya kembali mengingat kejadian di sekolah, tentang Nina dan khususnya Laksmi, si anak notaris tanah.
“Nabila, tadi aku bertemu ayahmu,” kata Laksmi tiba-tiba.
“Ayahmu pemulung ya?” sambung Nina dengan tertawa sinis.
Ia hanya duduk. Nina dan Laksmi berdiri di depannya. Matanya tak mampu menatap Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba kedua anak itu muncul di depannya dan mengucapkan kalimat itu. Ia sendiri bingung untuk menjawab. Matanya tak mampu lama menatap. Telinganya sukar mendengar. Kedua anak itu pun pergi ke bangkunya masing-masing setelah melihat kehadiran bapak guru. Lina duduk di sampingnya setelah dari tadi mengobrol dengan teman-teman yang lain di luar kelas, menunggu guru datang.
Kini di atas dipan matanya tak berkedip. Jauh-jauh dulu, ia pernah bertanya kepada ayahnya, “Yah, pekerjaan Ayah itu apa?”
Sambil tersenyum ayahnya menjawab, “Ayah penjual barang bekas, Nak.”