Pak Aldi, kepala sekola SMAN I Bululawang, ingin mengunjungi rumah Nabila. Ia ingin mengetahui siapakah ayah Nabila, di mana ia tinggal dan bagaimana keadaan rumahnya. Nabila sudah menceritakan semuanya pada Bu Anissa tentang hubungannya dengan ayahnya beberapa hari yang lalu. Sampai pada kabar bahwa ia telah diberi maaf oleh ayahnya dan sudah tak ada lagi alasan untuk malu mengakui keadaan yang sebenarnya pada semua orang.
Minggu pagi. Kepala Sekolah, Wakil Kepala, dan Bu Anissa berkunjung ke rumah Nabila. Mereka bertiga datang dengan menaiki mobil. Pertama kali melihat rumah Nabila, Pak Aldi merasa iba dan sampai duduk di ruang tamu, ia tetap merasakan hal yang sama. Perasaan iba itu juga dirasakan oleh Pak Badri dan Bu Anisa. Inilah rumah siswi berprestasi itu. Sangat sederhana dan jauh dari kemewahan.
“Di sebelah ini rumah Alina, Pak, Bu,” ucap Nabila seusai memberikan guru-gurunya minuman yang ia taruh di atas meja. “Bu, Pak, maaf ya rumah saya kotor sekali.”
Pak Zaid masih di kamar mandi untuk membersihkan wajah. Saat ada rombongan datang, ia sedang menata botol-botol bekas di belakang rumah. Usai membersihkan muka ia langsung menuju ruang tamu dengan memakai kemeja kotak-kotak yang mungkin adalah baju terbagus yang ia punya. Mereka kemudian mengobrol. Banyak pertanyaan yang tiga guru itu ajukan kepadanya. Mereka ingin mengenal lebih jauh tentangnya yang selama ini tidak banyak orang tahu.
***
Suatu hari di sekolah. Jam istirahat masih berlangsung. Kelas sedang sepi. Hanya ada beberapa orang yang duduk sekadar mengobrol sambil menikmati makanan ringan. Di depan sekolah ada pohon yang menjadi tempat anak-anak untuk mengobrol. Di bawah pohon itu terdapat bangku yang melingkari pohon itu. Tempat itu selalu ramai saat istirahat. Tawa-tawa riang membahana di luar kelas, terdengar sampai ke dalam.
Sementara itu di perpustakaan suasana hening. Perpustakaan itu terletak di samping Lab. Komputer di pojok sekolah. Di dalamnya duduk beberapa kutu buku. Ada kutu bernama Nabila di sana. Ia sedang membaca buku kimia. Ia sedang memecahkan soal kimia yang ada di bukunya dengan bantuan buku-buku kimia di sana. Bel berbunyi. Ia lekas meninggalkan perpustakaan sembari meminjam buku itu kepada petugas, Pak Ali.
Ia melihat Lina sedang duduk di bangkunya. Lina yang sedang memandangi sebuah gambar yang terbuat dari goresan pensil, tak menghiraukan kehadirannya. Ada seorang bocah kecil yang duduk di bawah jembatan dengan memegang kentrung. Ia takjub sekali melihat estetika gambar itu. “Lina apa itu?”
“Gambar Nabila.”
“Iya aku tahu itu, siapa yang membuat?”
“Bintar.”
“Loh, kamu kok dapat ini dari dia?”
Lina tertawa. Ia menanggapi dengan senyum simpulnya. “Dia pinter kalau gambar,” jawabnya kemudian.
“Sini lihat,” kata Nabila sambil mengambil kertas itu.
Ia memperhatikan gambar itu lekat-lekat. Benar-benar gambar yang bagus. Garis lengkung maupun garis lurusnya sungguh perspektif. Tatanan kota di belakang bocah itu nyaris seperti aslinya. Baru kali ini ia tahu kalau Bintar, sahabat masa kecil yang tidak begitu akrab dengannya, ternyata pandai melukis.
Beberapa hari setelah UTS selesai, seorang guru memampang nilai ujian tengah semester. Anak-anak bergerombol di depan mading. Nabila mengajak Lina untuk melihat. Setelah mengamati, ia mendapat nilai tertinggi di mata pelajaran kimia, fisika dan biologi. Ia memang sangat mempersiapkan ujian itu. Setiap malam ia mengerjakan puluhan soal tanpa kenal lelah.
Tetapi setelah memperhatikan lebih detail pada nilai matematikanya, ternyata ia tertinggi kedua. Ia melihat ada yang lebih tinggi dari nilainya. Matanya membesar mengeja nama, Bintar Jiwa Nanda. Ia tersenyum sejenak, heran dan takjub. Saat keluar dari kerumunan orang yang berada di mading, ia merenung diri.
Setelah beberapa langkah berlalu, ia baru sadar bahwa ia sedikit lemah di beberapa bab matematika. Ia sudah akan tiba di kelas. Bintar tiba-tiba berdiri di depannya, tepat di pintu masuk. “Bintar!” sapanya.
“Iya, ada apa Nabila?”
“Bisa ajari aku matematika?” Ia kaget pada diri sendiri bisa sespontan itu.
“Bisa, tetapi kamu lebih pintar dari pada aku.”