Pada Minggu pagi, Nabila melihat Pak Zaid berada di luar rumah, bersiap menaiki sepeda.. Ia menyaksikannya dari ruang tengah, dari pintu yang terbuka, ada dua karung berisi botol-botol bekas yang berada di kanan kiri sepeda tua itu. Sementara itu, kamar ayahnya terbuka. Ia menoleh memperhatikan kamar itu sembari bersidekap, berpikir bahwa ayahnya lupa menutup pintu kamar. Suara sepeda ayahnya terdengar. Begitu matanya melihat ke depan, ayahnya telah berangkat.
Ia segera berjalan menutup pintu depan. Sekembali ke ruang tengah, ia akan menutup pintu kamar itu. Ia melihat lemari pakaian ayahnya terbuka. Kelihatan ada sebuah kotak hitam dari kayu. Tangan kanannya yang sedang memegang gagang pintu tak kunjung menariknya. Ia melepas pegangangannya, melangkah masuk ke kamar, mendekat pada kotak hitam yang terletak di dalam lemari itu. Ada sebuah dorongan yang membuatnya penasaran.
Dorongan itu menghiraukan kelancangannya. Ia mengambil kotak itu. Matanya mengamati sejenak ukiran-ukiran di permukaan kotak tampak sangat indah. Rupanya kotak yang bagus itu dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Terbukti dengan warnanya yang mengkilap. Apa ya isi kotak ini? batinnya.
Dengan duduk di atas tempat tidur berseprei motif bunga, ia memperhatikan kembali kotak itu dengan saksama. Hatinya menimang-nimang keputusan, membuka atau mengembalikannya. Namun rasa penasaran menjomplangkan keputusannya, ia akan membuka kotak itu. Saat tangannya sudah membuka kotak itu seperempat, ia menutupnya kembali. Ia takut. Sementara matanya belum sempat mengintip apa isinya. Ia terdiam kemudian.
Ia tak sadar bahwa lama ia berdiam diri. Melamun membayangkan ayahnya. Di tengah lamunan, ia seperti merasakan ada bisikan yang menyuruhnya membuka kotak itu. Dorongan untuk membuka kotak itu kuat sekali. Ornamen kotak kayu itu seolah menyimpan suatu misteri dari orang yang merawatnya selama ini.
Ia mereka-reka kembali apa yang ada di dalam kotak itu, perhiasan, uang, atau apa pun, yang pasti barang yang ada di dalam kotak sebagus ini pastilah barang berharga. Dengan menarik napas panjang, akhirnya ia mantap membuka kotak itu pelan-pelan.
Betapa terkejutnya ia melihat apa yang ada di dalamnya: sebuah piala. Ingatannya meluncur jauh menembus batas masa lalu. Hatinya bergetar hebat. “Loh, ini kan piala yang kubanting dahulu sehingga menjadi patah!” batinnya, membuncah.
Ia mengambil piala itu dengan tangan kanannya. Piala berwarna kuning itu berbentuk manusia yang sedang mengangkat bola dunia dengan tangan kanan. Di pergelangan tangan piala tersebut terdapat sebuah lakban hitam yang dibuat untuk menyatukan kembali bagian yang patah.
Matanya mulai berkaca-kaca.
“Mengapa? Mengapa Ayah masih menyimpan piala ini? aku kira sudah dijual kembali karena tak berarti. Seberapa berartikah piala ini baginya? Sehingga, sampai sekarang ia masih menyimpan piala ini selama bertahun-tahun. Menyimpannya di dalam kotak hitam yang amat bagus,” lirihnya dalam hati
Ia menyeka air matanya yang tak henti turun. Matanya menjadi merah. Bulu matanya menjadi basah. Napasnya terdengar seperti orang yang terkena flu berat.
“Nabila?” suara itu tiba-tiba muncul. Ia melihat ke pintu dengan mata yang masih berair. Ada Lina yang telah berdiri di sana. Lina yang kaget dengan keadaannya, sontak menghampirinya dan duduk di sampingnya. Lina melihat kotak hitam yang berada di pangkuannya.
Lina mengambil piala itu dari dalam kotak. “Inikah Nabila, piala yang pernah kau ceritakan itu?” tanyanya.
“Iya, dan sampai sekarang piala itu masih ada.”
Lina mengembalikan piala itu ke dalam kotak.
Nabila berkata, “Seberapa berhargakah piala ini di mata ayahku Lina, sehingga ia menyimpannya bertahun-tahun, merawatnya dengan baik di dalam kotak ini?”
Nabila menangis kembali. Semakin deras aliran air matanya, membasahi pipinya yang kenyal. Diraihlah kepalanya oleh Lina untuk dipeluk. “Nabila, sudah jangan menangis terus,” ujar Lina sembari memeluk dengan makin erat.
“Betapa buruknya sifatku Lina. Aku begitu buruk. Tak pantas orang sebaik dirimu berteman dengan anak durhaka sepertiku,” ungkapnya parau.
“Nabila, jangan bicara seperti itu. Kamu sahabatku yang terbaik di dunia ini. Kamu anak baik Nabila, anak yang sangat baik.”
Dengan masih mengelus rambut Nabila, Lina menambahi, “Nabila, kamu sekarang sudah mengetahui rasa sayang ayahmu padamu. Sekaranglah saatnya semuanya harus kamu ubah. Tunjukkan kepada orang-orang siapa ayahmu yang sebenarnya. Kamu harus merubahnya sekarang!”
***
Sore hari.
Sewaktu Pak Zaid pulang, Nabila langsung menemuinya. Pak Zaid baru saja turun dari sepeda. Ia mendekatinya. Saat sudah berhadapan, ia merasa tak bisa bicara. Ia tidak tahu bagaimana harus memulai.
“Ada apa Nak?” tanya Pak Zaid.
“Ada yang ingin kubicarakan, Yah.” Ia menunduk.