7 tahun kemudian setelah piala itu patah ...
Nabila bukan lagi anak-anak. Ia tumbuh menjadi remaja tanggung. Pun memiliki segudang prestasi yang tidak tanggung-tanggung. Meski belum pernah sama sekali memiliki sebuah piala dari ajang pelombaan atau semacamnya, tetapi ia mampu mempertahankan rangking satunya mulai dari kelas satu SD sampai sekarang.
Menuju awal kenaikan kelas sebelas SMA. Istilah cawu atau catur wulan sudah tidak ada lagi. Berganti dengan istilah semester. Liburan semester II atau kenaikan kelas baru dimulai pekan ini. Masih ada waktu dua minggu untuk menginjakan kaki di kelas sebelas.
Hari itu langit biru cerah. Awan bergandengan tangan di angkasa. Nabila masih duduk di kursi. Menghadap ke meja dengan membaca sebuah buku, sahabat terbaiknya. Begitulah keadaan hari-harinya, seperti yang sedang ia lakukan pagi itu.
Dulu, meja yang ia buat untuk belajar adalah meja kayu berwarna coklat yang telah lapuk kayunya. Kini, meja di kamarnya telah berganti meja belajar Olimpic warna biru langit, mempunyai rak buku, laci, lemari kecil, dan juga kursi belajar yang empuk.
Meja belajar dan kursi empuk tersebut dibeli ketika ia kelas enam SD. Ayahnya sebenarnya bukan bermaksud membelikan meja belajar tersebut. Ayahnya ingin membelikan sebuah tempat tidur. Namun, Nabila menolak. Ia lebih memilih dibelikan meja belajar, sarana yang dapat membuatnya lebih nyaman dalam belajar. Akhirnya dibelikanlah meja tersebut beserta kursinya. Ia tetap tidur di ranjang dengan kayunya berderit itu.
Di atas mejanya, ada sebuah foto. Foto itu adalah fotonya bersama sahabat sejatinya, Alina Tika. Foto itu diambil saat ia lulus SMP. Setiap hari memandangi foto itu di sela-sela belajar. Dan pagi itu, ia kembali memandang foto itu sebelum meneruskan baacaan lanjutan pada buku biologi bersampul gambar darah dan DNA.
“Nabila!” Suara itu terdengar olehnya. Sudah pasti itu suara Lina.
Tanpa menutup bukunya, ia beranjak keluar. Setelah gagang pintunya ia turunkan, ia mendorong pintu. Lina yang berdiri di atas keset coklat, sedang menyungging senyum padanya.
“Ayo ke rumah!” ajak Lina.
“Iya.” Ia dan Lina kemudian berjalan pergi. Sampailah ia di kamar Lina, kamar dengan lantai yang bersih putih mengkilap. Kamar Lina, masih dipenuhi dengan boneka. Boneka-boneka itu semakin menumpuk saja. maklum Lina sudah mengumpulkannya mulai dari kecil dan tidak pernah membuang salah satu bonekanya kecuali memberikannya pada Nabila. Dari tahun ke tahun, rumah Lina selalu mengalami perubahan dan pembangunan. Kini sudah berlantai dua.
Tiduran sambil mengobrol, adalah kebiasaan mereka. Lina merangkul sebuah boneka beruang besar. Semantara itu, Nabila tak memegang boneka, meski di sekitarnya berjejer boneka-boneka.
“Nabila, Bintar katanya ambil jurusan IPA,” kata Lina.
“Iya, terus kenapa?”
“Anak itu kok nggak ambil jurusan Bahasa aja ya, kan dia suka buat puisi.”
“Itu terserah dianya Lin, kecuali kamu ibunya.”
“Ya nggak gitu. Oh iya kamu jadi nyalon OSIS?”
“Jadi Lina, insaallah.”